“Sudahlah,” berkata Ki Patih
kemudian setelah tawa mereka mereda, “Lanjutkan tugas kalian. Kami akan kembali
ke Kepatihan.”
“Sendika Ki Patih,” berkata
Ki Lurah kemudian. Begitu Ki Patih melangkah meninggalkan pintu gerbang, dengan sigap Ki Lurah segera memberi aba-aba para prajurit jaga untuk melaksanakan penghormatan.
Demikianlah mereka bertiga
segera berjalan kembali ke Kepatihan. Di sepanjang jalan sesekali mereka masih
membicarakan jati diri Ki Tanpa Aran. Namun dalam pembicaraan itu Ki Patih sama
sekali tidak menyinggung nama Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Ki Tanpa Aran, karena Ki
Patih memang belum pernah bertemu muka dengan penasehat dan sekaligus pembimbing
Pangeran Pati itu.
Dalam pada itu malam terasa
semakin mendekati ujungnya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang
terakhir kalinya. Barulah Ki Rangga dan Ki Waskita menyempatkan sejenak untuk
berbaring setelah menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba yang selalu bersyukur
kepada Tuhannya.
Ketika seorang pelayan kemudian
memberitahukan kepada mereka untuk bersiap makan pagi, keempat orang itu pun
segera berkemas.
Ternyata Ki Bango Lamatan
telah terlebih dahulu hadir di ruang tengah kepatihan. Setelah menunggu beberapa
saat, Ki Patih pun berkenan hadir dan bersama-sama dengan para tamunya untuk menikmati
makan pagi.
“Memang masih terlalu pagi,”
berkata Ki Patih sambil menyenduk nasi putih yang masih hangat, “Aku juga
kurang terbiasa makan terlalu pagi. Namun karena kalian akan berangkat pagi
ini, aku menyempatkan diri untuk menemani kalian makan pagi.”
“Terima kasih Ki Patih,”
hampir bersamaan mereka menjawab.
“Kuda-kuda kalian telah
disiapkan,” berkata Ki Patih kemudian, “Dengan berkuda, diharapkan perjalanan
akan ditempuh lebih cepat,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengunyah makanan. Lanjutnya
kemudian, “Sesampainya di Tanah Perdikan Matesih, kalian dapat berhubungan
dengan salah satu petugas sandi yang berada di sana. Titipkan kuda-kuda kalian
sebelum mendaki lereng gunung Tidar sebelah barat.”
Mereka berlima hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perintah ki Patih memang sudah sangat
jelas. Mereka harus dapat memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana
dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen tanpa ada
kesan keterlibatan Mataram.
Demikianlah setelah jamuan
makan pagi itu selesai, Ki Patih telah mengantarkan tamu-tamunya ke halaman
kepatihan. Di halaman telah menunggu lima ekor kuda yang terlihat biasa-biasa
saja, bukan kuda yang besar dan tegap.
Untuk sejenak Ki Rangga dan
kawan-kawannya justru telah termangu-mangu di tlundak pendapa sambil mengamati-amati
kelima ekor kuda yang terlihat agak kecil.
Ki Patih tertawa melihat
keragu-raguan yang tersirat di wajah kelima orang itu. Katanya kemudian, “Sengaja
aku perintahkan untuk menyiapkan kuda-kuda ini agar tidak terlalu menarik
perhatian di sepanjang perjalanan kalian,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian
sambil menuruni tlundak pendapa dan menghampiri salah satu kuda itu, Ki Patih
meneruskan kata-katanya, “Kuda-kuda ini terlihat agak kecil namun cukup kuat
untuk mengantar kalian sampai ke gunung Tidar. Jika kalian meragukan kemampuannya,
kalian dapat mengambil istirahat di tepian kali Krasak sebelum meneruskan
perjalanan.”
Mereka berlima tampak mengangguk-anggukkan
kepala. Ki Rangga selaku pemimpin rombongan segera menjawab, “Sendika Ki Patih.
Memang sebaiknya kami memberi kesempatan kuda-kuda ini nantinya untuk
beristirahat di tepian kali Krasak.”
Ki Patih tersenyum sambil
mengangguk. Katanya kemudian, “Nah apakah masih ada sesuatu yang ingin kalian
sampaikan sebelum berangkat?”
Sejenak kelima orang itu
saling berpandangan. Kembali Ki Rangga yang menjawab, “Ampun Ki Patih,
kelihatannya kami sudah siap untuk berangkat,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk
menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kami berlima segera mohon diri.”
“Silahkan,” jawab Ki Patih, “Semoga
Yang Maha Agung senantiasa melindungi hambaNYa dalam setiap langkah dan usaha
untuk menciptakan kedamaian di bumi Mataram ini.”
