Sejenak kemudian, ruang
dalam Kepatihan itu pun kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin di luar
gedung Kepatihan yang bertiup kencang sehingga membuat atap gedung Kepatihan
itu berderak-derak.
“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba
Ki Waskita berkata sambil menghaturkan sembah, “Orang yang mengaku pengikut Trah
Sekar Seda Lepen yang pernah membuat onar di kediaman Ki Gede Menoreh itu juga
mampu mengungkapkan ilmunya melalui pusaran angin bercampur lidah api. Bahkan
ketika orang itu telah menghentakkan ilmunya, yang terpancar dari ilmunya
benar-benar berupa badai api yang siap melumat apapun yang menghalanginya.”
“Ya, aku sudah mendapat
laporan tentang itu,” sahut Ki Patih cepat, “Namun orang yang disebut Eyang
Guru itu ternyata telah melarikan diri begitu
Ki Rangga hadir. Agaknya dia ketakutan begitu melihat cambuk di tangan Ki
Rangga.”
Orang-orang yang hadir di
ruang itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan cepat dia segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih,
yang membuat orang yang disebut Eyang Guru itu melarikan diri adalah suara
derap kaki kuda Ki Gede Menoreh dan rombongannya yang sudah mencapai regol
halaman, bukan hamba. Karena sesungguhnya hamba belum melakukan apa-apa.”
“Engkau benar Ki Rangga,”
jawab Ki Patih sambil tersenyum penuh arti, “Bukankah engkau memang hanya berbaring
saja di tempat tidur ketika pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu membuat
ontran-ontran?”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil
menundukkan kepala, sementara KI Waskita justru telah tertawa. Sedangkan yang
lain hanya dapat mengerutkan kening mereka dalam-dalam karena tidak tahu apa
yang maksud oleh Ki Patih.
“Bukankah Kakang Agung
Sedayu masih sakit pada waktu itu?” pertanyaan itu telah berputar-putar dalam
benak Glagah Putih. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Sedikit banyak dia mulai dapat meraba ilmu yang sedang ditekuni
oleh kakak sepupu muridnya itu.
“Nah, sekarang aku akan memberikan tugas
kepada kalian,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebenarnya Ki Rangga dan Glagah
Putih saja yang mendapat tugas ini langsung dari Adi Prabu Panembahan
Hanyakrawati.”
Tanpa sadar kelima orang
yang menghadap Ki Patih itu telah mengangkat kepala mereka dengan jantung yang
berdebaran.
“Namun atas saran Pangeran
Pati, dan juga pertimbanganku sendiri, Ki Bango Lamatan juga aku libatkan dalam
tugas ini.” Ki Patih melanjutkan penjelasannya.
Bagaikan disengat ribuan
kalajengking, Ki Rangga dan kawan-kawannya terlonjak kaget,
terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Nama Bango Lamatan tentu saja tidak asing di
telinga Ki Rangga karena memang mereka berdua pernah bertemu. Sedangkan yang
lainnya mengenal nama itu sebagai
pengikut setia Panembahan Cahya Warastra.
Serentak keempat orang itu
berpaling ke belakang, kearah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan
jambang dan kumis yang hampir menutupi separuh wajahnya.
Sejenak Ki Rangga
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bango Lamatan yang dulu tidak memelihara
kumis dan jambang, namun agaknya sekarang dia lebih senang memeliharanya
sehingga orang yang pernah mengenalnya akan kesulitan untuk mengenalinya
kembali.
Memang pada saat mereka
berempat memasuki ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, di dalam
ruangan itu telah hadir seseorang yang hampir seluruh wajahnya tertutup kumis
dan jambang yang lebat. Orang itu selalu menundukkan wajahnya sehingga wajahnya
sulit untuk dikenali.
Sementara Ki Bango Lamatan
yang duduk di belakang sendiri ketika namanya disebut, hanya menundukkan
kepalanya dalam-dalam sambil menyembah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Agaknya Ki Patih dapat
membaca wajah-wajah yang penuh tanda tanya itu. Maka katanya kemudian, “Ki
Bango Lamatan telah menyediakan dirinya untuk membela tetap tegak dan berkibarya
panji-panji Mataram di seluruh pelosok negeri ini,” Ki Patih berhenti sebentar.
Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Patih bertanya,
“Bukankah begitu, Ki Bango Lamatan?”
Dengan penuh rasa takdim, Ki
Bango Lamatan pun menyembah sambil berdesis perlahan, “Sendika Ki Patih,”
Hampir bersamaan, Ki Rangga
dan kawan-kawannya pun telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sesuatu telah
terjadi pada diri orang kedua di perguruan Cahya Warastra itu setelah pasukan
Panembahan Cahya Warastra dihancurkan oleh pasukan Mataram.
“Nah, tugas kalian adalah memutus
hubungan perguruan Sapta Dhahana dengan
orang yang mengaku sebagai trah Sekar Seda Lepen itu sebelum semuanya berkembang
menjadi besar,” berkata Ki Patih kemudian yang membuat jantung kelima orang itu
tergetar. “Namun kalian tidak diijinkan membawa pasukan segelar sepapan untuk
menghancurkan perguruan itu. Carilah upadaya agar kalian mendapatkan ikannya
tanpa harus membuat keruh air di sekelilingnya.”
Jantung kelima orang itu
menjadi semakin berdebaran. Agaknya Ki Patih menghendaki cara lain dalam
melumpuhkan perguruan Sapta Dhahana dan itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.
“Karena beratnya tugas ini,
aku juga mohon kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk menemani Ki Rangga,”
berkata Ki Patih selanjutnya sambil tersenyum dan memandang ke arah kedua orang tua itu,
“Atas nama Mataram aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya. Sungguh, aku pun secara pribadi rasa-rasanya ingin bergabung
dan mengulang kembali masa-masa muda, menjelajahi hutan dan ngarai. Menuruni
lembah dan bukit, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah tersentuh oleh
tangan manusia.”
Ki Waskita dan Ki Jayaraga
sejenak saling pandang. Ki Waskita lah yang kemudian menghaturkan sembah sambil
berkata, “Ampun Ki Patih, kami yang tua-tua ini sesungguhnya merasa takut jika
keberadaan kami nantinya hanya menjadi beban. Namun sesungguhnya kami pun juga
merasa sangat kesepian jika hanya duduk-duduk saja di beranda menunggu waktu
berlalu, karena memang kami tidak mempunyai pekerjaan yang dapat mengikat kami.
Sehingga jika tenaga kami yang sudah rapuh ini memang masih
dibutuhkan, kami siap untuk membantu Ki
Rangga.”
“Ah,” Ki Patih tertawa
pendek, “Tenaga Kalian berdua memang terlihat rapuh sebagaimana orang tua
kebanyakan. Namun aku yakin, Ki Waskita masih mampu membakar hutan dengan
tatapan matanya, sedangkan Ki Jayaraga masih mampu meledakkan bukit hanya dengan ujung jarinya.”
Semua yang hadir di ruangan
itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih. Dengan cepat Ki Jayaraga beringsut ke
depan sambil menyembah. Katanya kemudian, “Ampun Ki Patih sebenarnya hamba
sudah dihinggapi penyakit tua, tidak bisa menunjuk ke sasaran dengan tepat
karena tangan hamba selalu gemetar. Hamba takut jika harus meledakkan bukit
kecil di sebelah istana Kepatihan ini, justru istana ini yang akan hancur.”
“Ah,” kini semua yang hadir
di ruang dalam Kepatihan itu tertawa.
“Nah,” berkata Ki Patih
kemudian setelah tawa mereka mereda, “Mataram tidak mungkin menyerang padepokan
Sapta Dhahana secara terbuka sebelum ada bukti keterlibatan mereka dalam usaha
makar yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen.
Untuk itulah aku telah mempertimbangkan masak-masak dengan memilih cara ini. Semoga
Yang Maha Agung selalu meridhoi setiap langkah kita untuk menuju perdamaian di
seluruh penjuru negeri Mataram.”
Hampir bersamaan kelima
orang itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah tugas yang memerlukan
kesabaran dan ketabahan. Selain tidak boleh menggunakan kekuatan prajurit, tidak
menutup kemungkinan di padepokan Sapta Dhahana nantinya mereka akan menghadapi
kekuatan yang jauh diluar dugaan mereka .
“Persoalan yang sedang
berkembang di gunung Tidar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun jauhkan
kesan keterlibatan Mataram dalam peristiwa ini sebelum ada bukti yang nyata
tentang usaha mereka untuk menggulingkan Mataram.” Titah Ki Patih kemudian.
Matur nuwun mbah. Keseruan dimulai
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas Wedaran pagi'' diakhir tahun.
BalasHapusMakasih mbah man,
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man Petualangan Ki RAS telah dimulai
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man Petualangan Ki RAS telah dimulai
BalasHapusMatur nuwun wdaranipun
BalasHapusHadir dan terkesima, matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !
BalasHapusHadir siang ternyata ada wedaran. Matur nuwun mbah.
BalasHapusMantap .... Makasih Mbah Man,
BalasHapusDan ... Selamat tahun baru untuk semua kerabat yang senantiasa aktif disinih... Semoga di tahun depan kesuksesan akan selalu menghiasi langkah kita semua. Amiin ....
Matur nuwun Mbah_man.... Mantep tenan... Monggo ditambah Malih Mbah...😂😂
BalasHapusMatur nuwun mbah man .... baru bisa mampir taman bacaan ternyata sudah ada wedaran 2 rontal ..... liburan baca rontal sambil makan jadah goreng .....
BalasHapusMatur Nuwun Mbah Man
BalasHapus