Jumat, 09 Desember 2016

TADBM 416_13

(Menyampaikan duka yg mendalam atas musibah saudara2 kita di Aceh. Semoga Yang Maha Agung memberikan kesabaran dan ketabahan. Amiin)

Dalam pada itu di pinggir hutan kecil yang memisahkan antara bulak panjang yang menuju ke Jati Anom dengan padang rumput lemah Cengkar, tampak dua orang sedang bercakap-cakap sambil mengamati jalannya pertempuran.

“Apakah engkau sudah bertemu dengan Ki Rangga Dipayana sendiri?” bertanya seorang yang berbaju wulung, dengan ikat kepala berwarna wulung pula.

“Sudah Kakang,” jawab orang yang berdiri di sebelahnya, “Ki Rangga Dipayana setuju dengan saran dari Raden Wirasena untuk membiarkan saja trah Mataram itu saling bertengkar. Setelah keduanya hancur atau paling tidak kekuatan mereka menjadi lemah, barulah trah Sekar Seda Lepen yang nanti akan tampil dan merajai  tanah ini.”

Orang yang dipanggil kakang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak pandangan matanya tertuju ke medan pertempuran yang semakin sengit. Pasukan Mataram perlahan-lahan mulai terdesak hebat. Walaupun para prajurit itu telah bertempur berpasangan bahkan ada yang membuat kelompok-kelompok kecil, namun karena jumlah lawan yang hampir dua kali lipat, tekanan itu semakin lama menjadi semakin tak tertahankan.

Sebenarnyalah kedatangan murid-murid perguruan bercambuk dari Jati Anom itu sedikit banyak telah mengurangi tekanan lawan. Namun pasukan Mataram belum benar-benar keluar dari kesulitan.

“Sebentar lagi pasukan Mataram itu akan hancur,” gumam orang yang dipanggil kakang itu, “Tinggal menunggu waktu saja. Tumenggung Purbarana sudah mati. Apalagi jika Guru orang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati itu mampu mengakhiri perlawanan Ki Rangga Agung Sedayu, tentu kekuatan Mataram benar-benar akan lumpuh.”

“Bagaimana dengan Ki Swandaru?” bertanya kawannya, “Kelihatannya dia sudah banyak mengalami kemajuan. Terbukti Ki Swandaru telah berani dengan sadar menempatkan diri berhadapan dengan Pangeran Ranapati.”

Orang yang dipanggil kakang itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Ada bedanya antara berani yang berlandaskan pada perhitungan nalar dan berani yang hanya mengikuti luapan perasaan sesaat. Aku tahu sampai di mana tingkat kemampuan orang yang menyebut dirinya trah Mataram itu. Murid kedua orang bercambuk itu bukan lawan yang sebanding baginya.”

Orang yang berdiri di sebelahnya itu menarik nafas dalam dalam. Dia sangat sependapat dengan kawannya tentang kemampuan Pangeran Ranapati. Namun dia tidak sependapat dengan kawannya yang meragukan  kemampuan anak Demang Sangkal Putung itu. Kenyataannya  sejauh ini  Ki Swandaru masih dapat bertahan.

Ketika kedua orang itu sedang asyik mengamati pertempuran yang semakin berat sebelah, tiba-tiba mereka berdua telah dikejutkan oleh sorak-sorai pasukan Mataram yang membahana di antara suara denting senjata yang beradu dan ledakan cambuk yang sambung menyambung.

“He?!” seru orang yang dipanggil Kakang itu, “Apakah orang-orang Mataram sudah sedemikian putus asanya sehingga  menjadi gila?!”

Kawannya tidak menjawab. Ditajamkan pandangan matanya untuk mengamati pertempuran yang terlihat goncang.

“Lihatlah Kakang!” katanya kemudian sambil menunjuk ke arah selatan, “Pengikut Pangeran Ranapati yang bertempur di sebelah selatan terlihat menjadi kacau balau. Mereka berhamburan seperti diterjang puting beliung.”

Orang yang dipanggil kakang itu sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ketika pandangan matanya yang setajam burung elang itu melihat ke arah selatan, betapa terkejutnya orang itu. Tampak dengan jelas para pengikut pangeran Ranapati bagaikan diterjang badai. Mereka berhamburan mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing.

Tiba-tiba orang yang dipanggil kakang itu melihat keanehan sedang terjadi di medan sebelah selatan. Dalam ketajaman pandangan matanya, tampak ada tiga orang yang berperawakan ramping sedang mengamuk menghancurkan para pengikut Pangeran Ranapati yang berani mengadang jalan mereka.

“Dari mana datangnya tiga orang aneh itu?” desisnya perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri.

 “Gila!” tiba-tiba orang itu mengumpat dengan keras begitu dapat mengenali dengan lebih jelas, “Dari mana datangnya tiga orang perempuan gila itu, he?!”

Orang yang berdiri di sebelahnya itu terkejut mendengar umpatan kawannya. Tanpa sadar dia telah bergeser selangkah ke depan. Tanyanya kemudian, “Siapa yang kakang maksud?”

Orang yang dipanggil kakang itu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Sulit untuk diterima oleh nalar. Tidak salah lagi, perempuan yang berpakaian khusus dengan sepasang pedang di lambung itu adalah putri Menoreh, Pandan Wangi. Sedangkan yang bersenjatakan tongkat baja putih itu adalah istri Ki Rangga Agung Sedayu. Sepengetahuanku mereka berdua berada di Menoreh. Bagaimana mungkin mereka bisa berada di sini?” orang itu berhenti sebentar. Pandang matanya yang tajam mencoba mengamati perempuan yang terakhir. Namun akhirnya dia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya kembali sambil bergumam, “Aku tidak mengenal perempuan itu. Namun  yang jelas dia perempuan muda yang sangat cantik.”

“He?” orang yang di sebelahnya kembali terkejut, “Benarkah ada perempuan cantik di medan pertempuran itu?”

“Ah, sudahlah,”  sahut orang yang dipanggil kakang itu sambil menarik nafas dalam-dalam, “Usaha kita untuk mencegah bantuan dari para prajurit yang berada di Jati Anom ternyata hanya sia-sia. Aku masih belum habis pikir, bagaimana  mungkin ketiga perempuan itu tiba-tiba saja bisa muncul  di medan pertempuran ini?”


Kawannya tidak menjawab. Dia sedang mengerahkan kemampuannya untuk mempertajam pandangan matanya dan mencoba mengamati dengan lebih seksama medan pertempuran di sebelah selatan.

28 komentar :

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Matur nuwun sanget Mbah Man ...eng..ing..eng kembali gaduh perebutan tahta dengan hadirnya Trah Sekar Seda Lepen....

    Tak lupa ikut berduka dan prihatin atas musibah di Tanah Rencong semoga bajir bantuan mengalir deras untuk menghanyutkan kesedihan semoga ketawakalan semakin besar disertai keikhlasan menerima cobaan dari Yang Maha Pemilik...Aamin...

    BalasHapus
  3. josss.. trio bidadari mengobrak-abrik pasukan ranapati...

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man lontar siangipun..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luwih gayeng maneh nek sore iki nambah..utk menghibur saudara2 kita di Samalanga Aceh

      Hapus
    2. Mugi mugi sore iki nambahne mas aryo tapi luwih gayeng esuk esuk juga rapopo...he..he..he...

      Hapus
    3. josss ngetik sambil ditemani secangkir kopi white dan ketela rebus

      Hapus
    4. Welaah cocok iku Mbah mugi mugi luwih gayeng ngetikne..he..he 🙏🙏

      Hapus
  5. Aamiin atas doa mbah_man untuk saudara kita di aceh.
    Matur nuwun rontalipun mbah...waduh tiga srikandi ngamuuk...

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka, makin seru ..... tetap semangat !

    Turut juga menyampaikan duka yg mendalam atas musibah saudara2 kita di Aceh. Semoga Yang Maha Agung memberikan kesabaran dan ketabahan. Aamiin !

    BalasHapus
  7. Matur Nuwun Mbah Man .... cerita makin seru ... perang yang dahsyat dilandasi cinta kepada kebenaran ...

    Berdoa untuk saudara saudara kita di Aceh , semoga Allah selalu memberikan lindungannya kepada kita semua ... Aamiin YRA ...

    BalasHapus
  8. Kaget dengan ceritanya...
    maturnuwun Mbah_Man, TrioWanitaPecintaRAS ngedab2i..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trio macan kalau manggung memang selalu membuat ngebad ngebid....

      Hapus
  9. Matur nuwun mbah.
    Pray for Aceh

    BalasHapus
  10. Mantep sekali Mbah Man ... saya sudah kira ketiga srikandhi itu dikirim oleh Sang Sunan. Maka selesailah perkara, tinggal tunggu pangeran Ranapati dan gurunya menyerah. Salut!

    BalasHapus
  11. matur nuwun mbah-Man atas rontalnya.

    BalasHapus
  12. Kanjeng Sunan berpesan pada Agung Sedayu pakailsh ilmu itu untuk mengajak pulang istrimu saja tinggalah Pandan Wangi biar pulang dengan suaminya.....dan Anjani biarlah ikut pasukan berkuda untuk mencari pasangan yang cocok dalam partai ganda campuran di kejuaraan Manoreh Open....


    BalasHapus
  13. Balasan
    1. Betul Ki Ismail kalau sedikit tinggi mungkin lebih cantik dan sempurna si mbok gumbrek itu...

      Hapus
  14. Balasan
    1. Selamat atas diwisudanya Ki Lurah Tunjungtirto...semoga tidak ikut terpengaruh oleh si kakang berbaju wulung..dan laporkan saja pembelotan Ki Rangga Dipayana ke polsek terdekat...he..he..he

      Hapus
  15. matur sewu sembah nuwun mbah....
    ketika saya membaca "Ketika kedua orang itu sedang asyik mengamati pertempuran yang semakin berat sebelah dst....", saya jadi teringat bahwa jarang sekali menemui kata "asyik", seingat saya kata itu ada pada seri 3 sekitar jilid 17-20, yaitu ketika pangeran singasari memarahi kiai gringsing sewaktu mau menyerbu nagaraga, dan sewaktu raden rangga hampir meninggal sedang "asyik" nembang...
    sepindhah malih maturnuwun mbah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Melihat komen Ki Brekele jd inget dengan Kiai Gringsing, tokoh sareh yg jadi panutan, akhli kanuragan dan juga akhli pengobatan ....
      Berdarah biru tapi lebih senang jadi kawula biasa.

      Hapus
    2. mungkin ki dimas parikesit tiba2 ingat kepada pande besi sendang gabus juga, hehe..

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.