Ketiga orang itu terkejut begitu
melihat keris berpendok emas dan bertretes berlian di tangan Ki Waskita. Sementara
Ki Rangga dan kawan-kawannya telah mengerutkan kening mereka dalam-dalam, namun
itu hanya terjadi sesaat. Sejenak kemudian tampak kepala mereka
terangguk-angguk.
Dengan cepat orang
berjambang itu meraih keris di tangan Ki Waskita. Katanya kemudian, “Terima
kasih. Bantuan Ki Sanak tidak akan pernah kami lupakan,” orang itu berhenti
sejenak. Katanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Bagaimana
dengan Ki Sanak yang lain? Apakah tidak ingin menyumbangkan harta benda kalian
demi sebuah perjuangan suci ini?”
Mendengar pertanyaan itu Ki
waskita segera tanggap. Sambil berjalan menghampiri kawan-kawannya kecuali
Glagah Putih, Ki Waskita pun berkata, “Tentu, tentu Ki Sanak. Dengan senang
hati kawan-kawan kami akan ikut berderma untuk perjuangan ini.”
Segera saja di tangan Ki Waskita
terkumpul beberapa benda berharga, sebuah timang emas, tiga buah cincin emas
bermata merah delima dan beberapa batu permata.
Dengan sebuah senyum lebar
orang berjambang itu menerima barang-barang tersebut dari tangan Ki Waskita. Kemudian
katanya kepada kawannya yang bertubuh pendek kekar, “Masukkan semua ke dalam
kantong di pelana kudamu. Hari ini kita benar-benar sangat beruntung.”
Kawannya segera maju untuk menerima
barang-barang itu dan selanjutnya menyimpannya ke dalam sebuah kantong besar
yang disangkutkan di pelana kudanya.
“Nah, Ki sanak semua,”
berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih atas semua
bantuan kalian. Semua ini akan aku
laporkan kepada Ki Lurah. Kelak jika perjuangan kami berhasil, kalian semua
pasti akan ikut menikmatinya. Sebuah Kerajaan baru akan lahir dibawah
pemerintahan seorang Raja yang adil dan bijaksana sehingga akan tercipta sebuah
negri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.”
Ki Rangga dan kawan-kawannya
tidak menyahut. Hanya kepala mereka saja yang terlihat terangguk-angguk.
“Nah, aku mohon diri. Semoga
hari kalian menyenangkan.”
Selesai berkata demikian,
tanpa menunggu jawaban, orang berjambang itu segera meloncat ke punggung
kudanya dan diikuti oleh kawan-kawannya. Sejenak kemudian mereka segera
menghela kuda masing-masing untuk berbalik arah dan kemudian berderap meninggalkan
tempat itu.
Untuk beberapa saat ketiga kuda itu masih tampak menyeberangi kali Krasak yang airnya
hanya setinggi lutut orang dewasa. Setelah kuda-kuda itu naik ke tepian dan
kemudian hilang di balik tanggul yang rendah, barulah Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam, “Ternyata Ki Waskita masih senang bermain-main
dengan bayangan semu. Kita harus segera meninggalkan tepian ini sebelum mereka
menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”
“Marilah ngger,” sahut Ki
Waskita kemudian, “Untung mereka tidak tertarik dengan kuda-kuda kita. Ternyata
perhitungan Ki Patih Mandaraka benar.”
“Bukankah Ki Waskita juga
mampu membuat bayangan semu seekor kuda atau bahkan lebih, seribu kuda
barangkali?” bertanya Ki Jayaraga sambil melangkah mendekati kudanya.
“Membuat yang tidak ada menjadi
seolah-olah ada, itulah ilmu bayangan semu yang sebenarnya tidak lebih dari
sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sebentar sambil membenahi
pelana kudanya. Lanjutnya kemudian, “Namun jika sudah ada lima ekor kuda dan kemudian
aku harus membuat bayangan semu lima ekor kuda yang lain, bagaimana aku harus
menyembunyikan lima ekor kuda yang sebenarnya dari penglihatan mereka?”
Mereka yang mendengar
keterangan Ki Waskita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Demikian juga
Glagah Putih yang sedang sibuk mempersiapkan kudanya. Sementara Ki Bango
Lamatan yang selama kejadian itu hanya berdiam diri saja, telah semakin mengerti
dan mendalami akan kemampuan kawan-kawan seperjalanannya.
“Selama ini aku memang
ibarat seekor katak dalam tempurung,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata
Mataram memiliki sekumpulan orang-orang
yang pilih tanding dan ngedab edabi,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Sambil
berpaling sekilas ke arah Glagah Putih yang berkuda di sebelah Ki Jayaraga, dia
kembali berkata dalam hati, “Anak muda itupun kelihatannya bukan anak muda
sembarangan. Sorot matanya terlihat begitu meyakinkan serta gerak-geriknya
penuh dengan kepercayaan diri yang
tinggi.”
Demikianlah, sejenak
kemudian kelima ekor kuda itupun segera menyeberangi kali Krasak yang airnya cukup dangkal untuk kemudian berpacu di
bulak panjang yang menuju ke padukuhan Ngadiluwih.
“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian sambil berpaling
kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya, “Sebaiknya sebelum mencapai hutan
kecil di depan, kita mengambil jalan ke kiri menuju ke padukuhan Gesik. Setelah
itu kita menyusuri tepian kali Praga sampai memasuki padukuhan Klangon. Sebaiknya kita menghindari
padukuhan Salam.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki
Rangga, “Ketiga orang tadi menyebut-nyebut padukuhan Salam dan agaknya sekarang sedang
dalam perjalanan menuju ke sana. Kemungkinannya mereka memang bersarang di sana.”
Alhamdulillah. Suwun mBah_Man....
BalasHapusWah ketipu nih.
BalasHapusWah ketipu nih.
BalasHapusAlhamdulillah, dapat lagi rontal dari mbah Man ....
BalasHapusSemoga mbah Man serta semua cantrik mentrik di padepokan ini sehat-sehat selalu
Wah dobel lagi, matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka .....
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah atas dobelannya
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah_man, tas leyeh-leyeh dapat dobelan...
BalasHapusWah double. Matur nuwun mbah man.
BalasHapusDouble wedaran ..... matur nuwun sanget mbah man .... dapet rontal temen ngopi sore hari ......mbah man memang luar biasaaa ...
BalasHapus17 + 18 = nikmat . . . . Maturnuwun Mbah Man . . . .
BalasHapusilmu ini pernah di keluarkan oleh ki waskita sewaktu di kejar perampok dalam perjalanan dari rumahnya ke rumah ki gede menoreh....entah adbm jilid berapa ....? matur nuwun mbahman
BalasHapusMantap ... Makasih Mbah Man
BalasHapusHadir, ..... tetap semangat !
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus