Senin, 12 Desember 2016

TADBM 416_16

Ketika Ki Widura kemudian membuka matanya dan menoleh ke arah orang yang sedang berjongkok di sebelah kanannya, adalah kebetulan bahwa orang itu sedang membelakangi sinar bulan tua yang temaram. Hanya tampak bayangan hitam tanpa raut wajah yang dapat dikenali.

Dengan mengerjap-kerjapkan kelopak matanya agar pandangan matanya lebih jelas, Ki Widura pun mengulangi pertanyaannya, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”

“Sudahlah Ki Widura, siapapun aku itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Ki Widura.”

Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja telapak tangan kanan orang itu menyentuh dada Ayah Glagah Putih itu. Sejenak kemudian, terasa aliran hawa yang hangat di dadanya  dan selanjutnya mengalir ke sekujur tubuh  yang bersamaan dengan datangnya perasaan kantuk yang luar biasa. Tanpa kuasa melawan, Ki Widura pun akhirnya jatuh tertidur.

Dalam pada itu  anak muda yang bersenjatakan sepasang trisula itu ternyata berjiwa  kerdil. Betapapun tinggi ilmunya, namun kekerdilan jiwanya yang percaya terhadap segala macam hantu, siluman, gendruwo, tetekan dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan kekuatan ghoib, telah memburamkan penalarannya. Dalam pandangannya, Anjani tak ubahnya seorang peri jelmaan siluman macan putih yang datang untuk menghukumnya.

Ketika dengan langkah gemulai Anjani kemudian berjalan mendekat, tercium bau harum semerbak mewangi. Bau wangi itu rasa-rasanya diluar batas kewajaran, sehingga membuat anak muda itu pun menjadi semakin ketakutan.

Ketika rasa takut itu sudah tak tertahankan lagi, tiba-tiba saja anak muda itu telah membalikkan tubuhnya dan kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan medan pertempuran lemah cengkar.

Sedangkan Anjani yang telah ditinggalkan oleh lawannya begitu saja menjadi geli sendiri. Sejenak dia masih berdiri mematung sambil mengawasi medan pertempuran di sekelilingnya. Ketika pandangan matanya sekilas melihat pertempuran antara Ki Lurah Adiwaswa melawan Kyai Dadap Ireng, tanpa sadar kakinya pun segera terayun untuk melangkah mendekat.

Dalam pada itu pertempuran memang telah mencapai puncaknya. Korban di kedua belah pihak telah berjatuhan. Dengan kedatangan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, di sisi selatan medan pertempuran para pengikut Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang tak tertahankan. Sedangkan para prajurit yang telah terlepas dari lawan-lawan mereka karena bantuan kedua perempuan itu segera membantu prajurit-prajurit yang berada di sisi utara. Dengan demikian keadaan menjadi berbalik. Giliran pasukan Pangeran Ranapati lah yang sekarang  mengalami tekanan yang dahsyat.

Perubahan medan pertempuran itu ternyata tidak luput dari pengamatan  Pangeran Ranapati.

“Siapa perempuan-perempuan gila itu, he?!” teriak Pangeran Ranapati sambil menghentakkan serangannya. Sekilas pandangan matanya melihat tekanan yang dahsyat di sisi selatan.

Ki Swandaru yang sekilas melihat kedatangan Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera mengenali keduanya dari jenis senjata yang mereka pergunakan.

“Tenanglah Ki Sanak,” jawab Ki Swandaru sambil meloncat menghindar, “Kedua perempuan itu adalah istriku dan adikku sendiri. Namun jangan khawatir, mereka datang tidak untuk membantuku. Sudah cukup aku saja untuk membuat Ki Sanak menjenguk alam kelanggengan.”

“Iblis..!” geram Pangeran Ranapati. Serangannya pun semakin gencar dan cepat sehingga memaksa Ki Swandarau yang bertubuh gemuk itu untuk meningkatkan kelincahannya.

Sebenarnyalah Ki Swandaru pun dihinggapi perasaan heran yang sangat. Bagaimana mungkin kedua perempuan yang sangat dikenalnya itu bisa hadir di medan pertempuran begitu saja.

“Mungkin keduanya memang kebetulan sedang melakukan perjalanan sejak pagi tadi dari Menoreh menuju ke Sangkal Putung,” berkata Ki Swandaru dalam hati menduga-duga.

Dalam pada itu lingkaran pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Singawana Sepuh semakin lama semakin bergeser menjauhi medan pertempuran. Udara di sekitar tempat mereka berdua bertempur terasa telah membeku. Ki Rangga pun semakin kesulitan untuk mengimbangi kemampuan lawannya.

“Aku memerlukan senjata yang mempunyai jangkauan jauh untuk menghentikan sumber pancaran ilmu yang dahsyat ini,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus berusaha menghindar dan menjaga jarak dengan lawannya, “Semakin dekat aku dengan sumber pancaran ilmu itu, rasa-rasanya darahku menjadi beku dan seluruh persendian tulang-tulangku kaku sulit untuk digerakkan.”

Pada awalnya terpikir oleh Ki Rangga untuk mengurai cambuknya. Namun ketika dia menyadari bahwa lawannya tidak menggunakan sebuah senjata pun, Ki Rangga pun telah mengurungkan niatnya.

“Aku harus terus bergerak,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekejap saja aku berhenti bergerak, hawa dingin yang tak tertahankan ini akan semakin mencengkeram  sekujur tubuhku.”

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya, kemampuan ilmunya yang mampu diungkapkan melalui sorot matanya.

“Namun aku harus berhenti sekejap untuk mengungkapkan ilmu ini,” kembali Ki Rangga menimbang-nimbang, “Namun tidak ada salahnya untuk dicoba. Aku yakin yang sekejap itu masih akan mampu aku tahankan. Sementara tekanan ilmu sorot mataku pun tentu akan berpengaruh terhadap pancaran ilmu Ki Singawan Sepuh.”

Berpikir sampai disitu, Ki Rangga sudah tidak dapat menunda lagi. Dengan cepat dia melenting ke belakang beberapa langkah. Dengan cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Ketika serangan hawa dingin yang membekukan darah itu menyergap ke arah dada, sepasang mata Ki Rangga pun bagaikan menyala dan seleret cahaya kebiru-biruan meluncur menghantam dada lawannya.

Akibatnya adalah dahsyat sekali. Ki Singawana Sepuh yang sudah merasa di atas angin dan tinggal menunggu saat-saat kemenangannya, tiba-tiba saja dadanya bagaikan tertimpa sebuah gunung anakan. Dengan dahsyatnya tubuh guru Pangeran Ranapati itu terhuyung-huyung ke belakang. Untunglah pada saat yang bersamaan Ki Rangga pun mengalami kesulitan untuk menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Hawa dingin yang menyergapnya telah membekukan paru-paru sehingga jalan nafas Ki Rangga pun bagaikan tersumbat. Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain  melepaskan ilmunya dan meloncat menjauh.

Demikian Ki Rangga melepaskan ilmunya, Ki Singawana Sepuh pun telah terlepas dari himpitan yang hampir saja meremukkan dadanya.

Sejenak keduanya segera memperbaiki kedudukan masing-masing. Hentakkan ilmu Ki Rangga walaupun hanya sekejap, ternyata telah berpengaruh terhadap pengetrapan ilmu lawannya. Perlahan hawa dingin yang mencekam di seputar arena pertempuran itu pun agak mereda.

“Luar biasa,” desis Ki Singawana Sepuh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dipandanginya Ki Rangga yang masih berdiri tegak dengan kedua kaki renggang beberapa tombak di hadapannya dengan sorot mata aneh.

Sedangkan Ki Rangga yang merasakan udara di seputar arena pertempuran tidak lagi dingin mencekam telah menarik nafas dalam-dalam. Kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk memanasi seluruh urat nadinya  agar darahnya mengalir seperti sedia kala.

“Luar biasa,” kembali Ki Singawana Sepuh bergumam perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sampai batas ini engkau masih mampu menghentikan ilmuku Ki Rangga. Aku mengakui kehebatan ilmumu, namun bukan berarti aku menyerah. Masih ada ilmu pamungkas yang tersisa, dan kalau aku sudah merambah pada tingkatan ini, tidak ada jalan kembali bagi kita berdua, salah satu harus mati atau bahkan kedua-keduanya.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga termenung. Sudah untuk ke sekian kalinya dia harus menyabung nyawa melawan musuh-musuhnya dan sampai saat ini Yang Maha Agung masih memberinya kesempatan untuk menghirup udara dan menikmati indahnya dunia. Namun untuk kali ini Ki Rangga menjadi sedikit bimbang. Apakah dia masih mampu mengimbangi ilmu pamungkas lawannya?

“Pasrah kepada Yang Maha Hidup adalah lebih baik,” sudut hatinya berkata, “Apapun yang akan terjadi nantinya, semua itu tidak terlepas dari garis yang telah ditentukan olehNYA.”

Berbekal keyakinan itulah, Ki Rangga segera maju beberapa langkah. Katanya kemudian, “Ki Ageng. Dengan setulus hati aku mengakui kedahsyatan ilmu Ki Ageng. Seandainya Ki Ageng tidak menghentikan pancaran ilmu ki Ageng, tentu aku sekarang ini sudah mati membeku.”

“Jangan merajuk Ki Rangga!” geram Ki Singawana Sepuh, “Ilmu yang engkau tunjukkan kepadaku benar-benar ilmu yang sudah jarang dan sangat sulit dicari bandingnya. Kakang pembarep dan adi wuragil seingatku pernah menjadi ciri sebuah perguruan, namun sekarang sudah tidak ada beritanya,” Ki Singawan Sepuh berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apa yang engkau perlihatkan melalui sorot matamu beberapa saat tadi benar-benar ilmu yang langka dan belum pernah aku jumpai kecuali dalam cerita-cerita babat dan pewayangan.”

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Ki Ageng, apa yang telah Ki Ageng tunjukkan kepadaku justru sebuah ilmu yang belum pernah aku dengar atau pun aku baca dalam kitab-kitab terdahulu. Aku yakin ilmu Ki Ageng yang dapat membuat udara dingin mencekam tentu ilmu yang bukan bersumber dari negeri ini, tentu Ki Ageng telah mendapatkan ilmu itu dari negeri seberang.”

Ki Singawana Sepuh tertawa pendek. Ada rasa bangga yang menyelinap dalam dadanya mendengar pujian lawannya. Katanya kemudian, “Engkau benar Ki Rangga. Aku menyadap ilmu itu dari negeri jauh di seberang sana, dimana air dan udara dapat membeku dan berubah menjadi  batu.”:

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam mendengar keterangan Ki Singawana Sepuh. Dunia ini memang sangat luas terbentang dari ujung ke ujung. Demikian juga ilmu, berbagai macam ilmu yang aneh-aneh dapat dijumpai di seluruh  belahan dunia ini.

“Nah,” berkata Ki Singawana Sepuh kemudian begitu melihat lawannya termenung, “Sebagaimana janjiku sebelumnya. Aku akan merambah pada ilmu pamungkasku. Jika Ki Rangga masih mempunyai simpanan ilmu, jangan segan-segan untuk dikeluarkan, karena sebagaimana aku katakan sebelumnya, tidak ada jalan kembali jika ilmu pamungkasku ini sudah aku trapkan. Salah satu harus mati atau bahkan kedua-duanya.”

Berdesir dada Ki Rangga. Tanpa sengaja pandangan matanya memandang ke arah medan pertempuran di tengah padang rumput lemah cengkar. Pandang matanya yang dilandasi dengan aji sapta pandulu segera melihat apa yang sedang terjadi.

“Mirah?” desis ki Rangga tanpa sadar.

Bahkan ketika pandang matanya melihat sepasang pedang yang sedang menari-nari di antara kerumunan para pengikut Pangeran Ranapati, hatinya pun menjadi semakin terkejut.

“Bagaimana mungkin mereka berdua bisa sampai ke sini?” pertanyaan itu melingkar-lingkar dalam benaknya.


“Ki Rangga, apakah engkau sudah siap?!” tiba-tiba terdengar lawannya membentak sehingga membuyarkan lamunannya.

26 komentar :

  1. Wayah sepi wong, matur nuwun Mbah Man .....

    BalasHapus
  2. ilmu dari negeri sebrang ... swat im sin ciang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ilmu dari negara selatan, avatar.
      kekuatan air, tanah, angin dan api.

      Hapus
  3. Matur nuwun mbah_man....lagi nglembur ono ki ras..

    BalasHapus
  4. Wekdal engkang sae kagem sare, mbok bilih mangke saget rumasuk ing impen mugi kiat nampi godane Anjani.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah. Ternyata di tengah malam ada sesuatu yg bisa disruput

    BalasHapus
  6. Matur suwun mBah..
    Jatah minggu dereng lho mBah

    BalasHapus
    Balasan
    1. itu sudah dobel om, enam halaman.
      mungkin maksudnya jatah minggu dan senin.
      bek e lho, hi hi hi .....

      Hapus
    2. Nggih mas SatPam sing penting ajeg tansah wonten rontal dhawah...
      Matur nuwun katur mbah Man soho kangmas SatPam.

      Hapus
    3. itungane kuwi dino pasaran wedaran ....

      Hapus
  7. pokoke joss tenan mbah man... ayo mbah ilmu-ilmu langka dikeluarkan semua...

    BalasHapus
  8. Matur nuwun sanget Mbah Man....ah Ki Widura malah tidur pulas sementara siapakah orang yang berjongkok itu semakin gelap karena ybs tidak ingin diketahui.....

    Dan anak muda bertrisula ternyata penakut seperti AS dan lari terbirit birit sebelum bertempur lucu juga ada pendekar yang takut hantu....hihihi

    Tapi yang bikin deg deg an Anjani sempat melirik pertarungan Ki Lurah dengan Kyai Dadap Ireng pucuk dicinta ulam tiba..tapi takutnya banyak yang Left karena patah hati.....😆😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmmm Ki lurah Adiwaswa udah pakai minyak wangi belum ? Mau ketemu Anjani mesti macak dulu Ki ...... biar ngganntenggg .....

      Hapus
  9. Matur nuwun sanget Mbah Man, wah pancen apik tenan ceritane, hehe..he

    BalasHapus
  10. semakin penasaran, monggo Mbah_Man dipun tambah lontaripun..
    maturnuwun Mbah-Man.

    BalasHapus
  11. Ki Adiwa wis bungah....di lirik Anjani.
    yang membantu ki Widura apakah Kiai Gringsing.? sepertinya tidak mau dikenal. biar seru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ki Widi kalau Kyai Gringsing tak mungkin menanyakan silsilah Ki Widura yang bersenjatakan cambuk dan pamannya Agung Sedayu dan T Untaradira mungkin beliau itu Kanjeng Sunan orang sudah hatam ilmu rohani dan jasmaninya dan mempunyai sifat yang tidak ingin diketahui atas perbuatan baiknya menghindari pamrih...hehe nuwun sewu hanya diskusi sekalian ikut tebak2an...🙏

      Pastine bungah Ki Widi apalagi gowo segerobak bunga untuk ikut mendukung ilmu Anjani aji ribu bunga akan tambah semerbak....seperti berjongkok berdua ditaman bunga...😊😊

      Hapus
    2. sekedar tanya boleh tho Ki,...? klo pertanyaan ttg seputar perkembangan padepokan orang bercambuk...malah bingung.
      Jongkok berdua sambil menaburkan bunga mawar melati berdoa memohankan ampunan bagi orang yang sudah meninggal ya Ki? hhhh,... nuwun sewu.

      Hapus
    3. Nggih Ki Widi nyekar dulu sambil tabur bunga dan kemudian tahlilan mohon restunya....

      Mbok Gombrek dan Mbok Pariyem yang mendengar didapur langsung nesu...ahhhh ...preeetttt....hehehe

      Hapus
  12. Masih adakah ilmu simpanan Ki Rangga AS untuk melawan Singawana Sepuh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ...masih buuaaanyaaakk Ki PJ.....

      Dan yang tak akan terkalahkan oleh musuh musuhnya adalah ilmu perdamaian.......

      Hapus
    2. Ilmu Perdamaian syaratnya harus seperti qosidahan dan memainkannya dengan rebana sangat mengena..dan Gigi harus bersih agar Arman Maulana terpesona....

      Hapus
  13. Ayuuukkk ditunggu aja dengan sabar, pasti datang cerita selanjutnya...

    BalasHapus
  14. matur nuwun mbah Ma ... tambah seru dan bikin penasaran saja ..

    BalasHapus
  15. Matur nuwun sanget mbah Man .... makin seru .... penasaran tensi tinggi ini .... siapa yaaa itu yang datang ? Apa Kangjeng Sunan ?

    Yang jelas tetep semangat dan terus berharap ... semoga Anjani nggak kelamaan bareng sama Ki Lurah Adiwaswa ... heheheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju Ki DP langsung saja disahkan jadi pasangan ganda campuran...hehehe

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.