Jumat, 24 Februari 2017

STSD 02_15

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Namun di dalam hati kecilnya, terasa ada suatu yang kurang pada tempatnya sehubungan dengan rencana yang disampaikan oleh Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, Kita datang ke padukuhan Klangon ini berlima, sedangkan yang akan berkunjung ke kediaman Ki Gede Matesih hanya bertiga. Apa kata Ki Dukuh Klangon nanti jika dia mendapat laporan tentang hal ini?”

“O, masalah itu sudah aku pikirkan, ngger,” jawab Ki Waskita, “Besuk pagi-pagi sekali kita berdua harus sudah meninggalkan tempat ini. Akan ada seseorang yang menjemput kita karena ada keluarga kita di Prambanan yang sedang sakit.”

“Siapakah yang akan menjemput kita berdua besuk pagi-pagi sekali?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.

Mendapat pertanyaan itu, Ki Waskita kembali tidak menjawab. Hanya senyumnya saja yang kembali menghiasi bibirnya.

Melihat ayah Rudita itu hanya tersenyum ke arahnya, Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Secara samar Ki Rangga dapat meraba maksud Ki Waskita. Tentu dengan mengetrapkan bayangan semu, Ki Waskita akan mempengaruhi para pengawal yang berjaga di gardu depan sehingga mereka berdua akan dapat lolos dari banjar padukuhan Klangon besuk pagi-pagi sekali.

“Jika tidak ada perubahan rencana, Ki Jagabaya akan datang bersama utusan dari Ki Gede Matesih besuk pagi menjelang pasar temawon,” berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan Ki Rangga.

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Marilah, Ki Waskita. Kita bergabung dengan yang lainnya di ruang dalam. Kita perlu menyampaikan rencana kita kepada mereka.”

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil bangkit berdiri dan kemudian mengikuti Ki Rangga yang telah melangkah meninggalkan pringgitan.

Setibanya mereka berdua di ruang dalam, ternyata ki Jayaraga dan Glagah Putih belum tidur. Mereka berdua tampak sedang berbincang-bincang.

“Silahkan,” berkata Ki Jayaraga sambil menggeser duduknya, “Kita sedang membicarakan sesuatu yang tidak sewajarnya yang ada di ruangan ini.”

“Apakah itu, Ki?” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita bertanya.

Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah dinding sebelah utara, “Lihatlah. Di sudut dinding sebelah utara itu ada sebuah lubang yang kelihatannya memang sengaja dibuat.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Ki Jayaraga. Dengan bergegas keduanya pun segera menghampiri tempat itu. Benar saja, sebuah lubang yang tidak begitu besar agaknya dengan sengaja telah dibuat di sudut dinding sebelah utara itu.

“Lubang ini kelihatannya belum lama dibuat,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati lubang di sudut dinding itu, “Mungkin lubang ini dibuat pada saat kita di pringgitan bersama Ki Gede dan Ki Jagabaya.”

“Dugaanku juga demikian Ki,” sahut Ki Jayaraga yang kemudian juga ikut mendekat dan mengamat-amati lubang itu, “Namun apakah tujuan sebenarnya?”

“Untuk membunuh kita,” jawab Ki Rangga yang membuat semua orang terperanjat. Glagah Putih pun ikut berdiri dan mendekat.

“Ya, untuk membunuh kita atau paling tidak salah satu dari kita,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu melihat orang-orang itu hanya berdiri diam termangu-mangu.

“Paser beracun,” tiba-tiba hampir bersamaan terdengar mereka berdesis perlahan.

“Ya, paser beracun,” berkata Ki Rangga. Kemudian sambil tangannya menunjuk lubang di sudut dinding itu Ki Rangga melanjutkan, “Dari lubang inilah sumpit itu akan dimasukkan. Sementara kita sedang tertidur lelap, sebuah paser beracun akan mematuk dada salah satu dari kita, atau bahkan mungkin orang itu akan meniup sumpitnya berkali-kali untuk menghabisi kita semua.”

“Curang!” geram Glagah Putih, “Ini pasti pekerjaan orang yang telah membunuh petugas sandi kita di bulak siang tadi. Kita harus membuat perhitungan.”

Orang-orang tua yang mendengar Glagah Putih menggeram telah tersenyum. Mereka bisa memaklumi perasaan Glagah Putih. Kematian salah satu petugas sandi dari Mataram itu agaknya telah membuat Glagah Putih waringuten.

“Sebaiknya kita segera tidur,” berkata Ki Rangga sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Kemudian sambil melangkah ke tengah-tengah ruangan dia melanjutkan, “Aku akan berbaring di sisi paling utara. Silahkan yang lainnya menyesuaikan.”

Agaknya orang-orang itu segera memahami maksud Ki Rangga. Mereka sengaja memancing kehadiran orang itu. Maka sejenak kemudian orang-orang itu pun mulai menempatkan diri untuk tidur berjajar-jajar di tengah-tengah ruangan itu. Tidur hanya dengan beralaskan tikar.

Glagah Putih yang tidur di paling ujung berseberangan dengan kakak sepupunya masih sempat menggerutu sebelum membaringkan tubuhnya.

“Orang-orang padukuhan Klangon memang keterlaluan,” geram suami Rara Wulan itu sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang, “Tidak ada amben, tidur hanya beralaskan tikar usang, banyak nyamuknya lagi!”

Mereka yang mendengar gerutu Glagah Putih hanya dapat menahan senyum. Sementara Ki Rangga yang berbaring di sisi paling utara bersebelahan dengan Ki Waskita segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian ruang dalam itu pun segera menjadi sunyi. Yang terdengar kemudian hanyalah suara tarikan nafas yang teratur diselingi oleh suara dengkuran Glagah Putih.

Dalam pada itu malam telah jauh meninggalkan pusatnya. Angin yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Sesekali di langit terdengar petir bersabung di udara. Agaknya hujan  akan turun lagi karena sisa mendung yang bergelayutan di langit terlihat semakin hitam menggumpal.


Ketika tetes-tetes air hujan satu-persatu mulai berjatuhan, sesosok bayangan tampak berjalan mengendap-endap mendekati dinding ruang dalam sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan.

12 komentar :

  1. MAtur nuwun Mbah Nan ada dobelan hari ini .... semoga sehat terus Mbah Man

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah semakin seru.. Terimakasih mbah man.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah Man, dobelan untuk weekend .....

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Hmmmm.... paser beracun, belum tahu dia siapa yg menjadi targetnya, yg memiliki otot kawat walung wesi.... dan makanannya masih digarap di papua sana.

    BalasHapus
  6. Hmmmm.... paser beracun, belum tahu dia siapa yg menjadi targetnya, yg memiliki otot kawat walung wesi.... dan makanannya masih digarap di papua sana.

    BalasHapus
  7. Lomba komen dobel.... yg menang dapat helm ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. sementara diikuti oleh Ki Urip , Ki Jokowono dan Ki Yacub....

      ayo monggo siapa lagi yang mau ikut...

      Hapus
  8. Matur-nuwun mBah-Man, atas tripelannya.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.