Orang yang dipanggil Ki Gede
itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil memandang ke titik-titik di
kejauhan dia berdesis, “Usahakan untuk mengetahui jati diri mereka. Agaknya mereka
itu orang-orang yang sedang menyamar. Tidak
menutup kemungkinan mereka adalah para petugas sandi Mataram. Aku memerlukan datang ke sini untuk bisa
bertemu dengan mereka. Mudah-mudahan dugaanku ini tidak keliru, namun jangan
sampai menimbulkan kesan kepada para pengikut Raden Mas Harya Surengpati yang
banyak tersebar di padukuhan ini.”
“Akan aku usahakan, Ki Gede,”
sahut Ki Jagabaya, “Namun aku tidak yakin jika mereka itu para petugas sandi
Mataram yang sedang menyamar. Jika mereka adalah para prajurit sandi Mataram,
beberapa di antaranya sudah terlalu tua untuk disebut sebagai seorang
prajurit.”
Orang yang dipanggil Ki Gede
itu tertawa pendek sehingga orang-orang yang berjalan di depannya telah
berpaling sekilas. Namun Ki Gede tidak mempedulikan
mereka. Lanjutnya kemudian, “Mungkin yang tua-tua itu adalah para prajurit yang
sudah purna namun tenaganya masih dibutuhkan sehingga tidak menutup kemungkinan
mereka diperbantukan dalam tugas rahasia ini,” Ki Gede berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Apakah para penghuni padukuhan Klangon ini ada yang dapat
mengenali aku?”.
Ki Jagabaya mengerutkan
keningnya. Sambil mengedarkan pandangan
matanya ke sekitarnya, dengan nada sedikit ragu dia menjawab, “Sejauh ini belum
ada yang mengenali dan memperhatikan Ki Gede. Dalam pakaian yang sangat
sederhana ini, kemungkinannya sangat kecil untuk mengenal Ki Gede. Kecuali
orang-orang terdekat yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Gede.”
Orang yang dipanggil Ki Gede
itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Ki Jagabaya. Dalam hati
dia membenarkan pendapat Ki Jagabaya itu. Betapapun sempurnanya dia melakukan
penyamaran, namun orang-orang terdekatnya terutama istri dan kedua anaknya
tentu dapat mengenali dari bentuk tubuh, gerak-gerik serta hal-hal lain yang
tidak pernah terbaca oleh orang lain kecuali hanya keluarga terdekatnya saja.
Untuk beberapa saat mereka
berdua terdiam. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang kelima orang
asing itu. Sementara langkah-langkah mereka telah semakin mendekati tanah
pekuburan.
“Usahakan mereka tidak
keluar dari banjar malam ini,” berkata Ki Gede kemudian ketika iring-iringan
jenazah itu sudah memasuki gerbang tanah pekuburan, “Apapun yang akan terjadi,
aku akan menemui mereka. Aku sudah muak dengan segala tingkah polah para pengikut
Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Ki Jagabaya yang berjalan di
samping Ki Gede tampak mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Bagaimana
jika dugaan Ki Gede justru sebaliknya? Mereka ternyata justru utusan Raden
Wirasena yang selama ini belum pernah kita lihat? Atau bahkan tidak menutup
kemungkinan justru salah satu dari mereka itu adalah Raden Wirasena sendiri.”
Berdesir jantung Ki Gede. Kemungkinan
itu memang ada. Dan jika kemungkinan itulah
yang akan terjadi, tentu lehernya sendiri yang akan menjadi taruhannya.
Untuk beberapa saat kedua orang itu kembali terdiam sambil berjalan di antara sela-sela
batu nisan. Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti di depan liang lahat
yang telah disediakan, kedua orang itu pun segera menepi dan berdiri di
bawah sebatang pohon Kamboja.
“Apakah kita akan mendekat,
Ki Gede?” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Gede yang berdiri di sebelahnya.
“Tidak perlu,” jawab Ki
Gede, “Aku khawatir jika terlalu dekat dengan mereka, mungkin salah satu dari
mereka akan ada yang mengenaliku.”
Ki Jagabaya tersenyum. Katanya
kemudian, “Sudah aku katakan tadi, penyamaran Ki Gede cukup sempurna. Namun jika
Ki Gede berbicara, tentu orang akan dapat mengenali Ki Gede dari suara itu.”
Ki Gede tersenyum, betapapun
masamnya. Katanya kemudian, “Untuk itulah kita tidak perlu mendekat. Jika seseorang
kemudian bertanya sesuatu kepadaku, walaupun tanpa kesengajaan dan maksud
tertentu, tentu aku akan mengalami kesulitan untuk menyembunyikan suaraku yang
asli.”
Ki Jagabaya kembali tersenyum.
Sambil melemparkan pandangan matanya ke arah kerumunan orang di seputar liang
lahat itu, dia kemudian bergumam perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya
sendiri, “Siapakah sebenarnya orang itu?
Dia mati tanpa meninggalkan ciri-ciri yang dapat dijadikan sebagai pancadan
untuk menelusuri jati dirirnya.”
Ki Gede yang mendengar gumam
Ki Jagabaya telah menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Tentu bukan
pengikut Trah Sekar Seda Lepen. Aku justru cenderung menduga dia adalah salah
satu dari petugas sandi yang telah disebar oleh Mataram. Kemungkinannya orang itu
ada hubungannya dengan kedatangan kelima orang yang sekarang berada di banjar.”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar dugaan Ki Gede. Namun semua dugaan itu
masih harus dibuktikan.
Demikianlah ketika liang
lahat itu telah selesai ditimbun tanah dan seseorang yang dianggap sesepuh
padukuhan Klangon telah selesai memanjatkan doa, orang-orang yang hadir di
tanah pekuburan itu pun segera membubarkan diri.
“Marilah Ki Gede,” berkata
Ki Jagabaya kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Sebaiknya kita ikut meninggalkan tempat
ini.”
Matur nuwun Mbah_man, Alhamdulillah tripelanipun....Makin mantaap....
BalasHapusmaturnuwun mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah man ... wonten tripelan rontal hari minggu .... mantap ... mbah man memang juara ...
BalasHapusSuwun suwun
BalasHapusSyukurlah, ternyata Ki Jagabaya masih setia pada Mataram. Karna orang-orang setialah yg masih dibutuhkan Mataram.
BalasHapusAlhamdulillah ternyata teman seperjuangan ...
BalasHapusAlhamdulillah ternyata teman seperjuangan ...
BalasHapus