Kembali orang berjambang itu
mengerutkan keningnya. Sekarang dia tidak hanya menoleh, namun telah
menghentikan kudanya. Katanya kemudian setengah membentak, “Ada apa, he?!”
Orang yang bertubuh pendek
itu sekarang benar-benar telah menggigil seperti orang kedinginan. Sambil gemetaran tangannya meraih kantong yang terikat di pelana kudanya dan kemudian
diangkatnya. Katanya kemudian dengan suara yang memelas, “Kakang, barangnya
tidak ada. Kantong ini kosong.”
“He?” bagaikan disambar
petir di siang bolong orang berjambang itu berteriak sambil meloncat turun dari
kudanya. Dengan tergesa-gesa dia segera melangkah mendekat.
Orang yang pendek dan orang
yang satunya segera ikut meloncat turun. Sementara orang yang bertubuh pendek
itu segera melepas tali yang mengikat kantong itu di pelana kudanya.
Tanpa menunggu waktu lagi
orang berjambang itu segera menyambar kantong yang diangsurkan kepadanya.
Dengan menggeram marah dibongkarnya kantong itu yang ternyata memang kosong melompong
tidak ada isinya.
“Gila..!” umpat orang
berjambang itu sambil membanting kantong itu ke tanah. Sejenak matanya yang
memerah darah menatap tajam ke arah orang yang bertubuh pendek yang berdiri di
hadapannya dengan tubuh gemetar. Tiba-tiba saja
tangan kirinya mencengkeram leher orang itu.
“Kau? Kau?” geram orang
berjambang itu dengan suara menggelegar, “Pengkianat busuk! Di
mana kau sembunyikan barang-barang itu, he?!”
Orang yang bertubuh pendek
itu benar-benar telah kehilangan nyali. Nyawanya rasa-rasanya sudah berada di
ubun-ubun, siap untuk meloncat keluar dari raganya. Sementara wajahnya pucat
pasi dengan sekujur tubuh yang telah basah kuyup oleh keringat dingin.
"Aaku.. tidak tahu Kakang.." jawab orang itu terbata-bata.
“Bohoong..! Kau memang pantas mampus!”
umpat orang berjambang itu sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap
menghancurkan kepala orang yang bertubuh pendek itu.
“Kakang tunggu!” tiba-tiba
orang ketiga yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat peristiwa itu segera berteriak
sambil meloncat maju, “Pendek belum tentu bersalah. Aku sedari tadi berkuda di
sampingnya dan kemudian di belakangnya. Aku tidak melihat dia menyentuh kantong
itu kecuali beberapa saat tadi. Aku yakin, Pendek tidak akan mengkianati
perjuangan kita.”
Untuk beberapa saat orang
berjambang itu masih tetap pada sikapnya. Namun tiba-tiba cengkeramannya di
leher orang bertubuh pendek itu semakin keras sambil berteriak, “Kalian sengaja
bersekongkol untuk menipu aku, he? Kalian akan mengangkangi barang-barang itu
berdua saja dan menipu aku! Sebaiknya kalian berdua aku bunuh saja!”
Selesai berkata demikian,
kembali tangan kanan orang berjambang itu terangkat tinggi-tinggi siap
menghancurkan kepala orang yang selama ini telah menjadi kawan seperjuangannya.
“Kakang, ampun..kakang. Aku benar-benar
tidak melakukannya..” rengek orang bertubuh pendek itu dengan suara memelas. Sementara orang yang satunya hanya dapat memandang peristiwa itu dengan wajah yang sangat
tegang.
Tiba-tiba disaat yang
menegangkan itu terdengar sebuah tawa terbahak-bahak memenuhi tempat itu.
Serentak ketiga orang itupun segera berpaling ke arah mana suara tawa itu berasal.
“Ki Lurah,” hampir bersamaan
ketiga orang itu berseru tertahan.
Orang yang dipanggil Ki
Lurah itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Sambil memberi isyarat kepada
orang yang berjambang itu dia berkata, “Jambang, lepaskan si Pendek.”
Dengan segera orang yang berjambang itu melepaskan
cengkeramannya kepada Pendek. Begitu cengkeraman itu terlepas dari lehernya,
Pendek segera menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Agaknya dia
tidak ingin bermasalah lagi dengan si Jambang itu.
“Aku dapat menduga apa
sebenarnya yang telah terjadi pada kalian,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian telah
menjadi korban permainan dari orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan
demikian kita akan menjadi lebih waspada.”
Ketiga orang itu sejenak
saling pandang. Orang berjambang itu yang akhirnya bertanya mewakili
kawan-kawannya, “Maaf Ki Lurah. Kami tidak mengerti maksud Ki Lurah. Kami merasa
tidak pernah bertemu atau bahkan bertempur dengan orang-orang yang berilmu
tinggi.”
“Kalian memang terlalu
bodoh!” geram Ki Lurah, “Bukankah seseorang telah memberikan sesuatu yang
menurut kalian itu merupakan barang-barang berharga?”
