“Untunglah seseorang telah
memberitahu aku tentang peristiwa di depan regol padukuhan ini, sehingga
kesalah-pahaman ini dapat dihindarkan,” berkata Ki Jabagaya kemudian setelah sejenak
mereka terdiam. Lanjut Ki Jagabaya kemudian, “Marilah kita segera menyelenggarakan jasad orang itu. Siapapun
dia sebenarnya, karena dia telah meninggal di padukuhan Klangon, maka sudah
menjadi kewajiban kita untuk menyelenggarakan pemakamannya.”
Setiap kepala yang hadir di
tempat itu pun tampak terangguk-angguk.
Kemudian kepada Ki Rangga
dan kawan-kawannya, Ki Jagabaya berkata, “Marilah Ki Sanak, kami persilahkan
Ki Sanak berlima untuk sekedar mampir di padukuhan Klangon. Kalian dapat
bermalam di banjar padukuhan karena sebentar lagi kelihatannya hujan akan turun,
dan sebaiknya Ki Sanak mencari tempat berteduh.”
Hampir bersamaan Ki Rangga
dan kawan-kawannya saling pandang. Segera saja mereka memaklumi ajakan Ki
Jagabaya itu. Walaupun tidak secara langsung orang yang bertanggung jawab atas keamanan padukuhan Klangon itu mencurigai
mereka, namun ajakan untuk bermalam di
padukuhan Klangon itu perlu diwaspadai. Secara tidak langsung ajakan itu mengisyaratkan bahwa Ki Rangga berlima masih dalam pengawasan atas peristiwa rajapati
itu.
“Terima kasih Ki Jagabaya,”
akhirnya Ki Waskita lah yang menjawab mewakili yang lain, “Kami sangat
bersyukur mendapat tempat bermalam di padukuhan Klangon. Semoga kehadiran kami
tidak merepotkan para penghuni padukuhan.”
“O, tidak..tidak,” jawab Ki
Jagabaya dengan serta merta, “Marilah kita berangkat sebelum hujan benar-benar
turun,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah kami dapat
meminjam salah satu kuda kalian untuk membawa jasad orang itu?”
“O, tentu..tentu,” dengan
tergopoh-gopoh Ki Waskita segera menyerahkan kendali kudanya, “Kami akan
berjalan kaki bersama-sama kalian ke banjar padukuhan.”
“Terima kasih,” jawab Ki
Jagabaya sambil menerima kendali kuda.
Sejenak kemudian, salah satu penghuni padukuhan Klangon segera menaikkan jasad itu ke atas punggung kuda Ki Waskita. Setelah menerima kendali kuda dari Ki Jagabaya, dengan perlahan kuda itu pun dihelanya maju. Sementara dua orang menjaga di kiri kanan jasad yang terlelungkup di atas punggung kuda itu.
Demikianlah iring-iringan
itu pun segera bergerak menuju ke banjar padukuhan Klangon. Sepanjang jalan
hampir tidak ada seorang pun yang berbicara. Masing-masing sedang sibuk dengan
angan-angan mereka sendiri-sendiri. Sementara di langit sesekali terdengar
petir bersabung disertai dengan air hujan yang mulai turun menetes satu persatu.
Rombongan itu segera mempercepat
langkah mereka. Ketika titik-titik hujan mulai terasa semakin deras, beberapa
orang bahkan telah mulai berlari-lari kecil.
Untunglah banjar padukuhan
itu sudah mulai terlihat di ujung kelokan jalan. Begitu mereka mencapai pendapa
banjar padukuhan, jasad itu segera diangkat dan kemudian diletakkan di tengah-tengah
pendapa. Sejenak kemudian, hujan pun
turun bagaikan dicurahkan dari langit.
“Marilah Ki Sanak sekalian,”
berkata Ki Jagabaya kemudian kepada Ki Waskita, “Biarlah kuda-kuda kalian
dirawat oleh penjaga banjar ini,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Bukankah kalian sudah mengambil perbekalan masing-masing?”
“Sudah Ki Jagabaya,” jawab
Ki Waskita sambil menunjukkan buntalan pakaian di tangan kirinya diikuti oleh
yang lainnya, “Jika diijinkan kami akan membersihkan diri terlebih dahulu
sebelum berganti pakaian.”
“Silahkan, silahkan,” sahut
Ki Jagabaya cepat, “Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, kalian
dapat beristirahat di ruang dalam banjar. Aku akan mempersiapkan pemakaman
jenazah sambil menunggu hujan reda.”
Dermikianlah kelima orang
itu segera memasuki banjar padukuhan Klangon. Seorang yang berpakaian serba
hitam dengan rambut yang sudah mulai memutih telah menunjukkan ruang dalam
tempat mereka untuk beristirahat.
Untuk beberapa saat mereka
masih menunggu hujan agak mereda untuk pergi ke pakiwan secara bergantian.
Kesempatan itu digunakan oleh Ki Rangga untuk membicarakan rencana mereka
selanjutnya.
“Kelihatannya sekarang ini kita
diterima sebagai tamu,” berkata Ki Rangga memulai pembicaraan, “Namun aku
merasa kita selalu diawasi sehingga kita ini seperti menjadi tawanan saja.”
“Angger benar,” sahut Ki
Waskita, “Aku tadi sempat melihat beberapa pengawal padukuhan Klangon telah
berdatangan bersamaan dengan turunnya hujan.”
Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam sambil memandang ke arah Glagah Putih. Agaknya Glagah Putih pun tanggap
dengan maksud kakak sepupunya itu. Maka katanya kemudian sambil bangkit
berdiri, “Aku akan melihatnya kakang.”
“Berhati-hatilah,” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga
berpesan.
“Ya Guru,” jawab Glagah
Putih sambil melangkah ke pintu.
Begitu bayangan Glagah Putih
hilang di balik pintu, Ki Rangga pun segera meneruskan kata-katanya.
“Malam ini kita akan membagi
tugas untuk menyelidiki padukuhan ini,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Kita ingin mengetahui, sejauh mana padukuhan ini telah terpengaruh oleh bujukan orang-orang
yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen.”
Hadir minggu....tetap semangat....
BalasHapusAlhamdulillah hari minggu dapet wedaran .... buat sangu liburan .... istirahat sambil baca wedaran rontal baru ...Matur nuwun sanget Mbah Man ... selamat hari Minggu Mbah ..
BalasHapusHadir nomer dua ....
BalasHapusternyata nomer tiga...
HapusMatur nuwun mbah Man ..
BalasHapusSuwun mbah man sehat selalu
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man atas rontalipun. 4 rontal..
BalasHapusDingin menjadi hangat karna membaca rontal di TB Mbah_Man.
BalasHapusMatur nuwun mbah man. Hari ini wedaran 4 rontal.
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus