Senin, 23 Januari 2017

STSD 01_14

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Lanjutkan tugas kalian. Kami akan kembali ke Kepatihan.”

“Sendika Ki Patih,” berkata Ki Lurah kemudian. Begitu Ki Patih melangkah meninggalkan pintu gerbang, dengan sigap Ki Lurah segera memberi aba-aba para prajurit jaga untuk melaksanakan penghormatan.

Demikianlah mereka bertiga segera berjalan kembali ke Kepatihan. Di sepanjang jalan sesekali mereka masih membicarakan jati diri Ki Tanpa Aran. Namun dalam pembicaraan itu Ki Patih sama sekali tidak menyinggung nama  Kiai Gringsing dalam hubungannya dengan Ki Tanpa Aran, karena Ki Patih memang belum pernah bertemu muka dengan penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati itu.

Dalam pada itu malam terasa semakin mendekati ujungnya. Ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Barulah Ki Rangga dan Ki Waskita menyempatkan sejenak untuk berbaring setelah menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba yang selalu bersyukur kepada Tuhannya.

Ketika seorang pelayan kemudian memberitahukan kepada mereka untuk bersiap makan pagi, keempat orang itu pun segera berkemas.

Ternyata Ki Bango Lamatan telah terlebih dahulu hadir di ruang tengah kepatihan. Setelah menunggu beberapa saat, Ki Patih pun berkenan hadir dan bersama-sama dengan para tamunya untuk menikmati makan pagi.

“Memang masih terlalu pagi,” berkata Ki Patih sambil menyenduk nasi putih yang masih hangat, “Aku juga kurang terbiasa makan terlalu pagi. Namun karena kalian akan berangkat pagi ini, aku menyempatkan diri untuk menemani kalian makan pagi.”

“Terima kasih Ki Patih,” hampir bersamaan mereka menjawab.

“Kuda-kuda kalian telah disiapkan,” berkata Ki Patih kemudian, “Dengan berkuda, diharapkan perjalanan akan ditempuh lebih cepat,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengunyah makanan. Lanjutnya kemudian, “Sesampainya di Tanah Perdikan Matesih, kalian dapat berhubungan dengan salah satu petugas sandi yang berada di sana. Titipkan kuda-kuda kalian sebelum mendaki lereng gunung Tidar sebelah barat.”

Mereka berlima hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perintah ki Patih memang sudah sangat jelas. Mereka harus dapat memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen tanpa ada kesan keterlibatan Mataram.

Demikianlah setelah jamuan makan pagi itu selesai, Ki Patih telah mengantarkan tamu-tamunya ke halaman kepatihan. Di halaman telah menunggu lima ekor kuda yang terlihat biasa-biasa saja, bukan kuda yang besar dan tegap.

Untuk sejenak Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah termangu-mangu di tlundak pendapa sambil mengamati-amati kelima ekor kuda yang terlihat agak kecil.

Ki Patih tertawa melihat keragu-raguan yang tersirat di wajah kelima orang itu. Katanya kemudian, “Sengaja aku perintahkan untuk menyiapkan kuda-kuda ini agar tidak terlalu menarik perhatian di sepanjang perjalanan kalian,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil menuruni tlundak pendapa dan menghampiri salah satu kuda itu, Ki Patih meneruskan kata-katanya, “Kuda-kuda ini terlihat agak kecil namun cukup kuat untuk mengantar kalian sampai ke gunung Tidar. Jika kalian meragukan kemampuannya, kalian dapat mengambil istirahat di tepian kali Krasak sebelum meneruskan perjalanan.”

Mereka berlima tampak mengangguk-anggukkan kepala. Ki Rangga selaku pemimpin rombongan segera menjawab, “Sendika Ki Patih. Memang sebaiknya kami memberi kesempatan kuda-kuda ini nantinya untuk beristirahat di tepian kali Krasak.”

Ki Patih tersenyum sambil mengangguk. Katanya kemudian, “Nah apakah masih ada sesuatu yang ingin kalian sampaikan sebelum berangkat?”

Sejenak kelima orang itu saling berpandangan. Kembali Ki Rangga yang menjawab, “Ampun Ki Patih, kelihatannya kami sudah siap untuk berangkat,” Ki Rangga berhenti sejenak untuk menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Kami berlima segera mohon diri.”

“Silahkan,” jawab Ki Patih, “Semoga Yang Maha Agung senantiasa melindungi hambaNYa dalam setiap langkah dan usaha untuk menciptakan kedamaian di bumi Mataram ini.”

Demikianlah sejenak kemudian lima ekor kuda segera berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan regol istana Kepatihan. Kuda-kuda itu berderap di jalan-jalan kota yang sudah mulai ramai. Sesekali mereka berpapasan dengan pedati-pedati yang sarat memuat hasil bumi dari luar kota menuju pasar besar yang terletak di dekat alun-alun. Tak jarang mereka juga bertemu dengan para prajurit yang sedang menjaga sudut-sudut jalan untuk mencegah segala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

“Mengapa para prajurit itu disiagakan di sudut-sudut jalan?” bertanya Ki Waskita yang berkuda di sebelah Ki Rangga, “Apakah tidak cukup menempatkan mereka di gardu-gardu penjagaan saja? Sedang di malam hari mereka memang dibutuhkan untuk meronda ke seluruh sudut kota.”

Ki Rangga tersenyum mendapat pertanyaan Ki Waskita. Sambil berpaling sekilas  dia menjawab, “Prajurit-prajurit yang bersiaga di sudut-sudut jalan itu selain memberikan rasa aman kepada kawula Mataram, mereka juga mengawasi setiap gerak-gerik orang yang lalu lalang di jalan. Beberapa saat yang lalu memang telah tumbuh kelompok-kelompok anak muda yang meresahkan dan mengganggu keamanan. Mereka menamakan kelompok-kelompok itu dengan nama yang menyeramkan seperti, Sidat macan, Kelabang Ireng dan lain lain. Mereka sering membuat onar dengan tingkah yang aneh-aneh. Walaupun perbuatan mereka itu masih dapat digolongkan sebagai kenakalan anak-anak muda, namun jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan mereka akan terjerumus dalam perbuatan yang mengarah pada tindak kejahatan.”

Orang-orang yang mendengar keterangan Ki Rangga itu tampak mengangguk-angguk. Sedangkan Glagah Putih yang berkuda di samping Ki Jayaraga hanya tersenyum- senyum saja.

Tanpa terasa perjalanan mereka telah mencapai pintu gerbang kota sebelah utara. Karena Ki Rangga dan Glagah Putih tidak mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa menarik perhatian mereka segera keluar melalui pintu gerbang untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menghubungkan kota Mataram dengan padukuhan terdekat.

Dalam pada itu di Ndalem Kapangeranan, seorang pelayan dalam dengan sangat hati-hati telah mengetuk pintu bilik Pangeran Pati.

“Siapa?” terdengar suara Pangeran Pati dari dalam bilik.

“Hamba Pangeran, pelayan dalam,” jawab pelayan dalam itu dengan suara rendah.

Sejenak kemudian terdengar langkah-langkah kaki mendekat sebelum akhirnya terdengar selarak pintu diangkat dan pintu bilik itupun terbuka.

“Ada apa sepagi ini engkau menghadap?” bertanya Pangeran Pati yang berdiri di tengah-tengah pintu bilik.

“Ampun Pangeran,” jawab pelayan itu, “KI Tanpa Aran mohon menghadap.”

Sejenak Pangeran Pati mengerutkan keningnya. Adalah bukan kebiasaan Ki Tanpa Aran menghadap di saat seperti itu. Jika Pangeran Pati dan Ki Tanpa Aran akan membicarakan sesuatu hal yang berhubungan dengan kawruh kehidupan, biasanya mereka akan bertemu ketika waktu menjelang sepi uwong.

“Di manakah  Ki Tanpa Aran?” bertanya Pangeran Pati itu kemudian.

“Ampun Pangeran, Ki Tanpa Aran menunggu di pringitan.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Sampaikan kepadanya untuk menunggu sebentar. Aku akan berbenah.”


“Sendika Pangeran,” jawab pelayan dalam itu sambil menyembah dan kemudian mengundurkan diri.

12 komentar :

  1. Sugeng Enjang Mbah Man .... matur nuwun sanget wonten wedaran pagi pagi ..... bisa buat tambah semangat macul sawah .... tetep mbah man selalu buat penasaran ....

    Sehat terus mbah man ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. matur suwun mBah....
      menurut pakem, wedaran berikutnya : Seloso lan Kemis

      Hapus
    2. dungaren mung siji.... biasae doble

      Hapus
  2. ternyata rontal jatuh hari Senin, matur nuwun mbah Man

    BalasHapus
  3. Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya... sehat selalu.

    BalasHapus
  4. Matur nuwun mbah_man, semangat senin...

    BalasHapus
  5. Rontal wedar bertepatan dg macet di depan Polda Metro Jaya? Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
  6. Wah telat. Ternyata ada wedaran

    BalasHapus
  7. Wah ikutan telat....

    Matur nuwun sanget Mbah Man....🙏🙏

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.