Ketika Ki Widura kemudian
membuka matanya dan menoleh ke arah orang yang sedang berjongkok di sebelah
kanannya, adalah kebetulan bahwa orang itu sedang membelakangi sinar bulan tua
yang temaram. Hanya tampak bayangan hitam tanpa raut wajah yang dapat dikenali.
Dengan
mengerjap-kerjapkan kelopak matanya agar pandangan matanya lebih jelas, Ki
Widura pun mengulangi pertanyaannya, “Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”
“Sudahlah Ki Widura,
siapapun aku itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Ki
Widura.”
Selesai berkata
demikian, tiba-tiba saja telapak tangan kanan orang itu menyentuh dada Ayah
Glagah Putih itu. Sejenak kemudian, terasa aliran hawa yang hangat di dadanya dan selanjutnya mengalir ke sekujur tubuh yang bersamaan dengan datangnya perasaan
kantuk yang luar biasa. Tanpa kuasa melawan, Ki Widura pun akhirnya jatuh
tertidur.
Dalam pada itu anak muda yang bersenjatakan sepasang trisula
itu ternyata berjiwa kerdil. Betapapun
tinggi ilmunya, namun kekerdilan jiwanya yang percaya terhadap segala macam
hantu, siluman, gendruwo, tetekan dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan
kekuatan ghoib, telah memburamkan penalarannya. Dalam pandangannya, Anjani tak
ubahnya seorang peri jelmaan siluman macan putih yang datang untuk
menghukumnya.
Ketika dengan langkah
gemulai Anjani kemudian berjalan mendekat, tercium bau harum semerbak mewangi. Bau
wangi itu rasa-rasanya diluar batas kewajaran, sehingga membuat anak muda itu pun
menjadi semakin ketakutan.
Ketika rasa takut itu
sudah tak tertahankan lagi, tiba-tiba saja anak muda itu telah membalikkan
tubuhnya dan kemudian berlari sekencang-kencangnya meninggalkan medan
pertempuran lemah cengkar.
Sedangkan Anjani yang
telah ditinggalkan oleh lawannya begitu saja menjadi geli sendiri. Sejenak dia
masih berdiri mematung sambil mengawasi medan pertempuran di sekelilingnya.
Ketika pandangan matanya sekilas melihat pertempuran antara Ki Lurah Adiwaswa
melawan Kyai Dadap Ireng, tanpa sadar kakinya pun segera terayun untuk melangkah
mendekat.
Dalam pada itu
pertempuran memang telah mencapai puncaknya. Korban di kedua belah pihak telah
berjatuhan. Dengan kedatangan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, di sisi selatan
medan pertempuran para pengikut Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang
tak tertahankan. Sedangkan para prajurit yang telah terlepas dari lawan-lawan
mereka karena bantuan kedua perempuan itu segera membantu prajurit-prajurit yang berada di sisi utara. Dengan demikian keadaan menjadi berbalik. Giliran pasukan
Pangeran Ranapati lah yang sekarang mengalami tekanan yang dahsyat.
Perubahan medan
pertempuran itu ternyata tidak luput dari pengamatan Pangeran Ranapati.
“Siapa
perempuan-perempuan gila itu, he?!” teriak Pangeran Ranapati sambil menghentakkan
serangannya. Sekilas pandangan matanya melihat tekanan yang dahsyat di sisi
selatan.
Ki Swandaru yang
sekilas melihat kedatangan Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera mengenali keduanya
dari jenis senjata yang mereka pergunakan.
“Tenanglah Ki Sanak,”
jawab Ki Swandaru sambil meloncat menghindar, “Kedua perempuan itu adalah
istriku dan adikku sendiri. Namun jangan khawatir, mereka datang tidak untuk
membantuku. Sudah cukup aku saja untuk membuat Ki Sanak menjenguk alam
kelanggengan.”
“Iblis..!” geram
Pangeran Ranapati. Serangannya pun semakin gencar dan cepat sehingga memaksa Ki
Swandarau yang bertubuh gemuk itu untuk meningkatkan kelincahannya.
Sebenarnyalah Ki
Swandaru pun dihinggapi perasaan heran yang sangat. Bagaimana mungkin kedua
perempuan yang sangat dikenalnya itu bisa hadir di medan pertempuran begitu
saja.
“Mungkin keduanya
memang kebetulan sedang melakukan perjalanan sejak pagi tadi dari Menoreh
menuju ke Sangkal Putung,” berkata Ki Swandaru dalam hati menduga-duga.
Dalam pada itu
lingkaran pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Ki Singawana Sepuh
semakin lama semakin bergeser menjauhi medan pertempuran. Udara di sekitar tempat
mereka berdua bertempur terasa telah membeku. Ki Rangga pun semakin kesulitan
untuk mengimbangi kemampuan lawannya.
“Aku memerlukan
senjata yang mempunyai jangkauan jauh untuk menghentikan sumber pancaran ilmu
yang dahsyat ini,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus berusaha menghindar
dan menjaga jarak dengan lawannya, “Semakin dekat aku dengan sumber pancaran
ilmu itu, rasa-rasanya darahku menjadi beku dan seluruh persendian tulang-tulangku
kaku sulit untuk digerakkan.”
Pada awalnya terpikir
oleh Ki Rangga untuk mengurai cambuknya. Namun ketika dia menyadari bahwa
lawannya tidak menggunakan sebuah senjata pun, Ki Rangga pun telah mengurungkan
niatnya.
“Aku harus terus
bergerak,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekejap saja aku berhenti bergerak,
hawa dingin yang tak tertahankan ini akan semakin mencengkeram sekujur tubuhku.”
Tiba-tiba terlintas
dalam benaknya, kemampuan ilmunya yang mampu diungkapkan melalui sorot matanya.
“Namun aku harus
berhenti sekejap untuk mengungkapkan ilmu ini,” kembali Ki Rangga
menimbang-nimbang, “Namun tidak ada salahnya untuk dicoba. Aku yakin yang
sekejap itu masih akan mampu aku tahankan. Sementara tekanan ilmu sorot mataku
pun tentu akan berpengaruh terhadap pancaran ilmu Ki Singawan Sepuh.”
Berpikir sampai
disitu, Ki Rangga sudah tidak dapat menunda lagi. Dengan cepat dia melenting ke
belakang beberapa langkah. Dengan cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Ketika
serangan hawa dingin yang membekukan darah itu menyergap ke arah dada, sepasang
mata Ki Rangga pun bagaikan menyala dan seleret cahaya kebiru-biruan meluncur
menghantam dada lawannya.
Akibatnya adalah
dahsyat sekali. Ki Singawana Sepuh yang sudah merasa di atas angin dan tinggal
menunggu saat-saat kemenangannya, tiba-tiba saja dadanya bagaikan tertimpa
sebuah gunung anakan. Dengan dahsyatnya tubuh guru Pangeran Ranapati itu
terhuyung-huyung ke belakang. Untunglah pada saat yang bersamaan Ki Rangga pun
mengalami kesulitan untuk menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Hawa dingin
yang menyergapnya telah membekukan paru-paru sehingga jalan nafas Ki Rangga
pun bagaikan tersumbat. Tidak ada jalan lain bagi Ki Rangga selain melepaskan ilmunya dan meloncat menjauh.
Demikian Ki Rangga
melepaskan ilmunya, Ki Singawana Sepuh pun telah terlepas dari himpitan yang
hampir saja meremukkan dadanya.
Sejenak keduanya
segera memperbaiki kedudukan masing-masing. Hentakkan ilmu Ki Rangga walaupun
hanya sekejap, ternyata telah berpengaruh terhadap pengetrapan ilmu lawannya. Perlahan
hawa dingin yang mencekam di seputar arena pertempuran itu pun agak mereda.
“Luar biasa,” desis
Ki Singawana Sepuh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dipandanginya Ki Rangga
yang masih berdiri tegak dengan kedua kaki renggang beberapa tombak di
hadapannya dengan sorot mata aneh.
Sedangkan Ki Rangga
yang merasakan udara di seputar arena pertempuran tidak lagi dingin mencekam
telah menarik nafas dalam-dalam. Kesempatan itu tidak disia-siakannya untuk
memanasi seluruh urat nadinya agar darahnya
mengalir seperti sedia kala.
“Luar biasa,” kembali
Ki Singawana Sepuh bergumam perlahan seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya
sendiri, “Sampai batas ini engkau masih mampu menghentikan ilmuku Ki Rangga. Aku
mengakui kehebatan ilmumu, namun bukan berarti aku menyerah. Masih ada ilmu
pamungkas yang tersisa, dan kalau aku sudah merambah pada tingkatan ini, tidak
ada jalan kembali bagi kita berdua, salah satu harus mati atau bahkan
kedua-keduanya.”
Untuk beberapa saat Ki Rangga termenung. Sudah untuk ke sekian kalinya dia harus menyabung nyawa
melawan musuh-musuhnya dan sampai saat ini Yang Maha Agung masih memberinya
kesempatan untuk menghirup udara dan menikmati indahnya dunia. Namun untuk kali
ini Ki Rangga menjadi sedikit bimbang. Apakah dia masih mampu mengimbangi ilmu
pamungkas lawannya?
“Pasrah kepada Yang
Maha Hidup adalah lebih baik,” sudut hatinya berkata, “Apapun yang akan terjadi
nantinya, semua itu tidak terlepas dari garis yang telah ditentukan olehNYA.”
Berbekal keyakinan
itulah, Ki Rangga segera maju beberapa langkah. Katanya kemudian, “Ki Ageng. Dengan
setulus hati aku mengakui kedahsyatan ilmu Ki Ageng. Seandainya Ki Ageng tidak
menghentikan pancaran ilmu ki Ageng, tentu aku sekarang ini sudah mati membeku.”
“Jangan merajuk Ki
Rangga!” geram Ki Singawana Sepuh, “Ilmu yang engkau tunjukkan kepadaku
benar-benar ilmu yang sudah jarang dan sangat sulit dicari bandingnya. Kakang
pembarep dan adi wuragil seingatku pernah menjadi ciri sebuah perguruan, namun
sekarang sudah tidak ada beritanya,” Ki Singawan Sepuh berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Apa yang engkau perlihatkan melalui sorot matamu beberapa saat tadi
benar-benar ilmu yang langka dan belum pernah aku jumpai kecuali dalam
cerita-cerita babat dan pewayangan.”
Ki Rangga Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Ki Ageng, apa yang telah
Ki Ageng tunjukkan kepadaku justru sebuah ilmu yang belum pernah aku dengar
atau pun aku baca dalam kitab-kitab terdahulu. Aku yakin ilmu Ki Ageng yang
dapat membuat udara dingin mencekam tentu ilmu yang bukan bersumber dari negeri
ini, tentu Ki Ageng telah mendapatkan ilmu itu dari negeri seberang.”
Ki Singawana Sepuh
tertawa pendek. Ada rasa bangga yang menyelinap dalam dadanya mendengar pujian
lawannya. Katanya kemudian, “Engkau benar Ki Rangga. Aku menyadap ilmu itu dari
negeri jauh di seberang sana, dimana air dan udara dapat membeku dan berubah menjadi
batu.”:
Ki Rangga menarik
nafas dalam-dalam mendengar keterangan Ki Singawana Sepuh. Dunia ini memang
sangat luas terbentang dari ujung ke ujung. Demikian juga ilmu, berbagai macam
ilmu yang aneh-aneh dapat dijumpai di seluruh belahan dunia ini.
“Nah,” berkata Ki
Singawana Sepuh kemudian begitu melihat lawannya termenung, “Sebagaimana
janjiku sebelumnya. Aku akan merambah pada ilmu pamungkasku. Jika Ki Rangga
masih mempunyai simpanan ilmu, jangan segan-segan untuk dikeluarkan, karena
sebagaimana aku katakan sebelumnya, tidak ada jalan kembali jika ilmu
pamungkasku ini sudah aku trapkan. Salah satu harus mati atau bahkan
kedua-duanya.”
Berdesir dada Ki
Rangga. Tanpa sengaja pandangan matanya memandang ke arah medan pertempuran di
tengah padang rumput lemah cengkar. Pandang matanya yang dilandasi dengan aji
sapta pandulu segera melihat apa yang sedang terjadi.
“Mirah?” desis ki
Rangga tanpa sadar.
Bahkan ketika pandang
matanya melihat sepasang pedang yang sedang menari-nari di antara kerumunan para
pengikut Pangeran Ranapati, hatinya pun menjadi semakin terkejut.
“Bagaimana mungkin
mereka berdua bisa sampai ke sini?” pertanyaan itu melingkar-lingkar dalam
benaknya.
“Ki Rangga, apakah
engkau sudah siap?!” tiba-tiba terdengar lawannya membentak sehingga
membuyarkan lamunannya.
Wayah sepi wong, matur nuwun Mbah Man .....
BalasHapusilmu dari negeri sebrang ... swat im sin ciang...
BalasHapusilmu dari negara selatan, avatar.
Hapuskekuatan air, tanah, angin dan api.
Matur nuwun mbah_man....lagi nglembur ono ki ras..
BalasHapusWekdal engkang sae kagem sare, mbok bilih mangke saget rumasuk ing impen mugi kiat nampi godane Anjani.
BalasHapusMatur nuwun mbah. Ternyata di tengah malam ada sesuatu yg bisa disruput
BalasHapusMatur suwun mBah..
BalasHapusJatah minggu dereng lho mBah
itu sudah dobel om, enam halaman.
Hapusmungkin maksudnya jatah minggu dan senin.
bek e lho, hi hi hi .....
Nggih mas SatPam sing penting ajeg tansah wonten rontal dhawah...
HapusMatur nuwun katur mbah Man soho kangmas SatPam.
itungane kuwi dino pasaran wedaran ....
Hapuspokoke joss tenan mbah man... ayo mbah ilmu-ilmu langka dikeluarkan semua...
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....ah Ki Widura malah tidur pulas sementara siapakah orang yang berjongkok itu semakin gelap karena ybs tidak ingin diketahui.....
BalasHapusDan anak muda bertrisula ternyata penakut seperti AS dan lari terbirit birit sebelum bertempur lucu juga ada pendekar yang takut hantu....hihihi
Tapi yang bikin deg deg an Anjani sempat melirik pertarungan Ki Lurah dengan Kyai Dadap Ireng pucuk dicinta ulam tiba..tapi takutnya banyak yang Left karena patah hati.....😆😆
Hmmm Ki lurah Adiwaswa udah pakai minyak wangi belum ? Mau ketemu Anjani mesti macak dulu Ki ...... biar ngganntenggg .....
HapusMatur nuwun sanget Mbah Man, wah pancen apik tenan ceritane, hehe..he
BalasHapussemakin penasaran, monggo Mbah_Man dipun tambah lontaripun..
BalasHapusmaturnuwun Mbah-Man.
Ki Adiwa wis bungah....di lirik Anjani.
BalasHapusyang membantu ki Widura apakah Kiai Gringsing.? sepertinya tidak mau dikenal. biar seru.
Ki Widi kalau Kyai Gringsing tak mungkin menanyakan silsilah Ki Widura yang bersenjatakan cambuk dan pamannya Agung Sedayu dan T Untaradira mungkin beliau itu Kanjeng Sunan orang sudah hatam ilmu rohani dan jasmaninya dan mempunyai sifat yang tidak ingin diketahui atas perbuatan baiknya menghindari pamrih...hehe nuwun sewu hanya diskusi sekalian ikut tebak2an...🙏
HapusPastine bungah Ki Widi apalagi gowo segerobak bunga untuk ikut mendukung ilmu Anjani aji ribu bunga akan tambah semerbak....seperti berjongkok berdua ditaman bunga...😊😊
sekedar tanya boleh tho Ki,...? klo pertanyaan ttg seputar perkembangan padepokan orang bercambuk...malah bingung.
HapusJongkok berdua sambil menaburkan bunga mawar melati berdoa memohankan ampunan bagi orang yang sudah meninggal ya Ki? hhhh,... nuwun sewu.
Nggih Ki Widi nyekar dulu sambil tabur bunga dan kemudian tahlilan mohon restunya....
HapusMbok Gombrek dan Mbok Pariyem yang mendengar didapur langsung nesu...ahhhh ...preeetttt....hehehe
Masih adakah ilmu simpanan Ki Rangga AS untuk melawan Singawana Sepuh?
BalasHapus...masih buuaaanyaaakk Ki PJ.....
HapusDan yang tak akan terkalahkan oleh musuh musuhnya adalah ilmu perdamaian.......
Ilmu Perdamaian syaratnya harus seperti qosidahan dan memainkannya dengan rebana sangat mengena..dan Gigi harus bersih agar Arman Maulana terpesona....
HapusAyuuukkk ditunggu aja dengan sabar, pasti datang cerita selanjutnya...
BalasHapusmatur nuwun mbah Ma ... tambah seru dan bikin penasaran saja ..
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man .... makin seru .... penasaran tensi tinggi ini .... siapa yaaa itu yang datang ? Apa Kangjeng Sunan ?
BalasHapusYang jelas tetep semangat dan terus berharap ... semoga Anjani nggak kelamaan bareng sama Ki Lurah Adiwaswa ... heheheheh
Setuju Ki DP langsung saja disahkan jadi pasangan ganda campuran...hehehe
Hapus