Demikianlah sejenak kemudian
lima ekor kuda segera berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan regol
istana Kepatihan. Kuda-kuda itu berderap di jalan-jalan kota yang sudah mulai
ramai. Sesekali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang sarat memuat hasil
bumi dari luar kota menuju pasar besar yang terletak di dekat alun-alun. Tak jarang
mereka juga bertemu dengan para prajurit yang sedang menjaga sudut-sudut jalan
untuk mencegah segala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
“Mengapa para prajurit itu
disiagakan di sudut-sudut jalan?” bertanya Ki Waskita yang berkuda di sebelah
Ki Rangga, “Apakah tidak cukup menempatkan mereka di gardu-gardu penjagaan
saja? Sedang di malam hari mereka memang dibutuhkan untuk meronda ke seluruh
sudut kota.”
Ki Rangga tersenyum mendapat
pertanyaan Ki Waskita. Sambil berpaling sekilas dia menjawab, “Prajurit-prajurit yang bersiaga
di sudut-sudut jalan itu selain memberikan rasa aman kepada kawula Mataram, mereka
juga mengawasi setiap gerak-gerik orang yang lalu lalang di jalan. Beberapa
saat yang lalu memang telah tumbuh kelompok-kelompok anak muda yang meresahkan
dan mengganggu keamanan. Mereka menamakan kelompok-kelompok itu dengan nama yang
menyeramkan seperti, Sidat macan, Kelabang Ireng dan lain lain. Mereka sering
membuat onar dengan tingkah yang aneh-aneh. Walaupun perbuatan mereka itu masih
dapat digolongkan sebagai kenakalan anak-anak muda, namun jika dibiarkan
berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan mereka akan terjerumus dalam
perbuatan yang mengarah pada tindak kejahatan.”
Orang-orang yang mendengar
keterangan Ki Rangga itu tampak mengangguk-angguk. Sedangkan Glagah Putih yang
berkuda di samping Ki Jayaraga hanya tersenyum- senyum saja.
Tanpa terasa perjalanan
mereka telah mencapai pintu gerbang kota sebelah utara. Karena Ki Rangga dan Glagah Putih tidak mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa menarik perhatian mereka segera keluar melalui pintu gerbang untuk kemudian berpacu di bulak
panjang yang menghubungkan kota Mataram dengan padukuhan terdekat.
Dalam pada itu di Ndalem
Kapangeranan, seorang pelayan dalam dengan sangat hati-hati telah mengetuk
pintu bilik Pangeran Pati.
“Siapa?” terdengar suara
Pangeran Pati dari dalam bilik.
“Hamba Pangeran, pelayan
dalam,” jawab pelayan dalam itu dengan suara rendah.
Sejenak kemudian terdengar
langkah-langkah kaki mendekat sebelum akhirnya terdengar selarak pintu diangkat
dan pintu bilik itupun terbuka.
“Ada apa sepagi ini engkau
menghadap?” bertanya Pangeran Pati yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik.
“Ampun Pangeran,” jawab
pelayan itu, “KI Tanpa Aran mohon menghadap.”
Sejenak Pangeran Pati
mengerutkan keningnya. Adalah bukan kebiasaan Ki Tanpa Aran menghadap di saat
seperti itu. Jika Pangeran Pati dan Ki Tanpa Aran akan membicarakan sesuatu hal yang berhubungan dengan kawruh kehidupan,
biasanya mereka akan bertemu ketika waktu menjelang sepi uwong.
“Di manakah Ki Tanpa Aran?”
bertanya Pangeran Pati itu kemudian.
“Ampun Pangeran, Ki Tanpa
Aran menunggu di pringitan.”
Pangeran Pati
mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Sampaikan kepadanya untuk
menunggu sebentar. Aku akan berbenah.”
“Sendika Pangeran,” jawab
pelayan dalam itu sambil menyembah dan kemudian mengundurkan diri.
Sugeng Enjang Mbah Man .... matur nuwun sanget wonten wedaran pagi pagi ..... bisa buat tambah semangat macul sawah .... tetep mbah man selalu buat penasaran ....
BalasHapusSehat terus mbah man ...
matur suwun mBah....
Hapusmenurut pakem, wedaran berikutnya : Seloso lan Kemis
dungaren mung siji.... biasae doble
Hapusternyata rontal jatuh hari Senin, matur nuwun mbah Man
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man .....
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya... sehat selalu.
BalasHapusMatur nuwun mbah_man, semangat senin...
BalasHapusWah.... Telat
BalasHapusRontal wedar bertepatan dg macet di depan Polda Metro Jaya? Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusWah telat. Ternyata ada wedaran
BalasHapusWah ikutan telat....
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....🙏🙏
Terima Kasih Mbah Man
BalasHapus