Tepat pada saat ujung
trisula itu tinggal sejengkal dari dada Ki Widura, sebuah pedang tipis yang
ujungnya selalu bergetar telah memotong serangan itu dari arah samping.
Benturan yang terjadi kemudian telah membuat anak muda itu terkejut. Senjatanya bagaikan
membentur dinding baja dan terpental membalik justru ke arah pemiliknya
sendiri.
“Setaan..!” anak muda
itu mengumpat sambil berusaha menguasai senjatanya yang berbalik menyerang
kepalanya.
Ketika dia kemudian
berhasil menguasai senjatanya kembali dan mencoba memandang ke depan,
jantungnya pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Di hadapannya telah berdiri
seorang perempuan muda dengan pakaian khusus serta sebilah pedang tipis di
tangan kanannya.
Untuk beberapa saat
anak muda itu justru telah membeku di tempatnya. Pandangan matanya nanar
menelusuri lekuk-lekuk sekujur tubuh perempuan cantik bak Bidadari yang berdiri
hanya beberapa langkah di hadapannya. Pakaian khusus yang berwarna putih itu terlihat
begitu ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Di bawah siraman sinar bulan
tua, begitu indahnya perempuan muda itu
dalam pandangan matanya.
“Siluman macan putih
penunggu pohon beringin raksasa...” tiba-tiba dalam benaknya menyelinap pikiran
aneh. Memang sore tadi sewaktu mereka sedang menunggu rombongan pasukan berkuda melintas di padang
rumput lemah Cengkar, beberapa kawannya telah membicarakan harimau siluman itu.
Begitu teringat
cerita kawan-kawannya sore tadi, jantungnya pun tiba-tiba berdegup kencang sedangkan bulu-bulu di sekujur
tubuhnya ikut meremang.
“Mungkinkah dia
menjelma sebagai peri cantik ini dan datang untuk menghukumku..?” kembali angan-angan anak muda itu menerawang. Jantungnya
berpacu semakin kencang, sedangkan sekujur
tubuhnya yang telah basah oleh keringat tiba-tiba saja telah menjadi dingin bahkan menggigil.
Anjani yang berdiri
beberapa langkah di hadapannya menjadi heran. Anak muda itu .terlihat begitu
ketakutan bagaikan sedang melihat hantu.
“Kakek,” berkata
Anjani kemudian tanpa menoleh kepada Ki Widura di belakangnya,
“Beristirahatlah. Maafkan aku telah mengganggu permainanmu. Aku kira ini bukan
sebuah medan perang tanding sehingga aku memutuskan untuk mencampurinya.”
“Terima kasih Ni
Sanak,” desis Ki Widura pelan sambil menyimpan senjatanya, “Ni Sanak telah
menyelamatkan selembar nyawaku. Semoga Yang Maha Agung berkenan memberikan
balasan kebaikan yang setimpal.”
“Terima kasih, kakek.
Beristirahatlah..,” jawab Anjani sambil sekilas berpaling ke belakang. Tampak dari
jauh seorang cantrik padepokan Jati Anom yang telah ditinggalkan oleh lawannya
berlari-lari menuju ke tempat Ki Widura.
“Bawalah kakek ini
menepi,” berkata Anjani tanpa berpaling setibanya cantrik itu di belakangnya, “Darah
yang mengalir dari luka-lukanya terlalu banyak. Jika tidak cepat diobati, tidak
menutup kemungkinan kakek itu akan kehabisan darah.”
“Baik, Ni Sanak,” jawab
cantrik itu sambil memandang ke arah Anjani. Namun dia hanya melihat bayangan
Anjani dari belakang.
“Siapakah perempuan ini?”
bertanya cantrik itu di dalam hati, “Menilik bentuk tubuhnya yang begitu indah,
tentu perempuan ini sangat cantik sekali.”
Namun cantrik itu
tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Tiba-tiba terdengar Ki Widura
mengeluh pendek dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dengan cepat cantrik itu
segera menangkap tubuh Ki Widura dan memapah serta membawanya menepi menuju ke garis belakang.
Sesampainya di garis
belakang, dengan cekatan cantrik itu segera membaringkan Ki Widura di atas
rerumputan. Diambilnya sebuah bumbung kecil yang tersangkut di ikat pinggang Ki
Widura. Sebagai murid padepokan orang bercambuk, tentu saja sedikit banyak dia juga telah mempelajari tentang pengobatan.
Setelah luka itu
dibersihkan terlebih dahulu memakai secarik kain yang disobek dari kain
panjangnya, cantrik itu pun dengan hati-hati mulai menaburkan bubuk yang
berwarna kehitam-hitaman di atas luka-luka yang tak terhitung banyaknya.
Terlihat Ki Widura
berdesis tertahan sambil menggigit bibirnya.
“Bertahanlah Ki
Widura,” bisik cantrik itu kemudian, “Ki Widura harus minum obat untuk
memperkuat daya tahan. Aku pergi sebentar untuk mencari air.”
Ki Widura tidak
menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk kecil, sementara kedua
matanya terpejam rapat.
Sepeninggal cantrik
itu, tampak seseorang yang sedari tadi mengawasi mereka dari kejauhan berjalan
mendekat ke tempat Ki Widura dibaringkan.
Sejenak orang itu
ragu-ragu. Namun akhirnya orang itu pun meneruskan langkahnya dan akhirnya
berjongkok di sisi tubuh Ki Widura yang terbujur diam.
Beberapa kali orang
itu tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya dia berkata dengan suara
perlahan namun terdengar sangat berwibawa, “Ki Sanak, bagaimana keadaan Ki
Sanak?”
Ki Widura yang keadaannya
berada di antara sadar dan tidak itu tampak mengerutkan keningnya. Lamat-lamat
dia mendengar seseorang bertanya kepadanya.
“Siapa?” bisiknya
lirih dengan kedua mata tetap terpejam.
Sejenak orang itu
ragu-ragu, namun akhirnya dia menjawab, “Jangan pedulikan siapa aku. Aku hanya
ingin menolong Ki Sanak.”
“Terima kasih,” jawab
Ki Widura sambil menarik nafas dalam-dalam, “Cantrik tadi sudah menaburkan obat
di atas luka-lukaku. Aku hanya membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat
dan memulihkan tenagaku.”
Orang yang berjongkok
di sisi Ki Widura itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, “Ada hubungan apakah Ki Sanak dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku
lihat Ki Sanak menggunakan senjata yang sejenis dengan senjata yang sering dipakai
oleh Ki Rangga. Bahkan di medan pertempuran sekarang ini banyak yang
bersenjatakan cambuk,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalau
aku tidak salah, kalian adalah murid-murid dari padepokan orang bercambuk di
Jati Anom.”
“Engkau benar Ki
Sanak,” jawab Ki Widura dengan kedua mata tetap terpejam, “Aku adalah pamannya
yang tinggal di Banyuasri. Dulu aku adalah salah seorang Perwira prajurit
Pajang semasa pemerintahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”
Orang itu tampak
terkejut mendengar pengakuan Ki Widura. Katanya kemudian, “Jadi Ki Sanak ini
adalah Ki Widura yang juga pamannya Ki Tumenggung Untaradira?”
Sekarang Ki Widura
lah yang ganti terkejut. Tanpa sadar dia membuka matanya dan mencoba mengenali
orang yang berjongkok di sebelahnya.
Matur nuwun mbah_man....
BalasHapusMksh bagus..bagus...bagus..
BalasHapusKamper...kamper...kamper....hehe
HapusSemangat petang
BalasHapusMatur nuwun mbah
Tambah penasaran
Matur nuwun Mbah Man .....
BalasHapusSalam Hangat selalu Mbah Man... Saya dari Tanah Bumbu Kalimantan Selatan ... pengikut setia cerita ADBM, TADBM, dan MDLM
BalasHapusRak sanes pengikut dimas kanjeng tho ki
HapusRak sanes pengikut dimas kanjeng tho ki
HapusSanes Ki Mas Aryo Ki Pamatang Jatuh mungkin ada hubungan dengan daerah Pamatang Siantar
Hapusmatur nuwun mbah Man,atas rontalnya.
BalasHapusMatur nuwun.......
BalasHapusSelamat pagi Anjani ....
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....
BalasHapusSiapakah orang yang berjongkok itu...untuk lebih terang dan benderang mari kita tunggu halaman berikutnya....😊
Assalamualaikum wrwb..
BalasHapusSaking pondok sebelah dipun kabaraken menawi Ki Hartarto, salah satunggulipun cantrik bade daup kaliyan kenyo idamanioun...ijab qobul injang niki jam 10 wonten Kudus..
Mugi diparingi kelancaran dan kemudahan, lan dadose kelurga ingkang samara
Aamiin y robbal alamin
Cantrik nenggo laporan pandangan mata...
nderek bingah...kapan mas aryo nyusul........ke....
HapusKulo nenggo rondone Pandan Wangi....
HapusNyuwun tulung dumatheng mBah Man supados SW dipateni Pangeran Ranapati
Pandan Wangi....meh bae kleru moco ...Pudak Wangi....???
HapusSemoga semua acara bisa berlagnsung dengan lancar
HapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusSiapakah gerangan datang lagi.
Mbah Man seneng bikin tebak tebakan ben penasaran....ada dua yang harus dicurigai kenapa Ki Widura terkejut...
Hapus1.Pangeran Jayaraga
2.Kanjeng Sunan atau.......yang berhasil nebak dapat bonus jilid 415 sak buku....hihihi
Matur nuwun mbah man .... makin penasaran lagi .... siapa itu yg datang di samping Ki Widura ? TOkoh mana lagi ini ? Luar biasa memang Mbah Man ....
BalasHapusKadone .... tadbm 416 sak buku..lengkap
BalasHapusKadone .... tadbm 416 sak buku..lengkap
BalasHapusOno sing lengkap mas aryo jilid 415....
HapusDiberi tahu gak ya.....
BalasHapusDiberi tempe wae
HapusKi P Satpam di GS sepur kluthuk bawa rontal salah jilid masih jilid 415....hehe
HapusMas satpam bisa ngasi bocoran nggak kira2x siapa itu yang dateng ?
BalasHapus...yang datang itu Ki Satpam sendiri Mas Aryo...cepat cepat bertindak untuk menyelamatkan Ki Widura agar ke depannya Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ngambek dan left......
BalasHapusBukannya Left tapi matisuri Ki Dik Har...hanya ingak inguk bae hehe....Glagah Putih dan Rara Wulain belum kebagian job untuk suting sekarang lagi nyambi jualan dawet,... Ki Jayaraga dan Sukra katanya sedang pulang kampung dulu mau panenan....
BalasHapusSabar menunggu rontal berikutnya....
BalasHapusBetul sekali Ki PJ.....Bapak guru harus lebih sabar dalam mengasuh anak didiknya....
HapusKalau Mbah_Man sudah teruji kesabarannya dalam mengasuh CA/MEN nya yang pada mbelink....
...terutama jika pada iseng berceloteh saat sepur rontal tak kunjung datang...hehehe...
DH, Inggeh betul betul.....
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWe lah...keno sempritt
HapusOjo2 kuwi spoiler sak buku 416
*Komentar ini telah dihapus oleh penghapus*
BalasHapus