(Menyampaikan duka yg mendalam atas musibah saudara2 kita di Aceh. Semoga Yang Maha Agung memberikan kesabaran dan ketabahan. Amiin)
Dalam pada itu di pinggir hutan kecil yang memisahkan antara bulak panjang yang menuju ke Jati Anom dengan padang rumput lemah Cengkar, tampak dua orang sedang bercakap-cakap sambil mengamati jalannya pertempuran.
Dalam pada itu di pinggir hutan kecil yang memisahkan antara bulak panjang yang menuju ke Jati Anom dengan padang rumput lemah Cengkar, tampak dua orang sedang bercakap-cakap sambil mengamati jalannya pertempuran.
“Apakah engkau sudah bertemu
dengan Ki Rangga Dipayana sendiri?” bertanya seorang yang berbaju wulung,
dengan ikat kepala berwarna wulung pula.
“Sudah Kakang,” jawab orang
yang berdiri di sebelahnya, “Ki Rangga Dipayana setuju dengan saran dari Raden
Wirasena untuk membiarkan saja trah Mataram itu saling bertengkar. Setelah
keduanya hancur atau paling tidak kekuatan mereka menjadi lemah, barulah trah
Sekar Seda Lepen yang nanti akan tampil dan merajai tanah ini.”
Orang yang dipanggil kakang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak pandangan matanya tertuju ke medan
pertempuran yang semakin sengit. Pasukan Mataram perlahan-lahan mulai terdesak
hebat. Walaupun para prajurit itu telah bertempur berpasangan bahkan ada yang
membuat kelompok-kelompok kecil, namun karena jumlah lawan yang hampir dua kali
lipat, tekanan itu semakin lama menjadi semakin tak tertahankan.
Sebenarnyalah kedatangan
murid-murid perguruan bercambuk dari Jati Anom itu sedikit banyak telah
mengurangi tekanan lawan. Namun pasukan Mataram belum benar-benar keluar dari
kesulitan.
“Sebentar lagi pasukan
Mataram itu akan hancur,” gumam orang yang dipanggil kakang itu, “Tinggal
menunggu waktu saja. Tumenggung Purbarana sudah mati. Apalagi jika Guru orang
yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati itu mampu mengakhiri perlawanan Ki
Rangga Agung Sedayu, tentu kekuatan Mataram benar-benar akan lumpuh.”
“Bagaimana dengan Ki
Swandaru?” bertanya kawannya, “Kelihatannya dia sudah banyak mengalami
kemajuan. Terbukti Ki Swandaru telah berani dengan sadar menempatkan diri
berhadapan dengan Pangeran Ranapati.”
Orang yang dipanggil kakang
itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Ada bedanya antara berani yang
berlandaskan pada perhitungan nalar dan berani yang hanya mengikuti luapan
perasaan sesaat. Aku tahu sampai di mana tingkat kemampuan orang yang menyebut
dirinya trah Mataram itu. Murid kedua orang bercambuk itu bukan lawan yang
sebanding baginya.”
Orang yang berdiri di
sebelahnya itu menarik nafas dalam dalam. Dia sangat sependapat dengan kawannya
tentang kemampuan Pangeran Ranapati. Namun dia tidak sependapat dengan kawannya
yang meragukan kemampuan anak Demang
Sangkal Putung itu. Kenyataannya sejauh
ini Ki Swandaru masih dapat bertahan.
Ketika kedua orang itu
sedang asyik mengamati pertempuran yang semakin berat sebelah, tiba-tiba mereka
berdua telah dikejutkan oleh sorak-sorai pasukan Mataram yang membahana di antara
suara denting senjata yang beradu dan ledakan cambuk yang sambung menyambung.
“He?!” seru orang yang dipanggil
Kakang itu, “Apakah orang-orang Mataram sudah sedemikian putus asanya sehingga menjadi gila?!”
Kawannya tidak menjawab.
Ditajamkan pandangan matanya untuk mengamati pertempuran yang terlihat goncang.
“Lihatlah Kakang!” katanya
kemudian sambil menunjuk ke arah selatan, “Pengikut Pangeran Ranapati yang
bertempur di sebelah selatan terlihat menjadi kacau balau. Mereka berhamburan
seperti diterjang puting beliung.”
Orang yang dipanggil kakang
itu sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ketika pandangan matanya yang
setajam burung elang itu melihat ke arah selatan, betapa terkejutnya orang itu.
Tampak dengan jelas para pengikut pangeran Ranapati bagaikan diterjang badai.
Mereka berhamburan mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Tiba-tiba orang yang
dipanggil kakang itu melihat keanehan sedang terjadi di medan sebelah selatan. Dalam
ketajaman pandangan matanya, tampak ada tiga orang yang berperawakan ramping
sedang mengamuk menghancurkan para pengikut Pangeran Ranapati yang berani mengadang
jalan mereka.
“Dari mana datangnya tiga
orang aneh itu?” desisnya perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya
sendiri.
“Gila!” tiba-tiba orang itu mengumpat dengan
keras begitu dapat mengenali dengan lebih jelas, “Dari mana datangnya tiga
orang perempuan gila itu, he?!”
Orang yang berdiri di
sebelahnya itu terkejut mendengar umpatan kawannya. Tanpa sadar dia telah bergeser selangkah ke depan. Tanyanya
kemudian, “Siapa yang kakang maksud?”
