Selasa, 10 Januari 2017

STSD 01-09

Sejenak suasana menjadi sepi. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benak Ki Rangga. Namun akhirnya Ki Rangga hanya dapat berpasrah diri kepada  Yang Maha Mengetahui apapun  yang akan terjadi esok hari.

“Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian memecah sepi, “Apakah Ki Rangga masih mempunyai persoalan yang ingin disampaikan?”

KI Rangga tidak segera menjawab. Sejenak ingatannya tiba-tiba saja kembali ke peristiwa pertempuran lemah Cengkar beberapa saat yang lalu.

“Ampun Pangeran,” segera Ki Rangga menghaturkan sembah sambil bertanya, “Jka memang hamba diperkenankan untuk mengetahui, siapakah orang tua yang pernah bersama Pangeran di lemah Cengkar beberapa saat yang lalu?”

Pangeran Pati tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat dipandangi Ki Rangga yang duduk di hadapannya. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, akhirnya justru terlontar sebuah pertanyaan dari Pewaris tahta Mataram itu, “Mengapa Ki Rangga ingin mengetahui jati diri orang tua itu?”

Dengan cepat Ki Rangga menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Pangeran, hamba rasa-rasanya pernah mengenal orang tua itu, namun hamba kurang yakin akan pengamatan hamba pada saat itu.”

Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Orang tua itu bernama Ki Tanpa Aran, atau kadang-kadang orang memanggilnya kakek Tanpa Aran. Beliau adalah murid dan juga sekaligus sahabat dari Kanjeng Sunan.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Ki Rangga. Segera saja ingatan Ki Rangga melayang pada selembar kain gringsing yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer Bumi di padukuhan Merjan.

“Mungkinkah..?” bertanya Ki Rangga dalam hati. Namun pertanyaan itu hanya  disimpannya saja di dalam hati.

“Mohon ampun Pangeran. Di manakah Ki Tanpa Aran itu tinggal?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Sekarang Ki Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan atas permintaanku,” jawab Pangeran Pati, “Sebenarnya Ki Tanpa Aran menolak untuk tinggal di sini, namun atas perkenan Kanjeng Sunan, Ki Tanpa Aran diminta untuk membimbing aku dalam kawruh lahir maupun batin sehingga mau tidak mau harus tinggal di Ndalem Kapangeranan.”

Dada Ki Rangga terasa bergemuruh begitu mendengar Ki Tanpa Aran itu ternyata sekarang ini tinggal di Ndalem Kapangeranan. Maka katanya kemudian, “Ampun Pangeran, jika diperkenankan suatu saat hamba ingin mengenal Ki Tanpa Aran itu lebih dekat.”

“O, silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati dengan serta merta, “Namun agak sulit untuk menemui orang tua itu. Walaupun sudah disediakan sebuah bilik khusus baginya, namun bilik itu lebih sering kosong.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Panggraitanya yang tajam sedikit banyak mulai dapat meraba jati diri orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu.

“Nah, Ki Rangga,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Apakah masih ada permasalahan lagi yang ingin engkau sampaikan?”

“Hamba kira sudah cukup Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Jika diperkenankan hamba segera mohon diri.”

“Silahkan Ki Rangga,” jawab Pangeran Pati sambil bangkit berdiri yang segera diikuti oleh Ki Rangga, “Sampaikan salamku kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga serta Glagah Putih. Ingat, apa yang kita bicarakan tadi hanya sebatas pengetahuan untuk diri Ki Rangga saja.”

“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil membungkuk dalam-dalam.

Demikianlah akhirnya Ki Rangga pun segera minta diri. Setelah diantar oleh Pelayan Dalam sampai ke regol depan, Ki Rangga pun memilih melanjutkan perjalanannya kembali ke Istana Kepatihan seorang diri.

“Apakah Ki Rangga memerlukan kawan?” bertanya prajurit jaga Ndalem Kapangeranan yang menjemputnya tadi.

“O, tidak. Terima kasih,” jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku sudah tahu jalannya. Jika aku nanti tersesat, aku bisa bertanya kepada para prajurit yang berada di gardu penjagaan sepanjang jalan menuju istana Kepatihan.”

“Atau kalau ragu-ragu, Ki Rangga dapat kembali ke penjagaan ini untuk bertanya,” jawab prajurit itu yang disambut dengan gelak tawa.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga pun telah menyusuri jalan yang menuju ke istana Kepatihan.

Dalam pada itu, malam telah melewati puncaknya. Angin malam yang dingin bertiup lembut mengusap tubuh Ki Rangga yang sedikit basah oleh keringat. Suara binatang malam yang terdengar bersahut-sahutan dalam irama ajeg menambah suasana malam yang sepi  itu menjadi semakin ngelangut.

Namun baru beberapa puluh langkah meninggalkan Ndalem Kapangeranan, tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam telah mendengar suara yang asing di antara nyanyian binatang malam. Ketajaman panggraitanya telah memberitahukan kepadanya bahwa suara itu bukan suara yang berasal dari sejenis binatang malam.

