Namun akhirnya sambil
mengangkat kedua bahunya, Sura Ireng pun menjawab, “Silahkan Adi Jumakir, kami
tidak sedang membicarakan permasalahan yang sungguh sungguh, kalau Ki Ajar
memanggilnya karena suatu keperluan, aku tidak mempunyai hak untuk
menyatakan suatu keberatan apapun.”
Berdesir dada Niken Mita Ayu
mendengar ucapan Sura Ireng, namun segera saja dihapus segala prasangka terhadapnya.
Sebenarnyalah Ayahandanya telah memanggilnya, dan tidak ada seorangpun yang
kuasa untuk mencegahnya.
Dengan kepala tunduk,
Niken Mita Ayupun kemudian melangkah perlahan berlalu dari hadapan Sura Ireng
sambil berdesis, “Aku minta diri, Kakang.”
Terasa leher Sura Ireng
bagaikan tersumbat, namun dipaksakannya untuk menjawab walaupun suaranya
terdengar parau, “Silahkan, silahkan.”
Jumakir menarik nafas dalam
dalam. Sekilas dilihatnya kebimbangan di wajah Sura Ireng, namun seperti yang
terdahulu, kesan yang terpahat dihati Jumakir terhadap diri Sura Ireng sudah
terlanjur kelam, sekelam wajah Sura Ireng itu sendiri.
“Aku juga minta diri
Kakang,” berkata Jumakir kepada Sura Ireng sekedar untuk mencairkan suasana
diantara mereka.
“Silahkan Adi Jumakir.
Apakah engkau akan mengantarkan Nimas
Mita Ayu sampai ke biliknya, untuk bersolek mempercantik diri agar mendapatkan
kesan yang baik bagi kedua tamunya, terutama anak muda yang bernama Untara
itu?”
Jumakir mengerutkan
keningnya dalam dalam mendengar pertanyaan Sura Ireng yang terdengar tidak
mengenal unggah ungguh itu. Namun baru saja mulutnya terbuka untuk menjawab
pertanyaan Sura Ireng, terdengar Niken Mita Ayu berkata kepadanya sambil
berjalan menuju ke rumah induk padepokan Sekar Keluwih, “Marilah Kakang
Jumakir, Ayahanda tentu sudah menungguku terlalu lama. Sudah sewajarnyalah
bagiku untuk sekedar berbenah diri sebelum menemani Ayahanda menemui tamunya,
agar tidak menimbulkan tanggapan yang kurang baik bagi tamu kita terhadap penghuni Padepokan Sekar
Keluwih ini.”
Terasa panas bagai tersentuh
bara wajah Sura Ireng, namun yang dapat dilakukannya hanyalah menggeretakkan
giginya sambil memandangi langkah Jumakir dan Niken Mita Ayu berjalan kearah
rumah induk melalui pintu seketeng menuju ke serambi samping.
Dalam pada itu, Ki Ajar
Sokaniti sedang duduk di pendapa Padepokan di atas sehelai tikar pandan yang
putih bersih berhiaskan garis garis berwarna merah, sedangkan kedua tamunya, Ki Sadewa dan putra
tertuanya Untara duduk menghadap kearahnya. Setelah saling menanyakan
keselamatan masing masing, Ki Ajar Sokaniti pun mulai menanyakan keperluan
sahabat lamanya itu berkunjung ke Padepokannya.
Sebelum menjawab pertanyaan
Ki Ajar Sokaniti, Ki sadewa sejenak berpaling kearah Untara, namun ternyata
yang dipandang hanya duduk terpekur diam memandangi anyaman lembut tikar pandan
tempat duduknya.
Setelah menarik nafas dalam
dalam serta membenahi letak duduknya, Ki Sadewa menjawab, “Sebenarnya
kedatangan kami berdua di Padepokan ini sekedar untuk memohon doa restu dari Ki
Ajar sehubungan dengan keinginan Untara untuk menyongsong masa depannya
sendiri, memasuki kalangan keprajuritan menjadi seorang prajurit wira tamtama.”
Ki Ajar Sokaniti mengangguk
anggukan kepalanya, sambil tersenyum ke arah Untara katanya kemudian, “Agaknya
bekal yang telah dimiliki oleh angger Untara ini sudah lebih dari cukup. Siapa
yang tidak mengenal Ki Sadewa di Kademangan Jati Anom ini. Aku rasa angger
Untara tidak akan menemui kesulitan yang berarti dalam menempuh pendadaran
nanti untuk menjadi seorang prajurit
wira tamtama.”