Orang yang dipanggil kakang
itu menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian,
“Sulit untuk diterima oleh nalar. Tidak salah lagi, perempuan yang berpakaian
khusus dengan sepasang pedang di lambung itu adalah putri Menoreh, Pandan
Wangi. Sedangkan yang bersenjatakan tongkat baja putih itu adalah istri Ki
Rangga Agung Sedayu. Sepengetahuanku mereka berdua berada di Menoreh. Bagaimana
mungkin mereka bisa berada di sini?” orang itu berhenti sebentar. Pandang
matanya yang tajam mencoba mengamati perempuan yang terakhir. Namun akhirnya
dia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya kembali sambil bergumam, “Aku
tidak mengenal perempuan itu. Namun yang
jelas dia perempuan muda yang sangat cantik.”
“He?” orang yang di
sebelahnya kembali terkejut, “Benarkah ada perempuan cantik di medan
pertempuran itu?”
“Ah, sudahlah,” sahut orang yang dipanggil kakang itu sambil
menarik nafas dalam-dalam, “Usaha kita untuk mencegah bantuan dari para
prajurit yang berada di Jati Anom ternyata hanya sia-sia. Aku masih belum habis
pikir, bagaimana mungkin ketiga
perempuan itu tiba-tiba saja bisa muncul
di medan pertempuran ini?”
Kawannya tidak menjawab. Dia
sedang mengerahkan kemampuannya untuk mempertajam pandangan matanya dan mencoba
mengamati dengan lebih seksama medan pertempuran di sebelah selatan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man ...eng..ing..eng kembali gaduh perebutan tahta dengan hadirnya Trah Sekar Seda Lepen....
BalasHapusTak lupa ikut berduka dan prihatin atas musibah di Tanah Rencong semoga bajir bantuan mengalir deras untuk menghanyutkan kesedihan semoga ketawakalan semakin besar disertai keikhlasan menerima cobaan dari Yang Maha Pemilik...Aamin...
josss.. trio bidadari mengobrak-abrik pasukan ranapati...
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man lontar siangipun..
BalasHapusLuwih gayeng maneh nek sore iki nambah..utk menghibur saudara2 kita di Samalanga Aceh
HapusMugi mugi sore iki nambahne mas aryo tapi luwih gayeng esuk esuk juga rapopo...he..he..he...
Hapusjosss ngetik sambil ditemani secangkir kopi white dan ketela rebus
HapusWelaah cocok iku Mbah mugi mugi luwih gayeng ngetikne..he..he 🙏🙏
HapusPray untuk warga Aceh.
BalasHapusAamiin atas doa mbah_man untuk saudara kita di aceh.
BalasHapusMatur nuwun rontalipun mbah...waduh tiga srikandi ngamuuk...
Matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka, makin seru ..... tetap semangat !
BalasHapusTurut juga menyampaikan duka yg mendalam atas musibah saudara2 kita di Aceh. Semoga Yang Maha Agung memberikan kesabaran dan ketabahan. Aamiin !
Matur Nuwun Mbah Man .... cerita makin seru ... perang yang dahsyat dilandasi cinta kepada kebenaran ...
BalasHapusBerdoa untuk saudara saudara kita di Aceh , semoga Allah selalu memberikan lindungannya kepada kita semua ... Aamiin YRA ...
Kaget dengan ceritanya...
BalasHapusmaturnuwun Mbah_Man, TrioWanitaPecintaRAS ngedab2i..
Trio macan kalau manggung memang selalu membuat ngebad ngebid....
HapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusPray for Aceh
Mantep sekali Mbah Man ... saya sudah kira ketiga srikandhi itu dikirim oleh Sang Sunan. Maka selesailah perkara, tinggal tunggu pangeran Ranapati dan gurunya menyerah. Salut!
BalasHapusmatur nuwun mbah-Man atas rontalnya.
BalasHapusKanjeng Sunan berpesan pada Agung Sedayu pakailsh ilmu itu untuk mengajak pulang istrimu saja tinggalah Pandan Wangi biar pulang dengan suaminya.....dan Anjani biarlah ikut pasukan berkuda untuk mencari pasangan yang cocok dalam partai ganda campuran di kejuaraan Manoreh Open....
BalasHapusSayang terlalu pendek.
BalasHapusBetul Ki Ismail kalau sedikit tinggi mungkin lebih cantik dan sempurna si mbok gumbrek itu...
HapusMatur Suwun Mbah_Man
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapusSelamat atas diwisudanya Ki Lurah Tunjungtirto...semoga tidak ikut terpengaruh oleh si kakang berbaju wulung..dan laporkan saja pembelotan Ki Rangga Dipayana ke polsek terdekat...he..he..he
Hapusmatur sewu sembah nuwun mbah....
BalasHapusketika saya membaca "Ketika kedua orang itu sedang asyik mengamati pertempuran yang semakin berat sebelah dst....", saya jadi teringat bahwa jarang sekali menemui kata "asyik", seingat saya kata itu ada pada seri 3 sekitar jilid 17-20, yaitu ketika pangeran singasari memarahi kiai gringsing sewaktu mau menyerbu nagaraga, dan sewaktu raden rangga hampir meninggal sedang "asyik" nembang...
sepindhah malih maturnuwun mbah...
Melihat komen Ki Brekele jd inget dengan Kiai Gringsing, tokoh sareh yg jadi panutan, akhli kanuragan dan juga akhli pengobatan ....
HapusBerdarah biru tapi lebih senang jadi kawula biasa.
mungkin ki dimas parikesit tiba2 ingat kepada pande besi sendang gabus juga, hehe..
HapusMaturnuwun mbah
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapus