Minggu, 12 Februari 2017

STSD 02_03

“Untunglah seseorang telah memberitahu aku tentang peristiwa di depan regol padukuhan ini, sehingga kesalah-pahaman ini dapat dihindarkan,” berkata Ki Jabagaya kemudian setelah sejenak mereka terdiam. Lanjut Ki Jagabaya kemudian, “Marilah kita segera menyelenggarakan jasad orang itu. Siapapun dia sebenarnya, karena dia telah meninggal di padukuhan Klangon, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menyelenggarakan pemakamannya.”

Setiap kepala yang hadir di tempat itu pun tampak terangguk-angguk.

Kemudian kepada Ki Rangga dan kawan-kawannya, Ki Jagabaya berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan Ki Sanak berlima untuk sekedar mampir di padukuhan Klangon. Kalian dapat bermalam di banjar padukuhan karena sebentar lagi kelihatannya hujan akan turun, dan sebaiknya Ki Sanak mencari tempat berteduh.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya saling pandang. Segera saja mereka memaklumi ajakan Ki Jagabaya itu. Walaupun tidak secara langsung orang yang bertanggung jawab atas  keamanan padukuhan Klangon itu mencurigai mereka,  namun ajakan untuk bermalam di padukuhan Klangon itu perlu diwaspadai. Secara tidak langsung ajakan itu  mengisyaratkan bahwa Ki Rangga berlima  masih dalam pengawasan atas peristiwa rajapati itu.

“Terima kasih Ki Jagabaya,” akhirnya Ki Waskita lah yang menjawab mewakili yang lain, “Kami sangat bersyukur mendapat tempat bermalam di padukuhan Klangon. Semoga kehadiran kami tidak merepotkan para penghuni padukuhan.”

“O, tidak..tidak,” jawab Ki Jagabaya dengan serta merta, “Marilah kita berangkat sebelum hujan benar-benar turun,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah kami dapat meminjam salah satu kuda kalian untuk membawa jasad orang itu?”

“O, tentu..tentu,” dengan tergopoh-gopoh Ki Waskita segera menyerahkan kendali kudanya, “Kami akan berjalan kaki bersama-sama kalian ke banjar padukuhan.”

“Terima kasih,” jawab Ki Jagabaya sambil menerima kendali kuda. 

Sejenak kemudian, salah satu penghuni padukuhan Klangon  segera menaikkan jasad  itu ke atas punggung kuda Ki Waskita. Setelah menerima kendali kuda dari Ki Jagabaya, dengan perlahan kuda itu pun dihelanya maju. Sementara dua orang menjaga di kiri kanan jasad yang terlelungkup di atas punggung kuda itu.

Demikianlah iring-iringan itu pun segera bergerak menuju ke banjar padukuhan Klangon. Sepanjang jalan hampir tidak ada seorang pun yang berbicara. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angan mereka sendiri-sendiri. Sementara di langit sesekali terdengar petir bersabung disertai dengan air hujan yang mulai turun menetes satu persatu.

Rombongan itu segera mempercepat langkah mereka. Ketika titik-titik hujan mulai terasa semakin deras, beberapa orang bahkan telah mulai berlari-lari kecil.

Untunglah banjar padukuhan itu sudah mulai terlihat di ujung kelokan jalan. Begitu mereka mencapai pendapa banjar padukuhan, jasad itu segera diangkat  dan kemudian diletakkan di tengah-tengah pendapa. Sejenak kemudian,  hujan pun turun bagaikan dicurahkan dari langit.

“Marilah Ki Sanak sekalian,” berkata Ki Jagabaya kemudian kepada Ki Waskita, “Biarlah kuda-kuda kalian dirawat oleh penjaga banjar ini,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah kalian sudah mengambil perbekalan masing-masing?”

“Sudah Ki Jagabaya,” jawab Ki Waskita sambil menunjukkan buntalan pakaian di tangan kirinya diikuti oleh yang lainnya, “Jika diijinkan kami akan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berganti pakaian.”

“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jagabaya cepat, “Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kalian dapat beristirahat di ruang dalam banjar. Aku akan mempersiapkan pemakaman jenazah sambil menunggu hujan reda.”

Dermikianlah kelima orang itu segera memasuki banjar padukuhan Klangon. Seorang yang berpakaian serba hitam dengan rambut yang sudah mulai memutih telah menunjukkan ruang dalam tempat mereka untuk beristirahat.

Untuk beberapa saat mereka masih menunggu hujan agak mereda untuk pergi ke pakiwan secara bergantian. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Rangga untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya.

“Kelihatannya sekarang ini kita diterima sebagai tamu,” berkata Ki Rangga memulai pembicaraan, “Namun aku merasa  kita selalu diawasi sehingga  kita ini seperti menjadi tawanan saja.”

“Angger benar,” sahut Ki Waskita, “Aku tadi sempat melihat beberapa pengawal padukuhan Klangon telah berdatangan bersamaan dengan turunnya hujan.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil memandang ke arah Glagah Putih. Agaknya Glagah Putih pun tanggap dengan maksud kakak sepupunya itu. Maka katanya kemudian sambil bangkit berdiri, “Aku akan melihatnya kakang.”

“Berhati-hatilah,”  hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga berpesan.

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih sambil melangkah ke pintu.

Begitu bayangan Glagah Putih hilang di balik pintu, Ki Rangga pun segera meneruskan kata-katanya.


“Malam ini kita akan membagi tugas untuk menyelidiki padukuhan ini,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kita ingin mengetahui, sejauh mana padukuhan ini telah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”

10 komentar :

  1. Hadir minggu....tetap semangat....

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah hari minggu dapet wedaran .... buat sangu liburan .... istirahat sambil baca wedaran rontal baru ...Matur nuwun sanget Mbah Man ... selamat hari Minggu Mbah ..

    BalasHapus
  3. Matur-nuwun mBah-Man atas rontalipun. 4 rontal..

    BalasHapus
  4. Dingin menjadi hangat karna membaca rontal di TB Mbah_Man.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah man. Hari ini wedaran 4 rontal.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.