Suara itu sedikit berbeda dengan suara binatang-binatang yang lain. Suara itu sesekali terdengar bagaikan desis seekor ular namun dengan nada yang berubah-ubah. Kadang meninggi tajam seperti jeritan seekor bilalang, namun tiba-tiba dengan cepat menurun seperti derik seekor jengkerik.

Dengan segera Ki Rangga menghentikan langkahnya. Dengan aji sapta pangrungu dicobanya untuk mengetahui arah sumber suara itu. Tiba-tiba dada Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Sumber suara itu berasal dari  arah belakang Ndalem Kapangeranan.

Untuk beberapa saat Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Seumur hidup Ki Rangga memang belum pernah mendengar suara isyarat semacam itu kecuali yang pernah diperagakan oleh gurunya pada waktu itu. Suara yang dia dengar itu adalah semacam isyarat dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa Kerajaan Majapahit, perguruan Windujati. Bahkan menurut cerita gurunya, beberapa perguruan  lain yang masih sealiran dengan perguruan Windujati  juga telah menggunakan isyarat semacam itu untuk kepentingan bersama.

Sebagai murid orang bercambuk, tentu saja Ki Rangga juga mendapat pengetahuan tentang bahasa isyarat itu dari gurunya. Namun sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh gurunya, isyarat semacam itu hampir tidak pernah dijumpai lagi semenjak pemerintahan Demak lama berpindah ke Pajang dan kemudian sampai Mataram berdiri.

Kini pada saat Ki Rangga berada di dekat Ndalem Kapangeranan justru telah mendengar suara isyarat semacam itu.

“Ki Tanpa Aran?” tiba tiba terlintas sebuah nama di dalam benak Ki Rangga, “Mungkinkah Ki Tanpa Aran yang telah melontarkan isyarat itu untuk memanggilku?”

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja sekujur tubuh Ki Rangga menjadi gemetar. Dugaan sementara tentang orang tua yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu memang mengarah kepada gurunya, Kiai Gringsing yang tidak pernah diketahui tempat kuburnya.

Dengan mengerahkan kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh gesekan pergerakan tubuhnya dengan alam sekitarnya, Ki Rangga pun segera bergeser mendekati ke arah sumber bunyi tersebut.

Setelah meloncati beberapa pagar rumah-rumah yang berada di sekitar Ndalem Kapangeranan, Ki Rangga berusaha untuk semakin dekat dengan sumber bunyi itu.


Namun begitu Ki Rangga telah semakin dekat dengan sumber bunyi itu, ternyata sumber bunyi itu justru mulai bergeser menjauh. Agaknya orang yang dengan sengaja telah melontarkan isyarat itu mengetahui bahwa seseorang telah tertarik dengan isyaratnya dan sedang berusaha mendekat ke arahnya.

28 komentar :

  1. Alhamdulillah.....
    Matur suwun Panembahan

    BalasHapus
  2. Matur nuwun sanget Mbah Man....ternyata misteri kain gringsing mulai terkuak yang dititipkan ke Penembahan Panjer Bumi dan dititipkan lagi ke Buyut desa Merjan utk diperlihatkan kepada seorang murid terkasih sang pemilik kain gringsing itu..ah Mbah Man...."Salam Super"..👍👍👍👍🙏🙏🙏

    BalasHapus
  3. matur nuwun mbahman semakin rumit dan semakin sulit.

    BalasHapus
  4. Luar biasa ..... matur nuwun Mbah Man !

    BalasHapus
  5. Panembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino

    BalasHapus
  6. Panembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siji malih...dapat hadiah celengan semar....hehe

      Hapus
    2. Panembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino

      Pundi celengane?

      Hapus
    3. Panembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino

      Pundi celengane?

      Hapus
    4. Siji malih....dapat hadiah celengan semar...plus bonus jajanan semar mendem....hahaha

      Hapus
    5. Hadiah celengan ayam, ambil di Sengkaling. H hi hi ....

      Hapus
    6. Hadiahne hangus wong perlune siji malih...koq jbule loro ...hehehe

      Hapus
  7. Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya.

    BalasHapus
  8. tambah seru... makin penasaran...

    BalasHapus
  9. matur nuwun sanget mbah man ...... makin ruwet bin mumet ... tapi memang asyiknya tu disiniiiii .....

    mbah man memang wokey

    BalasHapus
  10. Semangat pagi...
    Menunggu pertemuan RAS dengan gurunya

    BalasHapus
  11. Mantab sekali dan semakin penasaran Mbah Man

    BalasHapus
  12. banyak skenario yang mungkin terjadi, tapi pasti gak bisa ketebak ,.. selalu ada kejutan dan Mbah Man .... ini yang buat betah muter taman bacaan .....

    BalasHapus
  13. Semangat pagi...
    Masih sabar menunggu wedaran berikutnya

    BalasHapus
  14. kalau ki Tanpa Aran = ki Tanu Metir, ki Ajar Mintaraga = ?
    teka-teki makin rumit, belum tentu juga ki TA adalah ki Tanu Metir, ki RAS sudah memakai ilmu sapta Pandulu,sabta Panggraita tetapi dilemah cengkar tidak berhasil mengenalinya dengan yakin, matur nuwun mbahman

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.