Untuk beberapa saat mereka terdiam.
Memang sasaran mereka yang utama adalah memutus hubungan antara perguruan Sapta
Dhahana dengan orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen. Namun
agaknya pengaruh itu sudah cukup meluas sehingga telah sampai di padukuhan Klangon tempat
mereka bermalam.
“Marilah,” tiba-tiba Ki
Waskita berkata memecah kesunyian, “Matahari sudah terbenam dan sudah terdengar
panggilan untuk menunaikan kewajiban kita kepada Yang Maha Agung.”
Hampir bersamaan mereka
mengangguk-angguk. Secara bergantian mereka pun kemudian memerlukan pergi ke
pakiwan untuk mensucikan diri sebelum menunaikan kewajiban sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia dari
Sang Maha Pencipta.
Dalam pada itu Ki Gede yang
sedang menyusuri bulak panjang yang menghubungkan padukuhan Klangon dengan
Tanah Perdikan Matesih telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang di atas
tanggul.
Pada awalnya Ki Gede menduga
orang itu hanyalah seorang petani yang sedang melepaskan lelah sehabis membenahi
sawahnya. Musim hujan memang telah datang dan agaknya para petani sudah mulai
ancang-ancang untuk menggarap sawah mereka kembali.
“Mungkin hanya seorang
petani yang kebetulan belum pulang dari sawahnya,” berkata Ki Gede dalam hati
sambil memandang bayangan hitam yang berdiri di atas tanggul sebelah kiri
beberapa puluh tombak di depan. Matahari memang baru saja terbenam namun karena
langit masih menyisakan mendung yang bergelayutan, sehingga suasana pun terlihat cukup
gelap.
“Mengapa akhir-akhir ini aku
menjadi cepat berprasangka buruk terhadap seseorang.?” bertanya Ki Gede dalam
hati sambil terus mengayunkan langkah, “Mungkin kehadiran orang-orang yang
mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu yang membuatku selalu bercuriga.”
Ketika langkah Ki Gede
semakin dekat dengan orang yang berdiri di atas tanggul itu, jantung Ki Gede
pun berdentang semakin keras. Orang itu tidak tampak sebagaimana petani biasanya
yang memanggul cangkul di pundaknya dan menyelipkan sabit di pinggangnya. Orang
itu justru telah berdiri sambil bertolak pinggang dan terlihat dengan
sengaja memang sedang menunggu kedatangannya.
“Apa boleh buat,” geram Ki
Gede dalam hati sambil meraba pinggangnya. Ketika tangan kanannya menyentuh
sebuah keris pusaka turun-temurun kebanggaan Tanah Perdikan Matesih yang
terselip di pinggang kanannya, hatinya pun menjadi sedikit tenang.
Dengan langkah satu-satu Ki
Gede berjalan terus tanpa meninggalkan kewaspadaan. Malam yang baru saja mulai
itu terasa sangat sepi. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang
mulai memperdengarkan nyanyian dalam irama ajeg. Sementara di langit yang kelam
kelelawar dan burung-burung malam mulai beterbangan hilir mudik mencari mangsa.
Semakin dekat jarak Ki Gede
dengan orang di atas tanggul itu, jantung Ki Gede pun rasa-rasanya telah berpacu
semakin kencang. Betapa pun Ki Gede berusaha menepis syak wasangka di dalam
hatinya, namun sikap orang di atas tanggul itu memang terasa sangat
mendebarkan.
Ternyata apa yang menjadi
dugaan Ki Gede itu benar adanya. Ketika jarak mereka berdua tinggal beberapa
langkah lagi, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan dan tertahan-tahan dari
orang yang berdiri di atas tanggul itu. Agaknya itu adalah sebuah isyarat bahwa
orang di atas tanggul itu memang sengaja menunggu Ki Gede. Maka Ki Gede pun
segera menghentikan langkahnya.
Sejenak suasana menjadi sunyi.
Sudah tidak terdengar lagi suara tawa yang memuakkan itu. Masing-masing
terlihat saling menahan diri dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Diam-diam Ki Gede telah menggeser kedudukan keris pusakanya ke depan. Tangan
kanannya pun telah menggenggam hulu keris itu, siap untuk menghadapi segala
kemungkinan.
