Dalam pada itu di ruang tengah, dengan setengah berlari Rara
Anjani segera menuju ke biliknya. Ketika dia berpapasan dengan pelayan dapur
yang sedianya bertugas mengantar minuman dan makanan itu ke ruang dalam, nampan
kayu itu pun segera diserahkannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pelayan dapur itu menerima
nampan dengan kening berkerut. Tampak Rara Anjani begitu tergesa-gesa
menyerahkan nampan itu kepadanya sehingga tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari
bibir yang memerah delima itu.
“Aneh,” desis pelayan itu
begitu bayangan Rara Anjani menghilang di balik pintu, “Tidak biasanya Rara
Anjani bertingkah seperti ini. Dia selalu ramah kepada siapa saja termasuk kami
para pelayan. Dan yang tak pernah lupa
dari Rara Anjani adalah ucapan terima kasih dan senyum yang tulus setiap dia meminta
pertolongan kepada siapa saja, khususnya kepada para pelayan Ndalem
Kapangeranan.”
Namun pelayan Ndalem
Kapangeranan yang sudah cukup berumur itu tidak dapat menarik kesimpulan apa pun dari
peristiwa yang baru saja terjadi.
“Mungkin hati Rara sedang
suntuk,” berkata pelayan itu dalam hati sambil berjalan kembali ke dapur.
Dalam pada itu sesampainya
di bilik, Rara Anjani segera menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan sehingga
terdengar suara kayu yang berderak-derak. Wajahnya tampak sebentar pucat
sebentar memerah. Tanpa terasa air mata telah menganak sungai dari sudut kedua
belah matanya yang terpejam rapat.
Tidak ada isak tangis. Hanya
suara desah tertahan serta nafas yang sedikit memburu. Hati Rara Anjani benar-benar
sedang didera oleh rasa kecewa.
“Mengapa aku masih tidak
bisa menerima kenyataan ini?” desahnya diantara nafas yang memburu sehingga
tampak dadanya bergelombang, ”Aku telah mencoba menyembunyikan perasaan ini
dengan mengabdikan diriku seutuhnya di Ndalem Kapangeranan. Dengan demikian aku
berharap tidak akan pernah lagi berjumpa dengan Ki Rangga. Biarlah kenangan indah itu terkubur bersama dengan berlalunya waktu. Namun kenyataannya, aku tetap
tidak mampu melupakan Ki Rangga, orang yang pertama kali telah menyentuh hatiku
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kesabaran serta keteladanan yang selama
ini telah ditunjukkannya.”
tiba-tiba Rara Anjani menjadi gelisah.
Tanpa sadar dia bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Berkali-kali dia
berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dada sambil
menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya dengan ujung bajunya.
“Sengaja aku mengenakan
pakaian yang indah ini agar Ki Rangga menjadi silau dan tidak punya keberanian
untuk menatapku,” berkata Rara Anjani kemudian sambil matanya menerawang ke
langit-langit bilik, “Aku ingin menunjukkan kepada Ki Rangga bahwa ternyata
yang aku dapatkan jauh lebih baik dari apa yang dijanjikannya. Namun ternyata
Ki Rangga tidak menjadi silau dan
menundukkan kepalanya. Dia justru telah menatapku dengan tatapan mata seperti
pertama kali kita bertemu. Tatapan yang memancarkan cahaya penuh kekaguman,
penuh kedamaian serta penuh harapan namun yang ternyata telah membuatku salah
paham.”
Kembali Rara Anjani menarik
nafas panjang. Sambil membetulkan letak sanggulnya kembali dia berkata dalam
hati, “Sebenarnyalah hati kecilku tidak mampu untuk membenci Ki Rangga. Apa
yang ingin aku pamerkan di hadapan Ki Rangga justru telah melukai hatiku
sendiri.”
Untuk beberapa saat Rara
Anjani masih merenungi dirinya. Tiba-tiba saja sebuah gagasan menyelinap di
dalam benaknya dan membuat Rara Anjani tersenyum.
“Aku akan melakukannya,”
desisnya kemudian sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke
geledek kayu jati berukir indah yang terletak di sudut bilik.
Dalam pada itu di ruang
dalam, sepeninggal Rara Anjani, Pangeran Pati yang sedari tadi selalu mengikuti
gerak gerik Ki Rangga telah menahan senyumnya. Katanya kemudian, “Ki Rangga, Rara
Anjani telah banyak bercerita tentang diri Ki Rangga,” Pangeran Pati itu berhenti
sejenak sambil mengamati perubahan yang terjadi pada wajah Ki Rangga. Namun Ki
Rangga tampak hanya diam membisu. Maka kata Pangeran Pati kemudian, “Rara
Anjani mengaku telah ditolong oleh Ki Rangga dari cengkeraman kedua gurunya
yang jahat.”