“Benar Ki Lurah,” serempak
mereka menjawab. Sementara si Jambang segera meneruskan, “Kami bertemu lima
orang di tepian kali Krasak. Ketika aku menjelaskan kepada mereka tentang
perjuangan kami, dengan serta merta salah seorang dari mereka yang terlihat
paling tua telah menyerahkan sebuah keris yang berpendok emas dan bertretes
berlian.”
“Itulah,” sahut Ki Lurah
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang tua itu pasti tukang sihir, dan
kalian telah disihirnya,” Ki Lurah
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah orang-orang yang lainnya juga
menyerahkan barang-barang berharga mereka?”
Kembali ketiga orang itu
saling berpandangan. Seingat mereka, orang-orang yang lainnya memang hanya
berdiam diri saja. Orang yang paling tua itulah yang mengambil barang-barang
berharga dari mereka dan kemudian menyerahkannya.
“Tidak Ki Lurah,” jawab si Jambang
yang kini mulai menyadari kebodohannya, “Memang kita mendapat tambahan beberapa
barang berharga lagi, namun orang tua itulah yang mengambil dari masing-masing
orang dan menyerahkannya kepadaku.”
Ki Lurah
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Kemanakah sebenarnya tujuan orang-orang itu?”
Sejenak suasana menjadi
sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang peristiwa yang baru
saja mereka alami.
“Ki Lurah,” tiba-tiba orang
yang bertubuh pendek itu membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya kita mengejar
orang-orang yang telah mempermainkan kami itu?”
Ki Lurah menggeleng sambil
tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya. Mereka tentu sudah jauh
dan jika kita dapat menemukan mereka, aku tidak yakin kekuatan kita akan mampu
untuk menghadapi mereka.”
Ketiga orang itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka mendengar jawaban Ki Lurah. Memang segala
sesuatunya harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum bertindak.
“Sudahlah,” berkata Ki Lurah
kemudian, “Kalian dapat beristirahat sebentar. Aku akan ke Perdikan Matesih
untuk melaporkan kejadian ini kepada Raden Mas Harya Surengpati.”
Ketiga orang itu tidak
menjawab dan hanya melangkah sambil menuntun kuda-kuda mereka mengikuti Ki
Lurah menuju ke sebuah bangunan yang terletak tidak jauh dari tempat itu.
Tidak banyak yang
memperhatikan bangunan itu. Sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari bambu
dan beratap ilalang. Sebuah bangunan yang lebih cocok disebut sebuah gubuk dari
pada sebuah rumah. Di gubuk itulah orang yang dipanggil Ki Lurah itu tinggal
bersama mereka.
Dalam pada itu Ki Rangga dan
kawan-kawannya telah sampai di padukuhan Gesik, sebuah padukuhan kecil dan
sepi. Mereka berlima sengaja tidak melewati jalan satu-satunya yang berada di padukuhan
itu, namun mereka lebih senang menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan
yang cukup lebat. Hutan itu melingkari padukuhan Gesik dari sebelah selatan kemudian
membujur ke arah sisi barat padukuhan.
Komen pertama ah .... matur nuwun panembahan....
BalasHapusMatur nuwun mbah Man .....
BalasHapusnunggu rapelan rontal ...he..he..
Matur nuwun wedaranipun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah man.
BalasHapusHampir saja "permainan" Ki Waskita menelan korban, si pendek. Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya.... sehat selalu.
BalasHapusMatur nuwun Mbah_man, mantep santapan rontal siangnya, untuk camilan sore monggo mbah.hehe.. :-)
BalasHapusMasturb suwun ki mBah
BalasHapusBiasane sedelo maneh doubelan
solusi yang bagus,seandainya kebijakan semacam dilakukan oleh semuanya tanpa tebang pilih
BalasHapusMatur nuwun mbah man .... ada wedaran berarti mbah man Sehat .... Alhamdulillah ...
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man ..... tersihir !
BalasHapusHaiiii org2 pendek dan bejambang.... hati2... _perhatikanlah kantongmu_
BalasHapusBarangkali terselip disitu rontal STSD 01_21
BalasHapusMsntsp .... Mskasih Mbsh Man
BalasHapusHadir ..... tetap semangat !
BalasHapusHadir... Sehat selalu semua, alhamdulillah.
BalasHapusHadiirrr lagi ... muter muter taman bacaan
BalasHapusHups..... barus empat nongol di sini
BalasHapusKalau menyesusikan dengan standar buku Satpam, satu rontal lagi jilid ini sudah bisa ditutup.
Hi hi hi ..., tetapi ya terserah Panembahan. Ditutup episode 20 seperti TADBM 416 atau ditambah satu rontal lagi.
Nuwun....
Geng siyang.... Satu rontal lagi atau satu buku lagi......?.....hihihi
BalasHapusKecepatan menulis PaneMBAHan MANdaraka sudah sama dengan SHM. Satu bulan bisa menyelesaikan satu jilid.
BalasHapusTop markotop.
Monggo dilanjut Panembahan.
Terima Kasih Mbah Man
BalasHapus