Selasa, 13 Desember 2016

BDBJ 01 bag 05

Namun akhirnya sambil mengangkat kedua bahunya, Sura Ireng pun menjawab, “Silahkan Adi Jumakir, kami tidak sedang membicarakan permasalahan yang sungguh sungguh, kalau Ki Ajar memanggilnya karena suatu keperluan, aku tidak mempunyai hak untuk menyatakan  suatu keberatan apapun.”

Berdesir dada Niken Mita Ayu mendengar ucapan Sura Ireng, namun segera saja dihapus segala prasangka terhadapnya. Sebenarnyalah Ayahandanya telah memanggilnya, dan tidak ada seorangpun yang kuasa untuk mencegahnya.

Dengan kepala tunduk, Niken Mita Ayupun kemudian melangkah perlahan berlalu dari hadapan Sura Ireng sambil berdesis, “Aku minta diri, Kakang.”

Terasa leher Sura Ireng bagaikan tersumbat, namun dipaksakannya untuk menjawab walaupun suaranya terdengar parau, “Silahkan, silahkan.”

Jumakir menarik nafas dalam dalam. Sekilas dilihatnya kebimbangan di wajah Sura Ireng, namun seperti yang terdahulu, kesan yang terpahat dihati Jumakir terhadap diri Sura Ireng sudah terlanjur kelam, sekelam wajah Sura Ireng itu sendiri.

“Aku juga minta diri Kakang,” berkata Jumakir kepada Sura Ireng sekedar untuk mencairkan suasana diantara mereka.

“Silahkan Adi Jumakir. Apakah engkau akan mengantarkan  Nimas Mita Ayu sampai ke biliknya, untuk bersolek mempercantik diri agar mendapatkan kesan yang baik bagi kedua tamunya, terutama anak muda yang bernama Untara itu?”

Jumakir mengerutkan keningnya dalam dalam mendengar pertanyaan Sura Ireng yang terdengar tidak mengenal unggah ungguh itu. Namun baru saja mulutnya terbuka untuk menjawab pertanyaan Sura Ireng, terdengar Niken Mita Ayu berkata kepadanya sambil berjalan menuju ke rumah induk padepokan Sekar Keluwih, “Marilah Kakang Jumakir, Ayahanda tentu sudah menungguku terlalu lama. Sudah sewajarnyalah bagiku untuk sekedar berbenah diri sebelum menemani Ayahanda menemui tamunya, agar tidak menimbulkan tanggapan yang kurang baik bagi  tamu kita terhadap penghuni Padepokan Sekar Keluwih ini.”

Terasa panas bagai tersentuh bara wajah Sura Ireng, namun yang dapat dilakukannya hanyalah menggeretakkan giginya sambil memandangi langkah Jumakir dan Niken Mita Ayu berjalan kearah rumah induk melalui pintu seketeng menuju ke serambi samping.

Dalam pada itu, Ki Ajar Sokaniti sedang duduk di pendapa Padepokan di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih berhiaskan garis garis berwarna merah,  sedangkan kedua tamunya, Ki Sadewa dan putra tertuanya Untara duduk menghadap kearahnya. Setelah saling menanyakan keselamatan masing masing, Ki Ajar Sokaniti pun mulai menanyakan keperluan sahabat lamanya itu berkunjung ke Padepokannya.

Sebelum menjawab pertanyaan Ki Ajar Sokaniti, Ki sadewa sejenak berpaling kearah Untara, namun ternyata yang dipandang hanya duduk terpekur diam memandangi anyaman lembut tikar pandan tempat duduknya.

Setelah menarik nafas dalam dalam serta membenahi letak duduknya, Ki Sadewa menjawab, “Sebenarnya kedatangan kami berdua di Padepokan ini sekedar untuk memohon doa restu dari Ki Ajar sehubungan dengan keinginan Untara untuk menyongsong masa depannya sendiri, memasuki kalangan keprajuritan menjadi seorang prajurit wira tamtama.”

Ki Ajar Sokaniti mengangguk anggukan kepalanya, sambil tersenyum ke arah Untara katanya kemudian, “Agaknya bekal yang telah dimiliki oleh angger Untara ini sudah lebih dari cukup. Siapa yang tidak mengenal Ki Sadewa di Kademangan Jati Anom ini. Aku rasa angger Untara tidak akan menemui kesulitan yang berarti dalam menempuh pendadaran nanti  untuk menjadi seorang prajurit wira tamtama.”

“Persoalan yang sebenarnya tidaklah sesederhana itu Ki Ajar. Sepeninggal Sultan Trenggana, mendung yang tebal sedang bergelayut dilangit Demak. Siapakah pengganti Sultan Demak yang sebenarnya belum dapat dipastikan, karena Pangeran Timur yang diangkat untuk menggantikan Ayahandanya ternyata lebih senang menyepi di bukit Prawoto sehingga  tidak akan dapat menjalankan kuwajibannya mengendalikan pemerintahan Demak dengan baik karena Pangeran Timur yang lebih senang disebut sebagai Sunan Prawoto ini lebih tertarik mempelajari hubungan manusia dengan Penciptanya dari pada  tata pemerintahan dengan segala permasalahannya.”

“Ki Sadewa benar, sepeninggal Sultan Trenggana yang berhak atas tahta Demak sebenarnya adalah putra tertua dari Sultan Trenggana itu sendiri, namun perlu pula diperhitungkan bahwa masih ada anak menantu dari Sultan Trenggana yang kini menjadi Adipati di Pajang, Adipati Hadiwijaya yang semasa mudanya disebut Mas Karebet atau Jaka Tingkir.”

“Menurut pendapatku Adipati Pajang tidak akan merebut tahta selama tahta Demak masih dalam jalur trah langsung dari Sultan Trenggana, namun yang perlu diwaspadai adalah justru Adipati Jipang Haryo Penangsang, putra tertua dari  Pangeran Sekar yang kemudian mendapat gelar Pangeran Sekar Seda Lepen. Kematiannya yang tidak wajar di pinggir sungai oleh orang yang menyebut dirinya Ki Suranyata telah menimbulkan dugaan bahwa Ki Suranyata adalah orang suruhan Pangeran Timur yang kini bergelar Sunan Prawata. Sebenarnya Pangeran Sekar adalah putra tertua dari Raden Patah walaupun dari  jalur garwa selir, sedangkan pangeran Sabrang Lor dan Raden Trenggana adalah putra Raden Patah dari jalur permaisuri..”

“Memang dugaan itu sempat berkembang luas di kalangan kawula Demak, menilik Pangeran Timur pada waktu itu adalah putra tertua dari Raden Trenggana yang sedang dalam pertentangan memperebutkan tahta Demak dengan kakandanya sendiri Pangeran Sekar sepeninggal Pangeran Sabrang Lor yang tidak meninggalkan keturunan.”

Sampai disini pembicaraan mereka terhenti sejenak karena terdengar pintu pringgitan berderit terbuka. Seorang gadis yang sedang menjelang dewasa tampak keluar sambil membawa nampan berisi minuman dan beberapa makanan.


Perlahan Niken Mita Ayu berjalan mendekat kearah mereka yang sedang duduk duduk di Pendapa. Sekilas pandangan matanya menyambar wajah anak muda yang sedang duduk di samping Ki Sadewa, namun tampaknya anak muda yang tak lain adalah Untara itu sama sekali tidak mengacuhkannya, pandangan matanya tetap saja terpaku pada anyaman lembut tikar pandan yang didudukinya, seolah dia sedang menghitung berapa banyaknya anyaman yang diperlukan disetiap jengkalnya.

10 komentar :

  1. matur nuwun mBah Man, atas rontalnya.

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah_man....hehe untara isih kinyis kinyis..

    BalasHapus
  3. Matur nuwun sanget mbah man ..... mampir taman bacaan ....membaca rontal yang ada sambil ngopi istirahat sore ...

    BalasHapus
  4. Tetep kanthi sabar tunggu terusanne...

    BalasHapus
  5. Bismillah. Salut, Mbah Man! Meluruskan sejarah! Semoga tetap pada jalur 'seruan jalan hidup keselamatan'. Jangan lupakan peran Waliyul Amri yang sangat sentral dalam mengawal kehidupan bermasyarakat kesultanan Demak! Karena selama ini yang dibahas hanya melulu Ulil Amrinya saja dengan segala intrik dan konflik internalnya. Suwun

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.