Ki Jayaraga yang duduk
membelakangi arah datangnya kuda-kuda itu telah berpaling ke belakang.
Sedangkan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedatangan kuda-kuda itu
segera berdiri dari tempat duduknya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya
yang kotor terkena pasir di tepian.
Ketika jarak kuda yang
paling depan hanya tinggal lima langkah saja, barulah dengan malasnya Ki
Jayaraga bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.
“Selamat siang,” berkata
orang yang berjambang itu sambil melompat turun dari kudanya dan diikuti oleh kedua
kawannya, “Maaf jika kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu istirahat
Ki Sanak semuanya.”
Glagah Putih yang mendengar
cara orang berjambang itu berbicara telah mengerutkan keningnya. Tingkah laku
maupun nada suara orang berjambang itu cukup sopan dan mengenal unggah-ungguh.
Padahal sewaktu di atas tanggul tadi, apa yang didengarnya sangatlah jauh
berbeda. Mereka datang ke tempat itu hanyalah bertujuan untuk merampas barang-barang
berharga yang dimiliki oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.
“O, tidak-tidak,” Ki
Jayaraga lah yang menyahut sambil tersenyum lebar, “Marilah, silahkan duduk.
Kami sudah terbiasa berbagi tempat. Demikian juga jika Ki Sanak sekalian membutuhkan bekal, kami
juga ada. Kami membawa juadah bakar,
ketela rebus yang dicampur dengan santan dan gula kelapa,” Ki Jayaraga berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tentu saja kuah santan gula kelapanya dibuat kental
agar mudah membawanya.”
Orang berjambang itu tidak
segera menjawab. Sekilas dia berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketika orang
yang pendek kekar itu menganggukkan kepalanya, orang berjambang itupun segera
menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kedatangan kami ke tempat ini bukan untuk
beristirahat. Kami telah cukup beristirahat di padukuhan Salam tadi,” orang
berjambang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kedatangan kami adalah
untuk mengajak kalian semua menyadari apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi
di tanah ini, tanah tercinta kita ini.”
Dalam pada itu, Ki Rangga
dan Ki Waskita agaknya mulai tertarik dengan percakapan itu sehingga keduanya
telah berdiri dan berjalan mendekat.
“Ki Sanak,” berkata Ki
Rangga kemudian sesampainya di samping Ki Jayaraga, “Kami sama sekali tidak
mengerti arah pembicaraan Ki Sanak. Menurut hemat kami, di tanah ini tidak
sedang terjadi apa-apa? Sejak kami dilahirkan kemudian menjadi setua ini, di
tanah kita yang tercinta ini keadaannya tidak pernah ada bedanya. Dari hari
ke hari, minggu menjadi minggu. Bahkan telah bertahun
tahun kami menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, kami sama sekali
tidak melihat adanya banyak perubahan.”
Untuk sejenak orang
berjambang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang tajam ke arah Ki
Rangga, dia pun bertanya, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”
“Kami adalah pedagang wesi
aji dan perhiasan dari Prambanan,” sahut Ki Waskita yang juga telah berdiri di
samping Ki Jayaraga, “Kami menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk menawarkan
barang dagangan kami,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun
kami juga siap untuk membeli barang-barang berharga yang sekiranya menarik
minat kami dari siapapun.”
Sejenak mata ketiga orang
itu berbinar begitu mengetahui bahwa calon mangsa yang berdiri di hadapan mereka
kali ini adalah pedagang weji aji dan barang-barang berharga.
“Ki Sanak,” berkata orang
berjambang itu kemudian, “Kami adalah anggota dari sekelompok orang-orang yang
menginginkan perubahan. Wahyu keprabon di tanah ini seharusnya tetap tegak lurus
dari Trah Majapahit. Namun pada kenyataannya wahyu keprabon sekarang telah
dicuri oleh keturunan pidak pedarakan yang berasal dari Sela,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian, “Apakah Ki Sanak pernah mendengar sebuah cerita tentang buah kelapa milik Ki Ageng
Giring? Nah, sudah waktunya wahyu keprabon saat ini kembali kepada yang
berhak.”
Dengan nada sedikit
ragu-ragu Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya yang berhak
atas wahyu keprabon itu?”
Orang berjambang itu tidak
segera menjawab. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Jawabnya kemudian, “Siapa
lagi kalau bukan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen?”
Ki Rangga dan kawan-kawannya
sejenak tertegun. Ternyata pengaruh Trah
Sekar Seda Lepen itu telah jauh menyebar dan agaknya orang-orang semacam inilah
yang telah berusaha dengan tak mengenal lelah untuk menyebar luaskan pengaruh
itu.
“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki
Rangga kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bukankah Harya
Penangsang sebagai keturunan Sekar Seda Lepen telah gugur di pinggir bengawan
Sore? Sedangkan Harya Mataram telah hilang dan tidak ketahuan lagi rimbanya?”
“Itu bukan urusan Ki Sanak,”
jawab orang berjambang itu, “Sekarang yang perlu kami ketahui adalah, apakah Ki
Sanak mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk
kembali menduduki tahta atau tetap mendukung keturunan para petani dari Sela itu?”
Untuk beberapa saat Ki
Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat diam termangu. Sementara Glagah
Putih yang masih berdiri bersandaran pada batu sebesar kerbau itu tidak ingin
ikut campur. Dia telah percaya sepenuhnya kepada Ki Rangga dan orang-orang tua
itu.
“Ki Sanak,” akhirnya orang
berjambang itu berkata untuk memecah kesunyian, “Kalian tidak harus bergabung
dengan barisan kami jika memang ingin mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk menduduki
Tahta kembali. Ki Sanak cukup menyumbangkan benda-benda berharga yang Ki Sanak
miliki. Kami memerlukan dana yang sangat besar untuk mewujudkan tanah ini
kembali gemah ripah loh jinawi sebagaimana di masa kejayaan Majapahit dahulu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga
dan kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata itulah pokok
permasalahan sebenarnya yang ingin
disampaikan oleh orang berjambang itu, pengumpulan dana baik secara suka rela
maupun paksaan untuk mewujudkan cita-cita kelompok mereka.
Selagi Ki Rangga berpikir
untuk menyelesaikan persoalan itu tanpa menimbulkan
kekerasan, tiba-tiba Ki Waskita telah maju dua langkah sambil kedua tangannya mengangsurkan
sebuah keris berpendok emas dan bertretes berlian. Kata Ki Waskita kemudian, “Inilah
Ki Sanak. Mungkin aku tidak bisa membantu dengan tenagaku yang sudah tua renta
ini. Semoga keris ini akan bermanfaat bagi perjuangan kalian.”
langsung dpt rontal dari mbah Man ... matur nuwun mbah Man
BalasHapusmatur nuwun mbah-man
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man atas rontalnya, sehat selalu,....
BalasHapusMatur Nuwun Mbah_Man.
BalasHapussihat sejahtera, Mbah.
Matur nuwun Mbah Man ..... semoga tetap sehat wal afiat !
BalasHapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man ... wuiiihhhhh banyak rontal ....
BalasHapussemoga Mbah Man sehat terusss ....
Ada lagi yg menjadi korban dari ilmu Ki Waskita. Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus