Senin, 13 Februari 2017

STSD 02_07

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Memang sasaran mereka yang utama adalah memutus hubungan antara perguruan Sapta Dhahana dengan orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen. Namun agaknya pengaruh itu sudah cukup meluas sehingga telah sampai di padukuhan Klangon tempat mereka bermalam.

“Marilah,” tiba-tiba Ki Waskita berkata memecah kesunyian, “Matahari sudah terbenam dan sudah terdengar panggilan untuk menunaikan kewajiban kita kepada Yang Maha Agung.”

Hampir bersamaan mereka mengangguk-angguk. Secara bergantian mereka pun kemudian memerlukan pergi ke pakiwan untuk mensucikan diri sebelum menunaikan kewajiban  sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia dari Sang Maha Pencipta.

Dalam pada itu Ki Gede yang sedang menyusuri bulak panjang yang menghubungkan padukuhan Klangon dengan Tanah Perdikan Matesih telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang di atas tanggul.

Pada awalnya Ki Gede menduga orang itu hanyalah seorang petani yang sedang melepaskan lelah sehabis membenahi sawahnya. Musim hujan memang telah datang dan agaknya para petani sudah mulai ancang-ancang untuk menggarap sawah mereka kembali.

“Mungkin hanya seorang petani yang kebetulan belum pulang dari sawahnya,” berkata Ki Gede dalam hati sambil memandang bayangan hitam yang berdiri di atas tanggul sebelah kiri beberapa puluh tombak di depan. Matahari memang baru saja terbenam namun karena langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan, sehingga suasana pun terlihat cukup gelap.

“Mengapa akhir-akhir ini aku menjadi cepat berprasangka buruk terhadap seseorang.?” bertanya Ki Gede dalam hati sambil terus mengayunkan langkah, “Mungkin kehadiran orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu yang membuatku selalu bercuriga.”

Ketika langkah Ki Gede semakin dekat dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun berdentang semakin keras. Orang itu tidak tampak sebagaimana petani biasanya yang memanggul cangkul di pundaknya dan menyelipkan sabit di pinggangnya. Orang itu justru telah berdiri sambil bertolak pinggang dan terlihat dengan sengaja memang sedang menunggu kedatangannya.

“Apa boleh buat,” geram Ki Gede dalam hati sambil meraba pinggangnya. Ketika tangan kanannya menyentuh sebuah keris pusaka turun-temurun kebanggaan Tanah Perdikan Matesih yang terselip di pinggang kanannya, hatinya pun menjadi sedikit  tenang.

Dengan langkah satu-satu Ki Gede berjalan terus tanpa meninggalkan kewaspadaan. Malam yang baru saja mulai itu terasa sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang mulai memperdengarkan nyanyian dalam irama ajeg. Sementara di langit yang kelam kelelawar dan burung-burung malam mulai beterbangan hilir mudik mencari mangsa.

Semakin dekat jarak Ki Gede dengan orang di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun  rasa-rasanya telah berpacu semakin kencang. Betapa pun Ki Gede berusaha menepis syak wasangka di dalam hatinya, namun sikap orang di atas tanggul itu memang terasa sangat mendebarkan.

Ternyata apa yang menjadi dugaan Ki Gede itu benar adanya. Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan dan tertahan-tahan dari orang yang berdiri di atas tanggul itu. Agaknya itu adalah sebuah isyarat bahwa orang di atas tanggul itu memang sengaja menunggu Ki Gede. Maka Ki Gede pun segera menghentikan langkahnya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Sudah tidak terdengar lagi suara tawa yang memuakkan itu. Masing-masing terlihat saling menahan diri dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Diam-diam Ki Gede telah menggeser kedudukan keris pusakanya ke depan. Tangan kanannya pun telah menggenggam hulu keris itu, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Suasana benar-benar sangat mencekam. Masing-masing mencoba menilai keadaan, namun tidak ada yang berani mengambil keputusan untuk bergerak terlebih dahulu. Masing-masing hanya menunggu dan menunggu.

Tiba-tiba suasana yang mencekam itu telah dipecahkan kembali oleh suara tawa orang yang berdiri di atas tanggul itu. Suara tawa yang terdengar dalam nada rendah dan berkepanjangan. Benar-benar sebuah tawa yang terdengar sangat memuakkan di telinga Ki Gede.

“Diam!” tiba-tiba Ki Gede yang sudah tidak dapat menahan hatinya itu telah membentak dengan suara yang menggelegar.

Orang di atas tanggul itu tampak terkejut dan segera menghentikan tawanya. Untuk beberapa saat dia hanya dapat berdiri diam termangu-mangu.

“Apakah Ki Gede merasa terganggu?” tiba-tiba orang di atas tanggul itu bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan dalam.

Berdesir dada Ki Gede mendengar pertanyaan itu. Orang itu agaknya telah mengenal dirinya. Jantung Ki Gede pun menjadi semakin berdebaran.


Ki Gede tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengenali bayangan yang berdiri bertolak pinggang di atas tanggul itu. Namun kegelapan yang menyelimuti tempat itu telah menghalangi Ki Gede untuk melihat wajahnya dengan jelas, walaupun Ki Gede telah mengerahkan kemampuannya untuk menajamkan pandangan matanya.

21 komentar :

  1. wah..wah...matur sanget nuwun Mbah_Man....

    ...wah...bisa penggandaan komen..apa sing keliru signal-e
    ya???

    wwwkangenmbahmah.co.id.hehehe

    BalasHapus
  2. Sugeng enjang Mbah Man .... matur nuwun Mbah ... Mampir taman bacaan sudah ada wedaran pagi temen minum kopi .... sehat terus ya mbah ...

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah_man, lagi nyruput teh nengok Gandok, disuguhi rontal... Wah matur nuwun sanget Mbah...

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man, pas pasar temawon .....

    BalasHapus
  5. Matur nuwun Mbah_Man. Membaca rontal diiringi semilir angin sepoi-sepoi sungguh meresap ke sanubari. Setelah selesai kembali membersihkan taman.... mariii.

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Matur nuwun sanget Mbah Man....

    Diam!!! Seru Ki Gede ...."sabar Ki Gede aku hanya mentertawakan diri sendiri, karena aku seperti bunglon yang sering berubah ubah penampilan dan ternyata aku melihat Ki Gede juga pandai menyarukan diri, itulah yang membuat aku tertawa"...jangan cepat marah apakah kau sekarang merubah nama jadi Ki Gede Ambek..??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uff.. terkejut aku. Apakah Ki Gede sudah mengenal orang itu, Ki Adiwa Swarna?

      Hapus
    2. Dengan terkejut pula saya menjawah "tidam tahu" hanya Mbah Man yang tau apakah mereka sudah saling kenal.

      Sesorah diatas hanya berdasarkan bahasa suara yang tertawa saja, karena kebiasaan kalau kita bertemu orang terus tertawa pastinya kita sudah mengenal orang itu... bukan begitu Ki Dandang Wesi???

      Bukan bukan seru Ki DW...kita juga bisa tertawa karena ulah orang yang justru tidak mengenal kita...misalnya Cak Lontong sedang Stand up comedi...ah itu sama saja Ki DW saya juga kenal dengan Cak lontong ..tapi apakah Cak Lontong kenal anda!!!! geram Ki Dandang Wesi....Tidakkan!!!

      Hapus
    3. Tidam = Tidak.... (karena "tidak" kata yang lebih dikenal dari "tidam")

      Hapus
    4. Tidam = TIDA-k M-au makan = puasa pati geni = memantapkan ajian leyeh leyeh..dan ajian penggandaan koment....mumpung isih minggu tenang....

      ...hehehe...

      Hapus
  8. nenggo tipelan.... baru ketahuan, mungkin.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.