Sampai disini Ki Rangga
masih diam membisu sambil menundukkan kepalanya dalam dalam. Dia belum dapat menebak
ke arah mana pembicaraan Putra Mahkota itu.
“Rara Anjani juga bercerita
tentang janji Ki Rangga untuk membawanya ke Menoreh,” berkata Pangeran Pati
selanjutnya.
Sampai disini jantung Ki
Rangga benar-benar bagaikan ditusuk ujung duri kemarung. Sejenak dada Senapati
pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh itu menjadi pepat bagaikan tertindih berbongkah-bongkah
batu padas yang berguguran dari lereng bukit.
Ki Rangga.. ki Rangga... Nini Nini...
BalasHapusMatur sembah nuwun Mbah_Man
Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalipun.
BalasHapusmatur nuhun mbah man, karya mbah man mengalir pelan, mirip dengan ki shm..alur ndak terlalu cepat, enak dibaca..nuhun sanget
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man, Wedaran Jumat Barokah.
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man, Wedaran Jumat Barokah.
BalasHapusApakah Anjani akan dikembalikan pada Ki Rangga AS ???
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man ..... Jum'at Mubarak !
BalasHapusMbah man aku tunggu2
BalasHapusMemang benar kata orang, 'cinta tidak harus memiliki' . . . . Sabar Ki Rangga . . . .
BalasHapusTapi kalau kata orang orangan sawah "cinta itu harus dimiliki bahkan ditunggui kalau tidak ingin dicuri burung emprit" nanti bisa gagal panen efek biss paceklik...hehehelmhelm.... ngilangi kantuk...zzzzz
HapusWedaran jumat sore buat bekal weekend. Matur nuwun mbah man.
BalasHapusBiar irit bekalnya baca 2 jam sekali cukup 3 baris...pasti bisa sampai hari minggu Ki HRG..hahaha...
HapusPulang ah bekalnya sudah habis...zzzz
Ha ha betul.
HapusTapi siapa tahu mbah man nggak tega cantrik pada nunggu kelamaan terus banjir rontal.
Senada dg komen sdr Henki Mainart alur cerita karya mbah Man 100% mirip dg karya SHM. Bahkan menurut saya lebih hidup dan lebih mantap. Ketika menggambarkan suasana hati tokoh2nya terasa sangat hidup dan membawa pembacanya ikut larut dlm suasana tsb.
BalasHapusHebat mbah Man ... semoga selalu dikaruniai kesehatan oleh Allah SWT shg dpt terus berkarya. Amiin ya Robbal 'alamiin.
Buku2nya sdh diterbitkan belum ya ?
Senada dg komen sdr Henki Mainart alur cerita karya mbah Man 100% mirip dg karya SHM. Bahkan menurut saya lebih hidup dan lebih mantap. Ketika menggambarkan suasana hati tokoh2nya terasa sangat hidup dan membawa pembacanya ikut larut dlm suasana tsb.
BalasHapusHebat mbah Man ... semoga selalu dikaruniai kesehatan oleh Allah SWT shg dpt terus berkarya. Amiin ya Robbal 'alamiin.
Buku2nya sdh diterbitkan belum ya ?
Sepindah maleh..dpt hadiah cangkir
HapusBerikut gula dan kopi cap sepur....cocok untuk teman bergadang kalau ada perlunya...sambil moco rontal wayah rame tuyul,meeting karo Anjani yang sedang mempunyai gagasan untuk kawin lari..hehehe
HapusMatur nuwun sanget Mbah Man...
ditambah jadah dan tempe goreng ki biar passss
HapusMatur nuwun mbah_man, waduh anjani anjani....
BalasHapusKalau baca postingan Mbah Man rasanya nggak sabar tuk baca kelanjutannya. Persis ketika nunggu jaman Ki SHM. Matur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah man wedarannya ....
BalasHapusmudah2xan ada lagi hari ini ..... hehehe
siapa tahu ketemu anjani waktu muter taman ....
Weh...sepertinya taman rumah Ki DP luas, seluas Taman Mini Indonesia Indah....pantesan belum pulang dari Jum'atan kemarin padahal Masjidnya disebelah rumah.....tunggu aja Ki DP Anjani lagi otw......hehehe
HapusNambah Mbah.....hihihi
Semoga mBah Man selalu diparingi sehat.... Aamiin...
BalasHapusmbah man oh mbah man...
BalasHapusbnr2 bikin penasaran...
hmmm...
Penasaran itu memang selalu datang belakangan setelah habis membaca, kalau penasaran datang duluan itu namanya pendaftaran...minta tolong dibuatkan penasaran..misalnya nambah malih Mbah Man 4 halaman saja..hehehe
HapusItulah indahnya suatu harapan dari sebuah cinta kasih disimpang jalan ... Makasih Mbah Man
BalasHapusMatur sembah nuwun
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus