Sejenak suasana menjadi sepi.
Berbagai tanggapan telah muncul dalam benak Ki Rangga. Namun akhirnya Ki Rangga
hanya dapat berpasrah diri kepada Yang
Maha Mengetahui apapun yang akan terjadi
esok hari.
“Ki Rangga,” berkata
Pangeran Pati kemudian memecah sepi, “Apakah Ki Rangga masih mempunyai
persoalan yang ingin disampaikan?”
KI Rangga tidak segera
menjawab. Sejenak ingatannya tiba-tiba saja kembali ke peristiwa pertempuran lemah
Cengkar beberapa saat yang lalu.
“Ampun Pangeran,” segera Ki
Rangga menghaturkan sembah sambil bertanya, “Jka memang hamba diperkenankan untuk
mengetahui, siapakah orang tua yang pernah bersama Pangeran di lemah Cengkar
beberapa saat yang lalu?”
Pangeran Pati tidak segera
menjawab. Untuk beberapa saat dipandangi Ki Rangga yang duduk di hadapannya.
Namun setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, akhirnya justru
terlontar sebuah pertanyaan dari Pewaris tahta Mataram itu, “Mengapa Ki Rangga
ingin mengetahui jati diri orang tua itu?”
Dengan cepat Ki Rangga
menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Pangeran, hamba rasa-rasanya pernah
mengenal orang tua itu, namun hamba kurang yakin akan pengamatan hamba pada
saat itu.”
Pangeran Pati tersenyum.
Jawabnya kemudian, “Orang tua itu bernama Ki Tanpa Aran, atau kadang-kadang
orang memanggilnya kakek Tanpa Aran. Beliau adalah murid dan juga sekaligus
sahabat dari Kanjeng Sunan.”
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Ki Rangga. Segera saja ingatan Ki Rangga melayang pada selembar kain
gringsing yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer
Bumi di padukuhan Merjan.
“Mungkinkah..?” bertanya Ki
Rangga dalam hati. Namun pertanyaan itu hanya disimpannya saja di dalam hati.
“Mohon ampun Pangeran.
Di manakah Ki Tanpa Aran itu tinggal?” bertanya Ki Rangga kemudian.
“Sekarang Ki Tanpa Aran
tinggal di Ndalem Kapangeranan atas permintaanku,” jawab Pangeran Pati,
“Sebenarnya Ki Tanpa Aran menolak untuk tinggal di sini, namun atas perkenan
Kanjeng Sunan, Ki Tanpa Aran diminta untuk membimbing aku dalam kawruh lahir
maupun batin sehingga mau tidak mau harus tinggal di Ndalem Kapangeranan.”
Dada Ki Rangga terasa
bergemuruh begitu mendengar Ki Tanpa Aran itu ternyata sekarang ini tinggal di
Ndalem Kapangeranan. Maka katanya kemudian, “Ampun Pangeran, jika diperkenankan
suatu saat hamba ingin mengenal Ki Tanpa Aran itu lebih dekat.”
“O, silahkan Ki Rangga,”
jawab Pangeran Pati dengan serta merta, “Namun agak sulit untuk menemui orang
tua itu. Walaupun sudah disediakan sebuah bilik khusus baginya, namun bilik itu
lebih sering kosong.”
Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam. Panggraitanya yang tajam sedikit banyak mulai dapat meraba jati
diri orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu.
“Nah, Ki Rangga,” berkata
Pangeran Pati kemudian, “Apakah masih ada permasalahan lagi yang ingin engkau
sampaikan?”
“Hamba kira sudah cukup
Pangeran,” jawab Ki Rangga, “Jika diperkenankan hamba segera mohon diri.”
“Silahkan Ki Rangga,” jawab
Pangeran Pati sambil bangkit berdiri yang segera diikuti oleh Ki Rangga,
“Sampaikan salamku kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga serta Glagah Putih. Ingat,
apa yang kita bicarakan tadi hanya sebatas pengetahuan untuk diri Ki Rangga
saja.”
“Hamba Pangeran,” jawab Ki Rangga sambil membungkuk dalam-dalam.
Demikianlah akhirnya Ki Rangga
pun segera minta diri. Setelah diantar oleh Pelayan Dalam sampai ke regol
depan, Ki Rangga pun memilih melanjutkan perjalanannya kembali ke Istana Kepatihan seorang diri.
“Apakah Ki Rangga memerlukan
kawan?” bertanya prajurit jaga Ndalem Kapangeranan yang menjemputnya tadi.
“O, tidak. Terima kasih,”
jawab Ki Rangga sambil tersenyum, “Aku sudah tahu jalannya. Jika aku nanti
tersesat, aku bisa bertanya kepada para prajurit yang berada di gardu penjagaan
sepanjang jalan menuju istana Kepatihan.”
“Atau kalau ragu-ragu, Ki
Rangga dapat kembali ke penjagaan ini untuk bertanya,” jawab prajurit itu yang
disambut dengan gelak tawa.
Demikianlah, sejenak kemudian
Ki Rangga pun telah menyusuri jalan yang menuju ke istana Kepatihan.
Dalam pada itu, malam telah
melewati puncaknya. Angin malam yang dingin bertiup lembut mengusap tubuh Ki Rangga
yang sedikit basah oleh keringat. Suara binatang malam yang terdengar
bersahut-sahutan dalam irama ajeg menambah suasana malam yang sepi itu menjadi semakin ngelangut.
Namun baru beberapa puluh
langkah meninggalkan Ndalem Kapangeranan, tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga
yang tajam telah mendengar suara yang asing di antara nyanyian binatang malam. Ketajaman
panggraitanya telah memberitahukan kepadanya bahwa suara itu bukan suara yang
berasal dari sejenis binatang malam.
Suara itu sedikit berbeda
dengan suara binatang-binatang yang lain. Suara itu sesekali terdengar bagaikan
desis seekor ular namun dengan nada yang berubah-ubah. Kadang meninggi tajam seperti jeritan
seekor bilalang, namun tiba-tiba dengan cepat menurun seperti derik seekor
jengkerik.
Dengan segera Ki Rangga
menghentikan langkahnya. Dengan aji sapta pangrungu dicobanya untuk mengetahui
arah sumber suara itu. Tiba-tiba dada Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Sumber suara
itu berasal dari arah belakang Ndalem
Kapangeranan.
Untuk beberapa saat Ki
Rangga menjadi ragu-ragu. Seumur hidup Ki Rangga memang belum pernah mendengar
suara isyarat semacam itu kecuali yang pernah diperagakan oleh gurunya pada
waktu itu. Suara yang dia dengar itu adalah semacam isyarat dari sebuah
perguruan yang pernah berjaya di masa Kerajaan Majapahit, perguruan Windujati. Bahkan
menurut cerita gurunya, beberapa perguruan lain yang masih sealiran dengan perguruan Windujati juga telah menggunakan isyarat semacam itu untuk kepentingan bersama.
Sebagai murid orang
bercambuk, tentu saja Ki Rangga juga mendapat pengetahuan tentang bahasa
isyarat itu dari gurunya. Namun sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh
gurunya, isyarat semacam itu hampir tidak pernah dijumpai lagi semenjak pemerintahan
Demak lama berpindah ke Pajang dan kemudian sampai Mataram berdiri.
Kini pada saat Ki Rangga
berada di dekat Ndalem Kapangeranan justru telah mendengar suara isyarat
semacam itu.
“Ki Tanpa Aran?” tiba tiba
terlintas sebuah nama di dalam benak Ki Rangga, “Mungkinkah Ki Tanpa Aran yang
telah melontarkan isyarat itu untuk memanggilku?”
Berpikir sampai disitu,
tiba-tiba saja sekujur tubuh Ki Rangga menjadi gemetar. Dugaan sementara
tentang orang tua yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran itu memang mengarah
kepada gurunya, Kiai Gringsing yang tidak pernah diketahui tempat kuburnya.
Dengan mengerahkan
kemampuannya untuk menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh gesekan
pergerakan tubuhnya dengan alam sekitarnya, Ki Rangga pun segera bergeser
mendekati ke arah sumber bunyi tersebut.
Setelah meloncati beberapa pagar
rumah-rumah yang berada di sekitar Ndalem Kapangeranan, Ki Rangga berusaha
untuk semakin dekat dengan sumber bunyi itu.
Namun begitu Ki Rangga telah semakin dekat dengan sumber bunyi itu, ternyata sumber bunyi itu justru mulai bergeser menjauh. Agaknya
orang yang dengan sengaja telah melontarkan isyarat itu mengetahui bahwa
seseorang telah tertarik dengan isyaratnya dan sedang berusaha mendekat ke
arahnya.
Alhamdulillah.....
BalasHapusMatur suwun Panembahan
Matur nuwun sanget Mbah Man....ternyata misteri kain gringsing mulai terkuak yang dititipkan ke Penembahan Panjer Bumi dan dititipkan lagi ke Buyut desa Merjan utk diperlihatkan kepada seorang murid terkasih sang pemilik kain gringsing itu..ah Mbah Man...."Salam Super"..👍👍👍👍🙏🙏🙏
BalasHapusmatur nuwun mbahman semakin rumit dan semakin sulit.
BalasHapusLuar biasa ..... matur nuwun Mbah Man !
BalasHapusMatur nuwun mbah Man
BalasHapusPanembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino
BalasHapusPanembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino
BalasHapusSiji malih...dapat hadiah celengan semar....hehe
HapusPanembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino
HapusPundi celengane?
Panembahan Panjer Bumi nduwe murid anyar..Panembahan Panjer Rino
HapusPundi celengane?
Siji malih....dapat hadiah celengan semar...plus bonus jajanan semar mendem....hahaha
HapusHadiah celengan ayam, ambil di Sengkaling. H hi hi ....
HapusHadiahne hangus wong perlune siji malih...koq jbule loro ...hehehe
HapusMbah Man ... memang hebat.
BalasHapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusTop
Matur nuwun mbah man.
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya.
BalasHapustambah seru... makin penasaran...
BalasHapusmatur nuwun sanget mbah man ...... makin ruwet bin mumet ... tapi memang asyiknya tu disiniiiii .....
BalasHapusmbah man memang wokey
Matur nuwun Mbah_man.... Mantap..
BalasHapusKi Kebak Aran
BalasHapushubungi Ki Blang Wir saja...
HapusSemangat pagi...
BalasHapusMenunggu pertemuan RAS dengan gurunya
Mantab sekali dan semakin penasaran Mbah Man
BalasHapusbanyak skenario yang mungkin terjadi, tapi pasti gak bisa ketebak ,.. selalu ada kejutan dan Mbah Man .... ini yang buat betah muter taman bacaan .....
BalasHapusSemangat pagi...
BalasHapusMasih sabar menunggu wedaran berikutnya
kalau ki Tanpa Aran = ki Tanu Metir, ki Ajar Mintaraga = ?
BalasHapusteka-teki makin rumit, belum tentu juga ki TA adalah ki Tanu Metir, ki RAS sudah memakai ilmu sapta Pandulu,sabta Panggraita tetapi dilemah cengkar tidak berhasil mengenalinya dengan yakin, matur nuwun mbahman
Terima Kasih Mbah Man
BalasHapus