“Persoalan yang sebenarnya
tidaklah sesederhana itu Ki Ajar. Sepeninggal Sultan Trenggana, mendung yang
tebal sedang bergelayut dilangit Demak. Siapakah pengganti Sultan Demak yang
sebenarnya belum dapat dipastikan, karena Pangeran Timur yang diangkat untuk
menggantikan Ayahandanya ternyata lebih senang menyepi di bukit Prawoto
sehingga tidak akan dapat menjalankan
kuwajibannya mengendalikan pemerintahan Demak dengan baik karena Pangeran Timur
yang lebih senang disebut sebagai Sunan Prawoto ini lebih tertarik mempelajari
hubungan manusia dengan Penciptanya dari pada
tata pemerintahan dengan segala permasalahannya.”
“Ki Sadewa benar,
sepeninggal Sultan Trenggana yang berhak atas tahta Demak sebenarnya adalah
putra tertua dari Sultan Trenggana itu sendiri, namun perlu pula diperhitungkan
bahwa masih ada anak menantu dari Sultan Trenggana yang kini menjadi Adipati di
Pajang, Adipati Hadiwijaya yang semasa mudanya disebut Mas Karebet atau Jaka
Tingkir.”
“Menurut pendapatku Adipati
Pajang tidak akan merebut tahta selama tahta Demak masih dalam jalur trah
langsung dari Sultan Trenggana, namun yang perlu diwaspadai adalah justru Adipati
Jipang Haryo Penangsang, putra tertua dari Pangeran Sekar yang kemudian mendapat gelar
Pangeran Sekar Seda Lepen. Kematiannya yang tidak wajar di pinggir sungai oleh
orang yang menyebut dirinya Ki Suranyata telah menimbulkan dugaan bahwa Ki
Suranyata adalah orang suruhan Pangeran Timur yang kini bergelar Sunan Prawata.
Sebenarnya Pangeran Sekar adalah putra tertua dari Raden Patah walaupun dari jalur garwa selir, sedangkan pangeran Sabrang
Lor dan Raden Trenggana adalah putra Raden Patah dari jalur permaisuri..”
“Memang dugaan itu sempat
berkembang luas di kalangan kawula Demak, menilik Pangeran Timur pada waktu itu
adalah putra tertua dari Raden Trenggana yang sedang dalam pertentangan
memperebutkan tahta Demak dengan kakandanya sendiri Pangeran Sekar sepeninggal
Pangeran Sabrang Lor yang tidak meninggalkan keturunan.”
Sampai disini pembicaraan
mereka terhenti sejenak karena terdengar pintu pringgitan berderit terbuka.
Seorang gadis yang sedang menjelang dewasa tampak keluar sambil membawa nampan
berisi minuman dan beberapa makanan.
Perlahan Niken Mita Ayu
berjalan mendekat kearah mereka yang sedang duduk duduk di Pendapa. Sekilas
pandangan matanya menyambar wajah anak muda yang sedang duduk di samping Ki
Sadewa, namun tampaknya anak muda yang tak lain adalah Untara itu sama sekali
tidak mengacuhkannya, pandangan matanya tetap saja terpaku pada anyaman lembut
tikar pandan yang didudukinya, seolah dia sedang menghitung berapa banyaknya
anyaman yang diperlukan disetiap jengkalnya.
terima kasih atas BJBD nya
BalasHapusmatur nuwun mBah Man, atas rontalnya.
BalasHapusmatur nuwun mbah Man ...
BalasHapusMatur nuwun mbah_man....hehe untara isih kinyis kinyis..
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man.
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah man ..... mampir taman bacaan ....membaca rontal yang ada sambil ngopi istirahat sore ...
BalasHapusTetep kanthi sabar tunggu terusanne...
BalasHapusMatur nuwun mbah man
BalasHapusBismillah. Salut, Mbah Man! Meluruskan sejarah! Semoga tetap pada jalur 'seruan jalan hidup keselamatan'. Jangan lupakan peran Waliyul Amri yang sangat sentral dalam mengawal kehidupan bermasyarakat kesultanan Demak! Karena selama ini yang dibahas hanya melulu Ulil Amrinya saja dengan segala intrik dan konflik internalnya. Suwun
BalasHapus