Senin, 30 Januari 2017

STSD 01_20

Kembali orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Sekarang dia tidak hanya menoleh, namun telah menghentikan kudanya. Katanya kemudian setengah membentak, “Ada apa, he?!”

Orang yang bertubuh pendek itu sekarang benar-benar telah menggigil seperti orang kedinginan. Sambil gemetaran tangannya meraih kantong yang terikat di pelana kudanya dan kemudian diangkatnya. Katanya kemudian dengan suara yang memelas, “Kakang, barangnya tidak ada. Kantong ini kosong.”

“He?” bagaikan disambar petir di siang bolong orang berjambang itu berteriak sambil meloncat turun dari kudanya. Dengan tergesa-gesa dia segera melangkah mendekat.

Orang yang pendek dan orang yang satunya segera ikut meloncat turun. Sementara orang yang bertubuh pendek itu segera melepas tali yang mengikat kantong itu di  pelana kudanya.

Tanpa menunggu waktu lagi orang berjambang itu segera menyambar kantong yang diangsurkan kepadanya. Dengan menggeram marah dibongkarnya kantong itu yang ternyata memang kosong melompong tidak ada isinya.

“Gila..!” umpat orang berjambang itu sambil membanting kantong itu ke tanah. Sejenak matanya yang memerah darah menatap tajam ke arah orang yang bertubuh pendek yang berdiri di hadapannya dengan tubuh gemetar. Tiba-tiba saja  tangan kirinya mencengkeram leher orang itu.

“Kau? Kau?” geram orang berjambang itu dengan suara menggelegar, “Pengkianat busuk! Di mana kau sembunyikan barang-barang itu, he?!”

Orang yang bertubuh pendek itu benar-benar telah kehilangan nyali. Nyawanya rasa-rasanya sudah berada di ubun-ubun, siap untuk meloncat keluar dari raganya. Sementara wajahnya pucat pasi dengan sekujur tubuh yang telah basah kuyup oleh keringat dingin.

"Aaku.. tidak tahu Kakang.." jawab orang itu terbata-bata.

“Bohoong..! Kau memang pantas mampus!” umpat orang berjambang itu sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap menghancurkan kepala orang yang bertubuh pendek itu.

“Kakang tunggu!” tiba-tiba orang ketiga yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat peristiwa itu segera berteriak sambil meloncat maju, “Pendek belum tentu bersalah. Aku sedari tadi berkuda di sampingnya dan kemudian di belakangnya. Aku tidak melihat dia menyentuh kantong itu kecuali beberapa saat tadi. Aku yakin, Pendek tidak akan mengkianati perjuangan kita.”

Untuk beberapa saat orang berjambang itu masih tetap pada sikapnya. Namun tiba-tiba cengkeramannya di leher orang bertubuh pendek itu semakin keras sambil berteriak, “Kalian sengaja bersekongkol untuk menipu aku, he? Kalian akan mengangkangi barang-barang itu berdua saja dan menipu aku! Sebaiknya kalian berdua  aku bunuh saja!”

Selesai berkata demikian, kembali tangan kanan orang berjambang itu terangkat tinggi-tinggi siap menghancurkan kepala orang yang selama ini telah menjadi kawan seperjuangannya.

“Kakang, ampun..kakang. Aku benar-benar tidak melakukannya..” rengek orang bertubuh pendek itu dengan suara memelas. Sementara orang yang satunya hanya dapat memandang peristiwa itu dengan wajah yang sangat tegang.

Tiba-tiba disaat yang menegangkan itu terdengar sebuah tawa terbahak-bahak memenuhi tempat itu.

Serentak ketiga orang itupun  segera berpaling ke arah mana suara tawa itu berasal.

“Ki Lurah,” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru tertahan.

Orang yang dipanggil Ki Lurah itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Sambil memberi isyarat kepada orang yang berjambang itu dia berkata, “Jambang, lepaskan si Pendek.”

Dengan segera  orang yang berjambang itu melepaskan cengkeramannya kepada Pendek. Begitu cengkeraman itu terlepas dari lehernya, Pendek segera menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Agaknya dia tidak ingin bermasalah lagi dengan si Jambang itu.

“Aku dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi pada kalian,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian telah menjadi korban permainan dari orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian kita akan menjadi lebih  waspada.”

Ketiga orang itu sejenak saling pandang. Orang berjambang itu yang akhirnya bertanya mewakili kawan-kawannya, “Maaf Ki Lurah. Kami tidak mengerti maksud Ki Lurah. Kami merasa tidak pernah bertemu atau bahkan bertempur dengan orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Kalian memang terlalu bodoh!” geram Ki Lurah, “Bukankah seseorang telah memberikan sesuatu yang menurut kalian itu merupakan barang-barang berharga?”

“Benar Ki Lurah,” serempak mereka menjawab. Sementara si Jambang segera meneruskan, “Kami bertemu lima orang di tepian kali Krasak. Ketika aku menjelaskan kepada mereka tentang perjuangan kami, dengan serta merta salah seorang dari mereka yang terlihat paling tua telah menyerahkan sebuah keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”

“Itulah,” sahut Ki Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang tua itu pasti tukang sihir, dan kalian telah disihirnya,”  Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah orang-orang yang lainnya juga menyerahkan barang-barang berharga mereka?”

Kembali ketiga orang itu saling berpandangan. Seingat mereka, orang-orang yang lainnya memang hanya berdiam diri saja. Orang yang paling tua itulah yang mengambil barang-barang berharga dari mereka dan kemudian menyerahkannya.

“Tidak Ki Lurah,” jawab si Jambang yang kini mulai menyadari kebodohannya, “Memang kita mendapat tambahan beberapa barang berharga lagi, namun orang tua itulah yang mengambil dari masing-masing orang dan menyerahkannya kepadaku.”

Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Kemanakah  sebenarnya tujuan orang-orang itu?”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang peristiwa yang baru saja mereka alami.

“Ki Lurah,” tiba-tiba orang yang bertubuh pendek itu membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya kita mengejar orang-orang yang telah mempermainkan kami itu?”

Ki Lurah menggeleng sambil tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya. Mereka tentu sudah jauh dan jika kita dapat menemukan mereka, aku tidak yakin kekuatan kita akan mampu untuk menghadapi mereka.”

Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka mendengar jawaban Ki Lurah. Memang segala sesuatunya harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum bertindak.

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian dapat beristirahat sebentar. Aku akan ke Perdikan Matesih untuk melaporkan kejadian ini kepada Raden Mas Harya Surengpati.”

Ketiga orang itu tidak menjawab dan hanya melangkah sambil menuntun kuda-kuda mereka mengikuti Ki Lurah menuju ke sebuah bangunan yang terletak tidak jauh dari tempat itu.

Tidak banyak yang memperhatikan bangunan itu. Sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Sebuah bangunan yang lebih cocok disebut sebuah gubuk dari pada sebuah rumah. Di gubuk itulah orang yang dipanggil Ki Lurah itu tinggal bersama  mereka.

Dalam pada itu Ki Rangga dan kawan-kawannya telah sampai di padukuhan Gesik, sebuah padukuhan kecil dan sepi. Mereka berlima sengaja tidak melewati jalan satu-satunya yang berada di padukuhan itu, namun mereka lebih senang menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat. Hutan itu melingkari padukuhan Gesik dari sebelah selatan kemudian membujur ke arah sisi barat padukuhan.


21 komentar :

  1. Komen pertama ah .... matur nuwun panembahan....

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah Man .....
    nunggu rapelan rontal ...he..he..

    BalasHapus
  3. Matur nuwun wedaranipun Mbah Man

    BalasHapus
  4. Hampir saja "permainan" Ki Waskita menelan korban, si pendek. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
  5. Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya.... sehat selalu.

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Mbah_man, mantep santapan rontal siangnya, untuk camilan sore monggo mbah.hehe.. :-)

    BalasHapus
  7. Masturb suwun ki mBah
    Biasane sedelo maneh doubelan

    BalasHapus
  8. solusi yang bagus,seandainya kebijakan semacam dilakukan oleh semuanya tanpa tebang pilih

    BalasHapus
  9. Matur nuwun mbah man .... ada wedaran berarti mbah man Sehat .... Alhamdulillah ...

    BalasHapus
  10. Matur nuwun Mbah Man ..... tersihir !

    BalasHapus
  11. Haiiii org2 pendek dan bejambang.... hati2... _perhatikanlah kantongmu_

    BalasHapus
  12. Barangkali terselip disitu rontal STSD 01_21

    BalasHapus
  13. Hadir... Sehat selalu semua, alhamdulillah.

    BalasHapus
  14. Hadiirrr lagi ... muter muter taman bacaan

    BalasHapus
  15. Hups..... barus empat nongol di sini

    Kalau menyesusikan dengan standar buku Satpam, satu rontal lagi jilid ini sudah bisa ditutup.

    Hi hi hi ..., tetapi ya terserah Panembahan. Ditutup episode 20 seperti TADBM 416 atau ditambah satu rontal lagi.

    Nuwun....

    BalasHapus
  16. Geng siyang.... Satu rontal lagi atau satu buku lagi......?.....hihihi

    BalasHapus
  17. Kecepatan menulis PaneMBAHan MANdaraka sudah sama dengan SHM. Satu bulan bisa menyelesaikan satu jilid.
    Top markotop.
    Monggo dilanjut Panembahan.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.