Namun demikian dia tidak mau
menunjukan perasaannya itu dihadapan para cantrik, terutama Sura Ireng, murid
tertua dari Ki Ajar Sokaniti. Sejak masa kanak-kanak ditinggalkannya dan kini perlahan lahan dia
tumbuh menjadi seorang gadis remaja, sikap Sura Ireng dirasakannya semakin hari
semakin aneh, ada saja alasannya untuk menemui dirinya walaupun sekedar
berbicara yang tidak ada ujung pangkalnya. Namun sikap Sura Ireng yang semakin
hari dirasakannya semakin aneh itu telah menimbulkan kesan yang kurang senang
dihatinya.
Dengan perlahan Ki Ajar
mendekati tubuh yang terbujur diam beberapa langkah dibelakang Sura Ireng,
sedangkan Niken Mita Ayupun dengan
berlari lari kecil segera saja mengikuti di belakangnya.
Sura Ireng bergeser
ke samping selangkah ketika Ki Ajar dan putrinya lewat di sebelahnya. Ketika dia
tanpa disadarinya memandang ke wajah Niken Mita Ayu yang lewat hanya beberapa
jengkal di hadapannya, terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Ternyata Niken
Mita Ayu yang juga sedang memandang ke arahnya itu telah menjulurkan lidahnya.
Sura Ireng menarik nafas
dalam dalam. Dia sudah menduga bahwa pada akhirnya Niken Mita Ayu pasti akan
membela gelandangan yang bernama Soka Wana itu. Walaupun pembelaan itu tidak
bisa diartikan dalam bentuk sebuah ketertarikan seorang perempuan terhadap laki
laki, namun keberadaan Soka wana yang
mampu mencuri perhatian Niken Mita Ayu telah menimbulkan persoalan tersendiri
dalam hati Sura Ireng.
Adalah diluar dugaan, ketika
tiba tiba saja sesampainya di samping
tubuh Soka Wana yang terbaring diam itu, Ki Ajar menjulurkan tongkatnya kearah
dada Soka Wana. Begitu ujung tongkat Ki Ajar menyentuh dada Soka Wana , tampak
kerut merut di dahi Ki Ajarpun semakin dalam.
Sambil tetap melekatkan
ujung tongkatnya di dada Soka Wana, Ki Ajar berdesis pelan, “Sura Ireng, mengapa
engkau begitu tega melepaskan Aji Sardula Krida kepada anak muda ini? Untunglah
aji itu masih sangat dasar yang kau kuasai, seandainya sebagian kecil saja
engkau sudah bisa menguasainya, mungkin jiwa anak muda ini tidak akan
tertolong.”
Mendengar perkataan gurunya
itu, Sura Ireng menundukan kepalanya dalam dalam. Namun dalam hatinya tidak ada
sepercik penyesalanpun atas kejadian itu. Bahkan dia mengharapkan gelandangan
itu mati saja, toh tidak akan ada yang
merasa kehilangan, tidak ada keluarga yang akan menuntut atas kejadian itu
karena tidak ada seorangpun yang tahu siapakah sebenarnya Soka Wana itu dan
dari manakah asalnya.
“Jumakir,” tanpa memalingkan
wajahnya Ki Ajar berkata kepada Jumakir, “Angkatlah anak muda ini dan baringkan
di pendapa, aku akan mencoba menyadarkannya.”
Demikianlah akhirnya, atas
permintaan Niken Mita Ayu, Soka Wanapun menjadi bagian dari Padepokan Sekar
Keluwih. Hari hari dilalui dengan penuh ketegangan bagi Soka Wana. Baginya
lebih baik menyusuri jalan jalan setapak dan lereng lereng bukit berbatu terjal
dengan rasa lapar dan dahaga dari pada setiap hari harus melihat tatapan mata
penuh dendam dan kebencian dari Sura Ireng.
Sampai disini lamunan Niken
Mita Ayu Puspaningratri terhenti ketika dia mendengar Sura Ireng menggeram
sambil berkata, “Apakah gembel busuk yang bernama Soka Wana itu masih saja
menghantui hari harimu? Sedangkan dia sendiri sudah tidak mempedulikanmu lagi.”
“Engkau salah Kakang Sura
Ireng, “ sahut Niken Mita Ayu, “Dia sangat memperhatikanku, dia mempelakukan
aku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak ada seorangpun yang begitu
perhatian dan tulus kepadaku di Padepokan ini selain Kakang Soka Wana dan
Ayahanda.”
“Tetapi buktinya dia telah
meninggalkanmu. Bahkan dia pergi dari Padepokan ini setahun yang lalu seperti
laku seorang pencuri, tidak ada seorang cantrikpun yang tahu kapan dan kemana
dia pergi.”
“Sekali lagi engkau salah
Kakang, dia pergi atas restu dari Ayahanda.
Ayahanda sengaja tidak
memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi kepada para cantrik agar tidak
menambah luka di hatiku.”
“Persetan dengan segala
omong kosongmu itu,” geram Sura Ireng, kemudian katanya, “Kenyataan yang ada
sekarang ini adalah antara engkau dan aku, tidak ada seorangpun yang mampu
menghalangi keinginan Sura Ireng, kalau aku berkeinginan, maka semua itu harus
berlaku.”
Merah padam seketika wajah
Niken Mita Ayu Puspaningratri. Sepasang matanya yang biasanya bersinar lembut
penuh dengan kasih sayang, kini tampak bagaikan sepercik bara yang siap menjadi kobaran api yang dapat menghanguskan apa saja yang ada di depannya. Dengan gerak
lembut dan perlahan, dia berdiri sambil memandang tajam kearah sepasang
mata Sura Ireng.
“Kakang Sura, “ perlahan dan
mantap terdengar nada suara Niken Mita Ayu, “Sudahkah engkau pikirkan masak
masak segala ucapanmu itu? Tidakkah pernah terpikirkan oleh Kakang untuk
sedikit menghargai kebebasanku untuk memilih sesuai dengan hati nuraniku? Cinta
yang tulus itu tidak harus memiliki, namun ikut merasakan kebahagiaan ketika melihat orang yang dicintainya mendapatkan
kebahagiaan tanpa harus mengorbankan kata hati nuraninya .”
Sejenak Sura Ireng terpekur
diam. Wajahnya tidak lagi merah membara namun kini berubah menjadi pucat pasi.
Tidak ada keberanian semenirpun baginya untuk menentang pandang sepasang mata
indah Niken Mita Ayu yang kini tampak bagaikan bara api yang sedang
membara.
Pohon jambu air yang tumbuh
di tepi kolam dihalaman samping Padepokan dimana mereka sedang berbincang
tampak bergoyang perlahan diterpa angin. Beberapa bunganya jatuh berguguran
bagaikan helai helai benang sutra yang terlepas ikatannya dari selendang
seorang putri kedaton.
“Kakang,” terdengar kembali
suara Niken Mita Ayu memecah kebisuan, “Aku mohon jangan nodai hubungan
kekeluargaan kita ini dengan keinginan Kakang untuk memaksakan kehendak yang
tidak sewajarnya. Seiring dengan beredarnya waktu, biarlah hubungan diantara
kita ini berlaku sewajarnya kembali, sehingga akan kembali terwujud kebahagiaan
bagi seluruh keluarga Padepokan Sekar Keluwih ini.”
Sura Ireng masih saja
berdiri termangu mangu. Pandangan matanya masih saja jatuh ke tanah. Ketika
tanpa disadarinya Sura Ireng menengadahkan wajahnya untuk mencoba menjawab
perkataan Niken Mita Ayu, tiba tiba sekilas dilihatnya seorang cantrik yang
sudah sangat dikenalnya dengan tergesa gesa berjalan kearah mereka berada.
Seorang cantrik yang baginya selalu menghalangi niatnya untuk memiliki Niken
Mita Ayu, Jumakir.
“Maafkan aku kakang Sura,”
berkata Jumakir sambil mengangguk hormat setibanya di hadapan keduanya, “Aku
diutus Ki Ajar untuk menjemput Nimas Niken Mita Ayu ini untuk menemani beliau
menemui tamunya, seorang sahabat lama beserta putranya.”
“Tamu?” desis Sura Ireng,
“Siapakah mereka?”
“Ki Sadewa beserta putra
tertuanya, anakmas Untara dari Jati Anom.”
Sura Ireng menarik nafas
dalam dalam, sekilas dipandanginya wajah Niken Mita Ayu namun yang sedang
dipandanginya ternyata tidak sedang memperhatikannya, bahkan wajah itu sedang
tertunduk dalam dalam.
Sebersit keragu raguan
kembali tumbuh di hatinya. Untara adalah anak muda dari Kademangan Jati Anom
yang sedang tumbuh menjelang dewasa. Ketampanannya telah menjadi buah bibir
gadis gadis di sekitar padukuhan induk Kademangan Jati Anom.
matur nuwun mbah Man atas rontalnya pagi ini.
BalasHapus...Terimakasih Mbah_Man ...tapi jangan jangan Ki Lurah Adiwa menjadi resah...dan konsentrasinya terganggu dalam menghadapi Dadap Ireng...mohon petunjuknya Mbah...
BalasHapusSalam.
Matur nuwun mbah.
BalasHapusAnak mas Agung Sedayu kok nggak diajak
AS masih di bawah ketiak ibue.....he...he....
BalasHapusWuiihh... Asyik. Ceritanya nyambung juga ke ADBM, meski dari sudut yg lain. Mbah Man memang joss...
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man
Wahhhh baru mulai baca cerita BDBJ .... langsung kepincut ... permulaan cerita di era sebelum ADBM, Ki Untara masih menjelang dewasa .. masih ada Ki Sadewa ...
BalasHapusLuar biasaaaa .... MBah Man memang luar biasa ...
Matur nuwun Mbah Man ...