Suasana benar-benar sangat
mencekam. Masing-masing mencoba menilai keadaan, namun tidak ada yang berani
mengambil keputusan untuk bergerak terlebih dahulu. Masing-masing hanya
menunggu dan menunggu.
Tiba-tiba suasana yang
mencekam itu telah dipecahkan kembali oleh suara tawa orang yang berdiri di atas
tanggul itu. Suara tawa yang terdengar dalam nada rendah dan berkepanjangan. Benar-benar
sebuah tawa yang terdengar sangat memuakkan di telinga Ki Gede.
“Diam!” tiba-tiba Ki Gede
yang sudah tidak dapat menahan hatinya itu telah membentak dengan suara yang
menggelegar.
Orang di atas tanggul itu tampak
terkejut dan segera menghentikan tawanya. Untuk beberapa saat dia hanya dapat berdiri
diam termangu-mangu.
“Apakah Ki Gede merasa
terganggu?” tiba-tiba orang di atas tanggul itu bertanya. Suaranya terdengar
sangat berat dan dalam.
Berdesir dada Ki Gede
mendengar pertanyaan itu. Orang itu agaknya telah mengenal dirinya. Jantung Ki
Gede pun menjadi semakin berdebaran.
Ki Gede tidak segera
menjawab. Dicobanya untuk mengenali bayangan yang berdiri bertolak pinggang di
atas tanggul itu. Namun kegelapan yang menyelimuti tempat itu telah menghalangi
Ki Gede untuk melihat wajahnya dengan jelas, walaupun Ki Gede telah mengerahkan
kemampuannya untuk menajamkan pandangan matanya.
wah..wah...matur sanget nuwun Mbah_Man....
BalasHapus...wah...bisa penggandaan komen..apa sing keliru signal-e
ya???
wwwkangenmbahmah.co.id.hehehe
kiai Dandang Wesi
BalasHapusKi Truna Podang
HapusKi Truno Prenjak
HapusSugeng enjang Mbah Man .... matur nuwun Mbah ... Mampir taman bacaan sudah ada wedaran pagi temen minum kopi .... sehat terus ya mbah ...
BalasHapusMatur nuwun Mbah_man, lagi nyruput teh nengok Gandok, disuguhi rontal... Wah matur nuwun sanget Mbah...
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man, pas pasar temawon .....
BalasHapusMatur nuwun Mbah_Man. Membaca rontal diiringi semilir angin sepoi-sepoi sungguh meresap ke sanubari. Setelah selesai kembali membersihkan taman.... mariii.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....
BalasHapusDiam!!! Seru Ki Gede ...."sabar Ki Gede aku hanya mentertawakan diri sendiri, karena aku seperti bunglon yang sering berubah ubah penampilan dan ternyata aku melihat Ki Gede juga pandai menyarukan diri, itulah yang membuat aku tertawa"...jangan cepat marah apakah kau sekarang merubah nama jadi Ki Gede Ambek..??
Uff.. terkejut aku. Apakah Ki Gede sudah mengenal orang itu, Ki Adiwa Swarna?
HapusDengan terkejut pula saya menjawah "tidam tahu" hanya Mbah Man yang tau apakah mereka sudah saling kenal.
HapusSesorah diatas hanya berdasarkan bahasa suara yang tertawa saja, karena kebiasaan kalau kita bertemu orang terus tertawa pastinya kita sudah mengenal orang itu... bukan begitu Ki Dandang Wesi???
Bukan bukan seru Ki DW...kita juga bisa tertawa karena ulah orang yang justru tidak mengenal kita...misalnya Cak Lontong sedang Stand up comedi...ah itu sama saja Ki DW saya juga kenal dengan Cak lontong ..tapi apakah Cak Lontong kenal anda!!!! geram Ki Dandang Wesi....Tidakkan!!!
Tidam = Tidak.... (karena "tidak" kata yang lebih dikenal dari "tidam")
HapusTidam = TIDA-k M-au makan = puasa pati geni = memantapkan ajian leyeh leyeh..dan ajian penggandaan koment....mumpung isih minggu tenang....
Hapus...hehehe...
matur nuwun mbah Man
BalasHapusSiapa ya tokoh misterius itu ya.
BalasHapusSiapa ya tokoh misterius itu ya.
BalasHapusSiapa ya tokoh misterius itu ya.
BalasHapusnenggo tipelan.... baru ketahuan, mungkin.
BalasHapusManur nuwun Mbah Man
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus