Kamis, 08 Desember 2016

BDBJ 01 bag 04

Namun demikian dia tidak mau menunjukan perasaannya itu dihadapan para cantrik, terutama Sura Ireng, murid tertua dari Ki Ajar Sokaniti. Sejak masa kanak-kanak  ditinggalkannya dan kini perlahan lahan dia tumbuh menjadi seorang gadis remaja, sikap Sura Ireng dirasakannya semakin hari semakin aneh, ada saja alasannya untuk menemui dirinya walaupun sekedar berbicara yang tidak ada ujung pangkalnya. Namun sikap Sura Ireng yang semakin hari dirasakannya semakin aneh itu telah menimbulkan kesan yang kurang senang dihatinya.

Dengan perlahan Ki Ajar mendekati tubuh yang terbujur diam beberapa langkah dibelakang Sura Ireng, sedangkan  Niken Mita Ayupun dengan berlari lari kecil segera saja mengikuti di belakangnya.

Sura Ireng bergeser ke samping selangkah ketika Ki Ajar dan putrinya lewat di sebelahnya. Ketika dia tanpa disadarinya memandang ke wajah Niken Mita Ayu yang lewat hanya beberapa jengkal di hadapannya, terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Ternyata Niken Mita Ayu yang juga sedang memandang ke arahnya itu telah menjulurkan lidahnya.

Sura Ireng menarik nafas dalam dalam. Dia sudah menduga bahwa pada akhirnya Niken Mita Ayu pasti akan membela gelandangan yang bernama Soka Wana itu. Walaupun pembelaan itu tidak bisa diartikan dalam bentuk sebuah ketertarikan seorang perempuan terhadap laki  laki, namun keberadaan Soka wana yang mampu mencuri perhatian Niken Mita Ayu telah menimbulkan persoalan tersendiri dalam hati Sura Ireng.

Adalah diluar dugaan, ketika tiba tiba saja sesampainya  di samping tubuh Soka Wana yang terbaring diam itu, Ki Ajar menjulurkan tongkatnya kearah dada Soka Wana. Begitu ujung tongkat Ki Ajar menyentuh dada Soka Wana , tampak kerut merut di dahi Ki Ajarpun semakin dalam.

Sambil tetap melekatkan ujung tongkatnya di dada Soka Wana, Ki Ajar berdesis pelan, “Sura Ireng, mengapa engkau begitu tega melepaskan Aji Sardula Krida kepada anak muda ini? Untunglah aji itu masih sangat dasar yang kau kuasai, seandainya sebagian kecil saja engkau sudah bisa menguasainya, mungkin jiwa anak muda ini tidak akan tertolong.”

Mendengar perkataan gurunya itu, Sura Ireng menundukan kepalanya dalam dalam. Namun dalam hatinya tidak ada sepercik penyesalanpun atas kejadian itu. Bahkan dia mengharapkan gelandangan itu mati saja, toh tidak akan  ada yang merasa kehilangan, tidak ada keluarga yang akan menuntut atas kejadian itu karena tidak ada seorangpun yang tahu siapakah sebenarnya Soka Wana itu dan dari manakah asalnya.

“Jumakir,” tanpa memalingkan wajahnya Ki Ajar berkata kepada Jumakir, “Angkatlah anak muda ini dan baringkan di pendapa, aku akan mencoba menyadarkannya.”

Demikianlah akhirnya, atas permintaan Niken Mita Ayu, Soka Wanapun menjadi bagian dari Padepokan Sekar Keluwih. Hari hari dilalui dengan penuh ketegangan bagi Soka Wana. Baginya lebih baik menyusuri jalan jalan setapak dan lereng lereng bukit berbatu terjal dengan rasa lapar dan dahaga dari pada setiap hari harus melihat tatapan mata penuh dendam dan kebencian dari Sura Ireng.

Sampai disini lamunan Niken Mita Ayu Puspaningratri terhenti ketika dia mendengar Sura Ireng menggeram sambil berkata, “Apakah gembel busuk yang bernama Soka Wana itu masih saja menghantui hari harimu? Sedangkan dia sendiri sudah tidak mempedulikanmu lagi.”

“Engkau salah Kakang Sura Ireng, “ sahut Niken Mita Ayu, “Dia sangat memperhatikanku, dia mempelakukan aku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak ada seorangpun yang begitu perhatian dan tulus kepadaku di Padepokan ini selain Kakang Soka Wana dan Ayahanda.”

“Tetapi buktinya dia telah meninggalkanmu. Bahkan dia pergi dari Padepokan ini setahun yang lalu seperti laku seorang pencuri, tidak ada seorang cantrikpun yang tahu kapan dan kemana dia pergi.”

“Sekali lagi engkau salah Kakang, dia pergi atas restu dari Ayahanda.  Ayahanda  sengaja tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi kepada para cantrik agar tidak menambah luka di hatiku.”

“Persetan dengan segala omong kosongmu itu,” geram Sura Ireng, kemudian katanya, “Kenyataan yang ada sekarang ini adalah antara engkau dan aku, tidak ada seorangpun yang mampu menghalangi keinginan Sura Ireng, kalau aku berkeinginan, maka semua itu harus berlaku.”

Merah padam seketika wajah Niken Mita Ayu Puspaningratri. Sepasang matanya yang biasanya bersinar lembut penuh dengan kasih sayang, kini tampak bagaikan sepercik  bara yang siap menjadi  kobaran api yang dapat menghanguskan  apa saja yang ada di depannya. Dengan gerak lembut dan perlahan, dia berdiri sambil memandang tajam kearah sepasang mata  Sura Ireng.

“Kakang Sura, “ perlahan dan mantap terdengar nada suara Niken Mita Ayu, “Sudahkah engkau pikirkan masak masak segala ucapanmu itu? Tidakkah pernah terpikirkan oleh Kakang untuk sedikit menghargai kebebasanku untuk memilih sesuai dengan hati nuraniku? Cinta yang tulus itu tidak harus memiliki, namun ikut merasakan kebahagiaan ketika  melihat orang yang dicintainya mendapatkan kebahagiaan tanpa harus mengorbankan kata hati nuraninya .”

Sejenak Sura Ireng terpekur diam. Wajahnya tidak lagi merah membara namun kini berubah menjadi pucat pasi. Tidak ada keberanian semenirpun baginya untuk menentang pandang sepasang mata indah Niken Mita Ayu yang kini tampak bagaikan bara api yang sedang membara. 

Pohon jambu air yang tumbuh di tepi kolam dihalaman samping Padepokan dimana mereka sedang berbincang tampak bergoyang perlahan diterpa angin. Beberapa bunganya jatuh berguguran bagaikan helai helai benang sutra yang terlepas ikatannya dari selendang seorang putri kedaton.

“Kakang,” terdengar kembali suara Niken Mita Ayu memecah kebisuan, “Aku mohon jangan nodai hubungan kekeluargaan kita ini dengan keinginan Kakang untuk memaksakan kehendak yang tidak sewajarnya. Seiring dengan beredarnya waktu, biarlah hubungan diantara kita ini berlaku sewajarnya kembali, sehingga akan kembali terwujud kebahagiaan bagi seluruh keluarga Padepokan Sekar Keluwih ini.”

Sura Ireng masih saja berdiri termangu mangu. Pandangan matanya masih saja jatuh ke tanah. Ketika tanpa disadarinya Sura Ireng menengadahkan wajahnya untuk mencoba menjawab perkataan Niken Mita Ayu, tiba tiba sekilas dilihatnya seorang cantrik yang sudah sangat dikenalnya dengan tergesa gesa berjalan kearah mereka berada. Seorang cantrik yang baginya selalu menghalangi niatnya untuk memiliki Niken Mita Ayu, Jumakir.

“Maafkan aku kakang Sura,” berkata Jumakir sambil mengangguk hormat setibanya di hadapan keduanya, “Aku diutus Ki Ajar untuk menjemput Nimas Niken Mita Ayu ini untuk menemani beliau menemui tamunya, seorang sahabat lama beserta putranya.”

“Tamu?” desis Sura Ireng, “Siapakah mereka?”

“Ki Sadewa beserta putra tertuanya, anakmas Untara dari Jati Anom.”

Sura Ireng menarik nafas dalam dalam, sekilas dipandanginya wajah Niken Mita Ayu namun yang sedang dipandanginya ternyata tidak sedang memperhatikannya, bahkan wajah itu sedang tertunduk dalam dalam.


Sebersit keragu raguan kembali tumbuh di hatinya. Untara adalah anak muda dari Kademangan Jati Anom yang sedang tumbuh menjelang dewasa. Ketampanannya telah menjadi buah bibir gadis gadis di sekitar padukuhan induk Kademangan Jati Anom.

6 komentar :

  1. matur nuwun mbah Man atas rontalnya pagi ini.

    BalasHapus
  2. ...Terimakasih Mbah_Man ...tapi jangan jangan Ki Lurah Adiwa menjadi resah...dan konsentrasinya terganggu dalam menghadapi Dadap Ireng...mohon petunjuknya Mbah...

    Salam.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun mbah.
    Anak mas Agung Sedayu kok nggak diajak

    BalasHapus
  4. AS masih di bawah ketiak ibue.....he...he....

    BalasHapus
  5. Wuiihh... Asyik. Ceritanya nyambung juga ke ADBM, meski dari sudut yg lain. Mbah Man memang joss...
    Matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus
  6. Wahhhh baru mulai baca cerita BDBJ .... langsung kepincut ... permulaan cerita di era sebelum ADBM, Ki Untara masih menjelang dewasa .. masih ada Ki Sadewa ...

    Luar biasaaaa .... MBah Man memang luar biasa ...

    Matur nuwun Mbah Man ...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.