Rabu, 25 Januari 2017

STSD 01_18

Ketiga orang itu terkejut begitu melihat keris berpendok emas dan bertretes berlian di tangan Ki Waskita. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya telah mengerutkan kening mereka dalam-dalam, namun itu hanya terjadi sesaat. Sejenak kemudian tampak kepala mereka terangguk-angguk.

Dengan cepat orang berjambang itu meraih keris di tangan Ki Waskita. Katanya kemudian, “Terima kasih. Bantuan Ki Sanak tidak akan pernah kami lupakan,” orang itu berhenti sejenak. Katanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Bagaimana dengan Ki Sanak yang lain? Apakah tidak ingin menyumbangkan harta benda kalian demi sebuah perjuangan suci ini?”

Mendengar pertanyaan itu Ki waskita segera tanggap. Sambil berjalan menghampiri kawan-kawannya kecuali Glagah Putih, Ki Waskita pun berkata, “Tentu, tentu Ki Sanak. Dengan senang hati kawan-kawan kami akan ikut berderma untuk perjuangan ini.”

Segera saja di tangan Ki Waskita terkumpul beberapa benda berharga, sebuah timang emas, tiga buah cincin emas bermata merah delima dan beberapa batu permata.

Dengan sebuah senyum lebar orang berjambang itu menerima barang-barang tersebut dari tangan Ki Waskita. Kemudian katanya kepada kawannya yang bertubuh pendek kekar, “Masukkan semua ke dalam kantong di pelana kudamu. Hari ini kita benar-benar sangat beruntung.”

Kawannya segera maju untuk menerima barang-barang itu dan selanjutnya menyimpannya ke dalam sebuah kantong besar yang disangkutkan  di pelana kudanya.

“Nah, Ki sanak semua,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih atas semua bantuan kalian.  Semua ini akan aku laporkan kepada Ki Lurah. Kelak jika perjuangan kami berhasil, kalian semua pasti akan ikut menikmatinya. Sebuah Kerajaan baru akan lahir dibawah pemerintahan seorang Raja yang adil dan bijaksana sehingga akan tercipta sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.”

Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak menyahut. Hanya kepala mereka saja yang terlihat terangguk-angguk.

“Nah, aku mohon diri. Semoga hari kalian menyenangkan.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, orang berjambang itu segera meloncat ke punggung kudanya dan diikuti oleh kawan-kawannya. Sejenak kemudian mereka segera menghela kuda masing-masing untuk berbalik arah dan kemudian berderap meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat  ketiga kuda itu masih  tampak menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa. Setelah kuda-kuda itu naik ke tepian dan kemudian hilang di balik tanggul yang rendah, barulah Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Ternyata Ki Waskita masih senang bermain-main dengan bayangan semu. Kita harus segera meninggalkan tepian ini sebelum mereka menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Marilah ngger,” sahut Ki Waskita kemudian, “Untung mereka tidak tertarik dengan kuda-kuda kita. Ternyata perhitungan Ki Patih Mandaraka benar.”

“Bukankah Ki Waskita juga mampu membuat bayangan semu seekor kuda atau bahkan lebih, seribu kuda barangkali?” bertanya Ki Jayaraga sambil melangkah mendekati kudanya.

“Membuat yang tidak ada menjadi seolah-olah ada, itulah ilmu bayangan semu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sebentar sambil membenahi pelana kudanya. Lanjutnya kemudian, “Namun jika sudah ada lima ekor kuda dan kemudian aku harus membuat bayangan semu lima ekor kuda yang lain, bagaimana aku harus menyembunyikan lima ekor kuda yang sebenarnya dari penglihatan mereka?”

Mereka yang mendengar keterangan Ki Waskita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Demikian juga Glagah Putih yang sedang sibuk mempersiapkan kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang selama kejadian itu hanya berdiam diri saja, telah semakin mengerti dan mendalami akan kemampuan kawan-kawan seperjalanannya.

“Selama ini aku memang ibarat seekor katak dalam tempurung,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata Mataram memiliki sekumpulan  orang-orang yang pilih tanding dan ngedab edabi,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih yang berkuda di sebelah Ki Jayaraga, dia kembali berkata dalam hati, “Anak muda itupun kelihatannya bukan anak muda sembarangan. Sorot matanya terlihat begitu meyakinkan serta gerak-geriknya penuh dengan kepercayaan  diri yang tinggi.”

Demikianlah, sejenak kemudian kelima ekor kuda itupun segera menyeberangi kali Krasak yang  airnya cukup dangkal untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menuju ke padukuhan Ngadiluwih.

“Ngger,”  berkata Ki Waskita kemudian sambil berpaling kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya, “Sebaiknya sebelum mencapai hutan kecil di depan, kita mengambil jalan ke kiri menuju ke padukuhan Gesik. Setelah itu kita menyusuri tepian kali Praga sampai memasuki padukuhan Klangon. Sebaiknya kita menghindari padukuhan Salam.”


“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Ketiga orang tadi menyebut-nyebut  padukuhan Salam dan agaknya sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Kemungkinannya  mereka memang bersarang di sana.”

14 komentar :

  1. Alhamdulillah. Suwun mBah_Man....

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, dapat lagi rontal dari mbah Man ....
    Semoga mbah Man serta semua cantrik mentrik di padepokan ini sehat-sehat selalu

    BalasHapus
  3. Wah dobel lagi, matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka .....

    BalasHapus
  4. Matur nuwun sanget mbah atas dobelannya

    BalasHapus
  5. Matur nuwun sanget Mbah_man, tas leyeh-leyeh dapat dobelan...

    BalasHapus
  6. Wah double. Matur nuwun mbah man.

    BalasHapus
  7. Double wedaran ..... matur nuwun sanget mbah man .... dapet rontal temen ngopi sore hari ......mbah man memang luar biasaaa ...

    BalasHapus
  8. 17 + 18 = nikmat . . . . Maturnuwun Mbah Man . . . .

    BalasHapus
  9. ilmu ini pernah di keluarkan oleh ki waskita sewaktu di kejar perampok dalam perjalanan dari rumahnya ke rumah ki gede menoreh....entah adbm jilid berapa ....? matur nuwun mbahman

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.