Sabtu, 10 Desember 2016

TADBM 416_15

Tepat pada saat ujung trisula itu tinggal sejengkal dari dada Ki Widura, sebuah pedang tipis yang ujungnya selalu bergetar telah memotong serangan itu dari arah samping. Benturan yang terjadi kemudian telah membuat anak muda itu terkejut. Senjatanya bagaikan membentur dinding baja dan terpental membalik justru ke arah pemiliknya sendiri.

“Setaan..!” anak muda itu mengumpat sambil berusaha menguasai senjatanya yang berbalik menyerang kepalanya.

Ketika dia kemudian berhasil menguasai senjatanya kembali dan mencoba memandang ke depan, jantungnya pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan muda dengan pakaian khusus serta sebilah pedang tipis di tangan kanannya.

Untuk beberapa saat anak muda itu justru telah membeku di tempatnya. Pandangan matanya nanar menelusuri lekuk-lekuk sekujur tubuh perempuan cantik bak Bidadari yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. Pakaian khusus yang berwarna putih itu terlihat begitu ketat membungkus tubuhnya yang ramping. Di bawah siraman sinar bulan tua,  begitu indahnya perempuan muda itu dalam pandangan matanya.

“Siluman macan putih penunggu pohon beringin raksasa...” tiba-tiba dalam benaknya menyelinap pikiran aneh. Memang sore tadi sewaktu mereka sedang menunggu  rombongan pasukan berkuda melintas di padang rumput lemah Cengkar, beberapa kawannya telah membicarakan harimau siluman itu.

Begitu teringat cerita kawan-kawannya sore tadi, jantungnya pun tiba-tiba berdegup  kencang sedangkan bulu-bulu di sekujur tubuhnya ikut meremang.

“Mungkinkah dia menjelma sebagai peri cantik ini dan datang untuk menghukumku..?” kembali  angan-angan anak muda itu menerawang. Jantungnya  berpacu semakin kencang, sedangkan sekujur tubuhnya yang telah basah oleh keringat  tiba-tiba saja telah menjadi dingin bahkan  menggigil.

Anjani yang berdiri beberapa langkah di hadapannya menjadi heran. Anak muda itu .terlihat begitu ketakutan bagaikan sedang melihat hantu.

“Kakek,” berkata Anjani kemudian tanpa menoleh kepada Ki Widura di belakangnya, “Beristirahatlah. Maafkan aku telah mengganggu permainanmu. Aku kira ini bukan sebuah medan perang tanding sehingga aku memutuskan untuk mencampurinya.”

“Terima kasih Ni Sanak,” desis Ki Widura pelan sambil menyimpan senjatanya, “Ni Sanak telah menyelamatkan selembar nyawaku. Semoga Yang Maha Agung berkenan memberikan balasan kebaikan yang setimpal.”

“Terima kasih, kakek. Beristirahatlah..,” jawab Anjani sambil sekilas berpaling ke belakang. Tampak dari jauh seorang cantrik padepokan Jati Anom yang telah ditinggalkan oleh lawannya berlari-lari menuju ke tempat Ki Widura.

“Bawalah kakek ini menepi,” berkata Anjani tanpa berpaling setibanya cantrik itu di belakangnya, “Darah yang mengalir dari luka-lukanya terlalu banyak. Jika tidak cepat diobati, tidak menutup kemungkinan kakek itu akan kehabisan darah.”

“Baik, Ni Sanak,” jawab cantrik itu sambil memandang ke arah Anjani. Namun dia hanya melihat bayangan Anjani dari belakang.

“Siapakah perempuan ini?” bertanya cantrik itu di dalam hati, “Menilik bentuk tubuhnya yang begitu indah, tentu perempuan ini sangat cantik sekali.”

Namun cantrik itu tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Tiba-tiba terdengar Ki Widura mengeluh pendek dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Dengan cepat cantrik itu segera menangkap tubuh Ki Widura dan memapah serta membawanya menepi  menuju ke garis belakang.

Sesampainya di garis belakang, dengan cekatan cantrik itu segera membaringkan Ki Widura di atas rerumputan. Diambilnya sebuah bumbung kecil yang tersangkut di ikat pinggang Ki Widura. Sebagai murid padepokan orang bercambuk, tentu saja sedikit banyak dia juga telah mempelajari tentang pengobatan.

Setelah luka itu dibersihkan terlebih dahulu memakai secarik kain yang disobek dari kain panjangnya, cantrik itu pun dengan hati-hati mulai menaburkan bubuk yang berwarna kehitam-hitaman di atas luka-luka  yang tak terhitung banyaknya.

Terlihat Ki Widura berdesis tertahan sambil menggigit bibirnya.

“Bertahanlah Ki Widura,” bisik cantrik itu kemudian, “Ki Widura harus minum obat untuk memperkuat daya tahan. Aku pergi sebentar untuk mencari air.”

Ki Widura tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk kecil, sementara kedua matanya terpejam rapat.

Sepeninggal cantrik itu, tampak seseorang yang sedari tadi mengawasi mereka dari kejauhan berjalan mendekat ke tempat Ki Widura dibaringkan.

Sejenak orang itu ragu-ragu. Namun akhirnya orang itu pun meneruskan langkahnya dan akhirnya berjongkok di sisi tubuh Ki Widura yang terbujur diam.

Beberapa kali orang itu tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya dia berkata dengan suara perlahan namun terdengar sangat berwibawa, “Ki Sanak, bagaimana keadaan Ki Sanak?”

