Minggu, 12 Februari 2017

STSD 02_05

Orang yang dipanggil Ki Gede itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke titik-titik di kejauhan dia berdesis, “Usahakan untuk mengetahui jati diri mereka. Agaknya mereka itu orang-orang yang sedang menyamar.  Tidak menutup kemungkinan mereka adalah para petugas sandi Mataram.  Aku memerlukan datang ke sini untuk bisa bertemu dengan mereka. Mudah-mudahan dugaanku ini tidak keliru, namun jangan sampai menimbulkan kesan kepada para pengikut Raden Mas Harya Surengpati yang banyak tersebar di padukuhan ini.”

“Akan aku usahakan, Ki Gede,” sahut Ki Jagabaya, “Namun aku tidak yakin jika mereka itu para petugas sandi Mataram yang sedang menyamar. Jika mereka adalah para prajurit sandi Mataram, beberapa di antaranya sudah terlalu tua untuk disebut sebagai seorang prajurit.”

Orang yang dipanggil Ki Gede itu tertawa pendek sehingga orang-orang yang berjalan di depannya telah berpaling sekilas. Namun Ki Gede  tidak mempedulikan mereka. Lanjutnya kemudian, “Mungkin yang tua-tua itu adalah para prajurit yang sudah purna namun tenaganya masih dibutuhkan sehingga tidak menutup kemungkinan mereka diperbantukan dalam tugas rahasia ini,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah para penghuni padukuhan Klangon ini ada yang dapat mengenali aku?”.

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya.  Sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekitarnya, dengan nada sedikit ragu dia menjawab, “Sejauh ini belum ada yang mengenali dan memperhatikan Ki Gede. Dalam pakaian yang sangat sederhana ini, kemungkinannya sangat kecil untuk mengenal Ki Gede. Kecuali orang-orang terdekat yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Gede.”

Orang yang dipanggil Ki Gede itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Ki Jagabaya. Dalam hati dia membenarkan pendapat Ki Jagabaya itu. Betapapun sempurnanya dia melakukan penyamaran, namun orang-orang terdekatnya terutama istri dan kedua anaknya tentu dapat mengenali dari bentuk tubuh, gerak-gerik serta hal-hal lain yang tidak pernah terbaca oleh orang lain kecuali hanya keluarga  terdekatnya saja.

Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang kelima orang asing itu. Sementara langkah-langkah mereka telah semakin mendekati tanah pekuburan.

“Usahakan mereka tidak keluar dari banjar malam ini,” berkata Ki Gede kemudian ketika iring-iringan jenazah itu sudah memasuki gerbang tanah pekuburan, “Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui mereka. Aku sudah muak dengan segala tingkah polah para pengikut  Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Ki Jagabaya yang berjalan di samping Ki Gede tampak mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Bagaimana jika dugaan Ki Gede justru sebaliknya? Mereka ternyata justru utusan Raden Wirasena yang selama ini belum pernah kita lihat? Atau bahkan tidak menutup kemungkinan justru salah satu dari mereka itu adalah Raden Wirasena  sendiri.”

Berdesir jantung Ki Gede. Kemungkinan itu memang ada. Dan jika kemungkinan  itulah yang akan terjadi, tentu lehernya sendiri yang akan menjadi taruhannya.

Untuk beberapa saat  kedua orang itu  kembali terdiam sambil berjalan di antara sela-sela batu nisan. Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti di depan liang lahat yang telah disediakan, kedua orang itu pun  segera menepi dan berdiri di bawah sebatang pohon Kamboja.

“Apakah kita akan mendekat, Ki Gede?” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Gede yang berdiri di sebelahnya.

“Tidak perlu,” jawab Ki Gede, “Aku khawatir jika terlalu dekat dengan mereka, mungkin salah satu dari mereka akan ada yang  mengenaliku.”

Ki Jagabaya tersenyum. Katanya kemudian, “Sudah aku katakan tadi, penyamaran Ki Gede cukup sempurna. Namun jika Ki Gede berbicara, tentu orang akan dapat mengenali Ki Gede dari suara itu.”

Ki Gede tersenyum, betapapun masamnya. Katanya kemudian, “Untuk itulah kita tidak perlu mendekat. Jika seseorang kemudian bertanya sesuatu kepadaku, walaupun tanpa kesengajaan dan maksud tertentu, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk menyembunyikan suaraku yang asli.”

Ki Jagabaya kembali tersenyum. Sambil melemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan orang di seputar liang lahat itu, dia kemudian bergumam perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri,  “Siapakah sebenarnya orang itu? Dia mati tanpa meninggalkan ciri-ciri yang dapat dijadikan sebagai pancadan untuk menelusuri jati dirirnya.”

Ki Gede yang mendengar gumam Ki Jagabaya telah menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Tentu bukan pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku justru cenderung menduga dia adalah salah satu dari petugas sandi yang telah disebar oleh Mataram. Kemungkinannya orang itu ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang yang sekarang berada di banjar.”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar dugaan Ki Gede. Namun semua dugaan itu masih harus dibuktikan.

Demikianlah ketika liang lahat itu telah selesai ditimbun tanah dan seseorang yang dianggap sesepuh padukuhan Klangon telah selesai  memanjatkan doa, orang-orang yang hadir di tanah pekuburan itu pun segera membubarkan diri.


“Marilah Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Sebaiknya kita ikut meninggalkan tempat ini.”

7 komentar :

  1. Matur nuwun Mbah_man, Alhamdulillah tripelanipun....Makin mantaap....

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah man ... wonten tripelan rontal hari minggu .... mantap ... mbah man memang juara ...

    BalasHapus
  3. Syukurlah, ternyata Ki Jagabaya masih setia pada Mataram. Karna orang-orang setialah yg masih dibutuhkan Mataram.

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah ternyata teman seperjuangan ...

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah ternyata teman seperjuangan ...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.