Sabtu, 31 Desember 2016

STSD 01_03

Sejenak kemudian, ruang dalam Kepatihan itu pun kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin di luar gedung Kepatihan yang bertiup kencang sehingga membuat atap gedung Kepatihan itu berderak-derak.

“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Waskita berkata sambil menghaturkan sembah, “Orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang pernah membuat onar di kediaman Ki Gede Menoreh itu juga mampu mengungkapkan ilmunya melalui pusaran angin bercampur lidah api. Bahkan ketika orang itu telah menghentakkan ilmunya, yang terpancar dari ilmunya benar-benar berupa badai api yang siap melumat apapun yang menghalanginya.”

“Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,” sahut Ki Patih cepat, “Namun orang yang disebut Eyang Guru itu ternyata  telah melarikan diri begitu Ki Rangga hadir. Agaknya dia ketakutan begitu melihat cambuk di tangan Ki Rangga.”

Orang-orang yang hadir di ruang itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan cepat dia segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, yang membuat orang yang disebut Eyang Guru itu melarikan diri adalah suara derap kaki kuda Ki Gede Menoreh dan rombongannya yang sudah mencapai regol halaman, bukan hamba. Karena sesungguhnya hamba belum melakukan apa-apa.”

“Engkau benar Ki Rangga,” jawab Ki Patih sambil tersenyum penuh arti, “Bukankah engkau memang hanya berbaring saja di tempat tidur ketika pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu membuat ontran-ontran?”

“Ah,” desah Ki Rangga sambil menundukkan kepala, sementara KI Waskita justru telah tertawa. Sedangkan yang lain hanya dapat mengerutkan kening mereka dalam-dalam karena tidak tahu apa yang maksud oleh Ki Patih.

“Bukankah Kakang Agung Sedayu masih sakit pada waktu itu?” pertanyaan itu telah berputar-putar dalam benak Glagah Putih. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sedikit banyak dia mulai dapat meraba ilmu yang sedang ditekuni oleh kakak sepupu muridnya itu.

 “Nah, sekarang aku akan memberikan tugas kepada kalian,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebenarnya Ki Rangga dan Glagah Putih saja yang mendapat tugas ini langsung dari Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati.”

Tanpa sadar kelima orang yang menghadap Ki Patih itu telah mengangkat kepala mereka dengan jantung yang berdebaran.

“Namun atas saran Pangeran Pati, dan juga pertimbanganku sendiri, Ki Bango Lamatan juga aku libatkan dalam tugas ini.” Ki Patih melanjutkan penjelasannya.

Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Ki Rangga dan kawan-kawannya terlonjak kaget, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Nama Bango Lamatan tentu saja tidak asing di telinga Ki Rangga karena memang mereka berdua pernah bertemu. Sedangkan yang lainnya  mengenal nama itu sebagai pengikut setia Panembahan Cahya Warastra.

Serentak keempat orang itu berpaling ke belakang, kearah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis yang hampir menutupi separuh wajahnya. 

Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bango Lamatan yang dulu tidak memelihara kumis dan jambang, namun agaknya sekarang dia lebih senang memeliharanya sehingga orang yang pernah mengenalnya akan kesulitan untuk mengenalinya kembali.

Memang pada saat mereka berempat memasuki ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, di dalam ruangan itu telah hadir seseorang yang hampir seluruh wajahnya tertutup kumis dan jambang yang lebat. Orang itu selalu menundukkan wajahnya sehingga wajahnya sulit untuk dikenali.

Sementara Ki Bango Lamatan yang duduk di belakang sendiri ketika namanya disebut, hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Agaknya Ki Patih dapat membaca wajah-wajah yang penuh tanda tanya itu. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan telah menyediakan dirinya untuk membela tetap tegak dan berkibarya panji-panji Mataram di seluruh pelosok negeri ini,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Patih bertanya, “Bukankah begitu, Ki Bango Lamatan?”

Dengan penuh rasa takdim, Ki Bango Lamatan pun menyembah sambil berdesis perlahan, “Sendika Ki Patih,”

Hampir bersamaan, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sesuatu telah terjadi pada diri orang kedua di perguruan Cahya Warastra itu setelah pasukan Panembahan Cahya Warastra dihancurkan oleh pasukan Mataram.

“Nah, tugas kalian adalah memutus hubungan  perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang mengaku sebagai trah Sekar Seda Lepen itu sebelum semuanya berkembang menjadi besar,” berkata Ki Patih kemudian yang membuat jantung kelima orang itu tergetar.  “Namun kalian tidak diijinkan  membawa pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan perguruan itu. Carilah upadaya agar kalian mendapatkan ikannya tanpa harus membuat keruh air di sekelilingnya.”

Jantung kelima orang itu menjadi semakin berdebaran. Agaknya Ki Patih menghendaki cara lain dalam melumpuhkan perguruan Sapta Dhahana dan itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.

“Karena beratnya tugas ini, aku juga mohon kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk menemani Ki Rangga,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil tersenyum  dan memandang ke arah kedua orang tua itu, “Atas nama Mataram aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Sungguh, aku pun secara pribadi rasa-rasanya ingin bergabung dan mengulang kembali masa-masa muda, menjelajahi hutan dan ngarai. Menuruni lembah dan bukit, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah tersentuh oleh tangan manusia.”

Ki Waskita dan Ki Jayaraga sejenak saling pandang. Ki Waskita lah yang kemudian menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, kami yang tua-tua ini sesungguhnya merasa takut jika keberadaan kami nantinya hanya menjadi beban. Namun sesungguhnya kami pun juga merasa sangat kesepian jika hanya duduk-duduk saja di beranda menunggu waktu berlalu, karena memang kami tidak mempunyai pekerjaan yang dapat mengikat kami. Sehingga  jika  tenaga kami yang sudah rapuh ini memang masih dibutuhkan,  kami siap untuk membantu Ki Rangga.”

“Ah,” Ki Patih tertawa pendek, “Tenaga Kalian berdua memang terlihat rapuh sebagaimana orang tua kebanyakan. Namun aku yakin, Ki Waskita masih mampu membakar hutan dengan tatapan matanya, sedangkan Ki Jayaraga masih mampu meledakkan bukit  hanya dengan ujung jarinya.”

Semua yang hadir di ruangan itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih. Dengan cepat Ki Jayaraga beringsut ke depan sambil menyembah. Katanya kemudian, “Ampun Ki Patih sebenarnya hamba sudah dihinggapi penyakit tua, tidak bisa menunjuk ke sasaran dengan tepat karena tangan hamba selalu gemetar. Hamba takut jika harus meledakkan bukit kecil di sebelah istana Kepatihan ini, justru istana ini yang akan hancur.”

“Ah,” kini semua yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu tertawa.

“Nah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Mataram tidak mungkin menyerang padepokan Sapta Dhahana secara terbuka sebelum ada bukti keterlibatan mereka dalam usaha makar yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen. Untuk itulah aku telah mempertimbangkan masak-masak dengan memilih cara ini. Semoga Yang Maha Agung selalu meridhoi setiap langkah kita untuk menuju perdamaian di seluruh penjuru negeri Mataram.”

Hampir bersamaan kelima orang itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah tugas yang memerlukan kesabaran dan ketabahan. Selain tidak boleh menggunakan kekuatan prajurit, tidak menutup kemungkinan di padepokan Sapta Dhahana nantinya mereka akan menghadapi kekuatan yang jauh diluar  dugaan mereka .


“Persoalan yang sedang berkembang di gunung Tidar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun jauhkan kesan keterlibatan Mataram dalam peristiwa ini sebelum ada bukti yang nyata tentang usaha mereka untuk menggulingkan Mataram.” Titah Ki Patih kemudian.

12 komentar :

  1. Matur nuwun mbah. Keseruan dimulai

    BalasHapus
  2. Matur-nuwun mBah-Man, atas Wedaran pagi'' diakhir tahun.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah Man Petualangan Ki RAS telah dimulai

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man Petualangan Ki RAS telah dimulai

    BalasHapus
  5. Hadir dan terkesima, matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  6. Hadir siang ternyata ada wedaran. Matur nuwun mbah.

    BalasHapus
  7. Mantap .... Makasih Mbah Man,
    Dan ... Selamat tahun baru untuk semua kerabat yang senantiasa aktif disinih... Semoga di tahun depan kesuksesan akan selalu menghiasi langkah kita semua. Amiin ....

    BalasHapus
  8. Matur nuwun Mbah_man.... Mantep tenan... Monggo ditambah Malih Mbah...😂😂

    BalasHapus
  9. Matur nuwun mbah man .... baru bisa mampir taman bacaan ternyata sudah ada wedaran 2 rontal ..... liburan baca rontal sambil makan jadah goreng .....

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.