Ki Widura yang keadaannya berada di antara sadar dan tidak itu tampak mengerutkan keningnya. Lamat-lamat dia mendengar seseorang bertanya kepadanya.

“Siapa?” bisiknya lirih dengan kedua mata tetap terpejam.

Sejenak orang itu ragu-ragu, namun akhirnya dia menjawab, “Jangan pedulikan siapa aku. Aku hanya ingin menolong Ki Sanak.”

“Terima kasih,” jawab Ki Widura sambil menarik nafas dalam-dalam, “Cantrik tadi sudah menaburkan obat di atas luka-lukaku. Aku hanya membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat dan memulihkan tenagaku.”

Orang yang berjongkok di sisi Ki Widura itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ada hubungan apakah Ki Sanak dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Aku lihat Ki Sanak menggunakan senjata yang sejenis dengan senjata yang sering dipakai oleh Ki Rangga. Bahkan di medan pertempuran sekarang ini banyak yang bersenjatakan cambuk,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kalau aku tidak salah, kalian adalah murid-murid dari padepokan orang bercambuk di Jati Anom.”

“Engkau benar Ki Sanak,” jawab Ki Widura dengan kedua mata tetap terpejam, “Aku adalah pamannya yang tinggal di Banyuasri. Dulu aku adalah salah seorang Perwira prajurit Pajang semasa pemerintahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

Orang itu tampak terkejut mendengar pengakuan Ki Widura. Katanya kemudian, “Jadi Ki Sanak ini adalah Ki Widura yang juga pamannya Ki Tumenggung Untaradira?”


Sekarang Ki Widura lah yang ganti terkejut. Tanpa sadar dia membuka matanya dan mencoba mengenali orang yang berjongkok di sebelahnya.

36 komentar :

  1. Semangat petang
    Matur nuwun mbah
    Tambah penasaran

    BalasHapus
  2. Salam Hangat selalu Mbah Man... Saya dari Tanah Bumbu Kalimantan Selatan ... pengikut setia cerita ADBM, TADBM, dan MDLM

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rak sanes pengikut dimas kanjeng tho ki

      Hapus
    2. Rak sanes pengikut dimas kanjeng tho ki

      Hapus
    3. Sanes Ki Mas Aryo Ki Pamatang Jatuh mungkin ada hubungan dengan daerah Pamatang Siantar

      Hapus
  3. matur nuwun mbah Man,atas rontalnya.

    BalasHapus
  4. Matur nuwun sanget Mbah Man....

    Siapakah orang yang berjongkok itu...untuk lebih terang dan benderang mari kita tunggu halaman berikutnya....😊

    BalasHapus
  5. Assalamualaikum wrwb..

    Saking pondok sebelah dipun kabaraken menawi Ki Hartarto, salah satunggulipun cantrik bade daup kaliyan kenyo idamanioun...ijab qobul injang niki jam 10 wonten Kudus..

    Mugi diparingi kelancaran dan kemudahan, lan dadose kelurga ingkang samara

    Aamiin y robbal alamin
    Cantrik nenggo laporan pandangan mata...

    BalasHapus
    Balasan
    1. nderek bingah...kapan mas aryo nyusul........ke....

      Hapus
    2. Kulo nenggo rondone Pandan Wangi....
      Nyuwun tulung dumatheng mBah Man supados SW dipateni Pangeran Ranapati

      Hapus
    3. Pandan Wangi....meh bae kleru moco ...Pudak Wangi....???

      Hapus
    4. Semoga semua acara bisa berlagnsung dengan lancar

      Hapus
  6. Matur nuwun mbah.
    Siapakah gerangan datang lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbah Man seneng bikin tebak tebakan ben penasaran....ada dua yang harus dicurigai kenapa Ki Widura terkejut...
      1.Pangeran Jayaraga
      2.Kanjeng Sunan atau.......yang berhasil nebak dapat bonus jilid 415 sak buku....hihihi

      Hapus
  7. Matur nuwun mbah man .... makin penasaran lagi .... siapa itu yg datang di samping Ki Widura ? TOkoh mana lagi ini ? Luar biasa memang Mbah Man ....

    BalasHapus
  8. Kadone .... tadbm 416 sak buku..lengkap

    BalasHapus
  9. Kadone .... tadbm 416 sak buku..lengkap

    BalasHapus
  10. Balasan
    1. Ki P Satpam di GS sepur kluthuk bawa rontal salah jilid masih jilid 415....hehe

      Hapus
  11. Mas satpam bisa ngasi bocoran nggak kira2x siapa itu yang dateng ?

    BalasHapus
  12. ...yang datang itu Ki Satpam sendiri Mas Aryo...cepat cepat bertindak untuk menyelamatkan Ki Widura agar ke depannya Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ngambek dan left......

    BalasHapus
  13. Bukannya Left tapi matisuri Ki Dik Har...hanya ingak inguk bae hehe....Glagah Putih dan Rara Wulain belum kebagian job untuk suting sekarang lagi nyambi jualan dawet,... Ki Jayaraga dan Sukra katanya sedang pulang kampung dulu mau panenan....

    BalasHapus
  14. Balasan
    1. Betul sekali Ki PJ.....Bapak guru harus lebih sabar dalam mengasuh anak didiknya....

      Kalau Mbah_Man sudah teruji kesabarannya dalam mengasuh CA/MEN nya yang pada mbelink....

      ...terutama jika pada iseng berceloteh saat sepur rontal tak kunjung datang...hehehe...

      Hapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. We lah...keno sempritt
      Ojo2 kuwi spoiler sak buku 416

      Hapus
  16. *Komentar ini telah dihapus oleh penghapus*

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.