Rabu, 25 Januari 2017

STSD 01_17

Ki Jayaraga yang duduk membelakangi arah datangnya kuda-kuda itu telah berpaling ke belakang. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedatangan kuda-kuda itu segera berdiri dari tempat duduknya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang kotor terkena pasir di tepian.

Ketika jarak kuda yang paling depan hanya tinggal lima langkah saja, barulah dengan malasnya Ki Jayaraga bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.

“Selamat siang,” berkata orang yang berjambang itu sambil melompat turun dari kudanya dan diikuti oleh kedua kawannya, “Maaf jika kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu istirahat Ki Sanak semuanya.”

Glagah Putih yang mendengar cara orang berjambang itu berbicara telah mengerutkan keningnya. Tingkah laku maupun nada suara orang berjambang itu cukup sopan dan mengenal unggah-ungguh. Padahal sewaktu di atas tanggul tadi, apa yang didengarnya sangatlah jauh berbeda. Mereka datang ke tempat itu hanyalah bertujuan untuk merampas barang-barang berharga yang dimiliki oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.

“O, tidak-tidak,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil tersenyum lebar, “Marilah, silahkan duduk. Kami sudah terbiasa berbagi tempat. Demikian juga  jika Ki Sanak sekalian membutuhkan bekal, kami juga ada. Kami membawa  juadah bakar, ketela rebus yang dicampur dengan santan dan gula kelapa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tentu saja kuah santan gula kelapanya dibuat kental  agar mudah  membawanya.”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sekilas dia berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketika orang yang pendek kekar itu menganggukkan kepalanya, orang berjambang itupun segera menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kedatangan kami ke tempat ini bukan untuk beristirahat. Kami telah cukup beristirahat di padukuhan Salam tadi,” orang berjambang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kedatangan kami adalah untuk mengajak kalian semua menyadari apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di tanah ini, tanah tercinta kita ini.”

Dalam pada itu, Ki Rangga dan Ki Waskita agaknya mulai tertarik dengan percakapan itu sehingga keduanya telah berdiri dan berjalan mendekat.

“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sesampainya di samping Ki Jayaraga, “Kami sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Ki Sanak. Menurut hemat kami, di tanah ini tidak sedang terjadi apa-apa? Sejak kami dilahirkan kemudian menjadi setua ini, di tanah kita yang tercinta ini keadaannya tidak pernah ada bedanya. Dari hari ke hari, minggu menjadi minggu. Bahkan telah  bertahun  tahun kami menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, kami sama sekali tidak melihat adanya banyak perubahan.”

Untuk sejenak orang berjambang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang tajam ke arah Ki Rangga, dia pun bertanya, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

“Kami adalah pedagang wesi aji dan perhiasan dari Prambanan,” sahut Ki Waskita yang juga telah berdiri di samping Ki Jayaraga, “Kami menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk menawarkan barang dagangan kami,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun kami juga siap untuk membeli barang-barang berharga yang sekiranya menarik minat kami dari siapapun.”

Sejenak mata ketiga orang itu berbinar begitu mengetahui bahwa calon mangsa yang berdiri di hadapan mereka kali ini adalah pedagang weji aji dan barang-barang berharga.

“Ki Sanak,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami adalah anggota dari sekelompok orang-orang yang menginginkan perubahan. Wahyu keprabon di tanah ini seharusnya tetap tegak lurus dari Trah Majapahit. Namun pada kenyataannya wahyu keprabon sekarang telah dicuri oleh keturunan pidak pedarakan yang berasal dari Sela,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Sanak pernah mendengar sebuah cerita tentang buah kelapa milik Ki Ageng Giring? Nah, sudah waktunya wahyu keprabon saat ini kembali kepada yang berhak.”

Dengan nada sedikit ragu-ragu Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas wahyu keprabon itu?”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Jawabnya kemudian, “Siapa lagi kalau bukan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen?”

Ki Rangga dan kawan-kawannya sejenak  tertegun. Ternyata pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu telah jauh menyebar dan agaknya orang-orang semacam inilah yang telah berusaha dengan tak mengenal lelah untuk menyebar luaskan pengaruh itu.

“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bukankah Harya Penangsang sebagai keturunan Sekar Seda Lepen telah gugur di pinggir bengawan Sore? Sedangkan Harya Mataram telah hilang dan tidak ketahuan lagi rimbanya?”

“Itu bukan urusan Ki Sanak,” jawab orang berjambang itu, “Sekarang yang perlu kami ketahui adalah, apakah Ki Sanak  mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk kembali menduduki tahta atau tetap mendukung keturunan para petani dari Sela itu?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat diam termangu. Sementara Glagah Putih yang masih berdiri bersandaran pada batu sebesar kerbau itu tidak ingin ikut campur. Dia telah percaya sepenuhnya kepada Ki Rangga dan orang-orang tua itu.

“Ki Sanak,” akhirnya orang berjambang itu berkata untuk memecah kesunyian, “Kalian tidak harus bergabung dengan barisan kami jika memang ingin mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk menduduki Tahta kembali. Ki Sanak cukup menyumbangkan benda-benda berharga yang Ki Sanak miliki. Kami memerlukan dana yang sangat besar untuk mewujudkan tanah ini kembali gemah ripah loh jinawi sebagaimana di masa kejayaan Majapahit dahulu.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata itulah pokok permasalahan sebenarnya  yang ingin disampaikan oleh orang berjambang itu, pengumpulan dana baik secara suka rela maupun paksaan untuk mewujudkan cita-cita kelompok mereka.


Selagi Ki Rangga berpikir untuk menyelesaikan persoalan  itu tanpa menimbulkan kekerasan, tiba-tiba Ki Waskita telah maju dua langkah sambil kedua tangannya mengangsurkan sebuah keris berpendok emas dan bertretes berlian. Kata Ki Waskita kemudian, “Inilah Ki Sanak. Mungkin aku tidak bisa membantu dengan tenagaku yang sudah tua renta ini. Semoga keris ini akan bermanfaat bagi perjuangan kalian.”

10 komentar :

  1. langsung dpt rontal dari mbah Man ... matur nuwun mbah Man

    BalasHapus
  2. Matur-nuwun mBah-Man atas rontalnya, sehat selalu,....

    BalasHapus
  3. Matur Nuwun Mbah_Man.
    sihat sejahtera, Mbah.

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man ..... semoga tetap sehat wal afiat !

    BalasHapus
  5. Matur nuwun sanget mbah Man ... wuiiihhhhh banyak rontal ....
    semoga Mbah Man sehat terusss ....

    BalasHapus
  6. Ada lagi yg menjadi korban dari ilmu Ki Waskita. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.