Jumat, 30 Desember 2016

STSD 01_02

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Biarlah urusan itu dibicarakan oleh keluarga besar kedua wilayah itu. Mataram akan menunggu setiap keputusan yang telah disepakati.,“ Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang aku ingin mendengar laporan tentang perjalanan Glagah Putih beberapa pekan yang lalu ke Bukit Tidar.”

Glagah Putih yang disebut namanya segera bersingsut ke depan. Sambil menyembah, Glagah Putih pun segera memberikan laporannya.

“Mohon ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih kemudian, “Rencana perjalanan kami ke bukit Tidar memang sempat tertunda beberapa hari sehubungan dengan meninggalnya Ki Swandaru,” Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Gunung Tidar selama ini ternyata sedang dalam pengamatan para petugas sandi. Kami telah mengadakan hubungan dengan para petugas sandi di sana. Akhir-akhir ini perguruan Sapta Dhahana yang berada di lereng gunung Tidar sedang giat menjalin hubungan dengan segolongan orang yang mengaku  sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”

Tampak Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar laporan Glagah Putih. Sekilas wajah Ki Patih tampak sedikit muram. Sedangkan orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak saling pandang dengan kening yang berkerut-merut.

Ki Waskita yang duduk di sebelah kiri Ki Rangga memberanikan diri untuk mengajukan pendapatnya, “Ampun Ki Patih.  Bukankah orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah membuat keributan di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu? Agaknya berita kebangkitan keturunan dari Pangeran Sekar itu bukan berita ngaya wara.”

“Benar, Ki Waskita,” jawab Ki Patih, “Aku memang sudah mendapat laporan sebelumnya, namun aku ingin Glagah Putih di dampingi Ki Jayaraga untuk menelusuri kebenaran berita itu dan melihat kekuatan yang tersimpan di padepokan Sapta Dhahana serta hubungannya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai trah Sekar Seda Lepen.”

“Sendika Ki Patih,” Ki Jayaraga yang sedari tadi diam saja kini menyahut, “Kami berdua telah mengamati perguruan itu dari dekat. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangko, sering mengadakan hubungan dengan seseorang yang bernama Raden Wirasena yang mengaku sebagai keturunan Pangeran Sekar,  putra tertua dari Raden Patah Sultan Demak pertama walaupun dari garwa selir. Raden Wirasena menganggap dirinya  lebih berhak atas tahta  di tanah ini dari pada keturunan Panembahan Senapati.”

Untuk beberapa saat mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Jayaraga itu terdiam. Orang yang bernama Raden Wirasena dan para pengikutnya itu agaknya sedang berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap para kawula Mataram dengan cara  mengungkit kembali akan garis keturunan dari kerajaan Demak lama. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang masih rindu akan kejayaan Demak lama akan terpengaruh, karena mereka masih beranggapan bahwa penguasa negeri ini harus ada garis keturunan dari kerajaan besar yang pernah ada, yaitu Majapahit.  Sedangkan Panembahan Senapati yang kemudian menjadi raja pertama di Mataram itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan  garis keturunan dari Majapahit.

“Ampun Ki Patih,” kembali Ki Waskita mengajukan pendapatnya sambil menyembah, “Bukankah jaman sudah berganti dan Wahyu Keprabon sudah berpindah beberapa kali? Dan yang terakhir, sesuai dengan ramalan seorang Wali yang waskita, Wahyu Keprabon ternyata telah jatuh di Alas Mentaok yang sekarang ini telah menjadi kerajaan Mataram.”

 “Ki Waskita benar,” jawab Ki Patih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun yang perlu diluruskan adalah, siapakah yang telah mengaku sebagai trah Pangeran Sekar itu? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pangeran Sekar meninggalkan dua orang putra, Harya Penangsang dan Harya Mataram. Harya Penangsang gugur dalam peperangan antara Pajang dan Jipang di pinggir bengawan sore, sedangkan Harya Mataram telah lolos dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”

Untuk sejenak ruang dalam Kepatihan itu kembali menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara di luar angin malam bertiup agak kencang sehingga telah mengguncang daun-daun pohon sawo kecik yang ditanam di sebelah regol Kepatihan.

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian, “Persoalan itu akan menjadi pekerjaan para prajurit sandi untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang yang perlu kita ketahui adalah kekuatan sebenarnya dari Padepokan Sapta Dhahana. Ki Rangga pun agaknya sangat berkepentingan dengan berita ini. Mungkin Ki Jayaraga dapat memberikan gambaran.”

Selesai berkata demikian Ki Patih kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun tanggap. Secara singkat  segera diceritakan hasil pengamatannya bersama Glagah Putih di Padepokan Sapta Dhahana.

“Ampun Ki Patih, sebagaimana yang pernah Ki Patih sampaikan. Perguruan itu memang mempunyai sebuah ritual yang cukup aneh. Kami berdua sempat menyaksikan walaupun dari jarak yang agak jauh. Setiap murid perguruan itu senang bermain-main dengan api,” Ki Jayaraga memulai kisahnya, “Pada tingkat kemampuan yang paling rendah, murid-murid padepokan itu mampu berjalan dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara api tanpa menderita luka sedikit pun. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang telah dilumuri sekujur tubuhnya dengan sejenis minyak kemudian dibakar. Ternyata tubuh orang tersebut tidak mempan dibakar api, bahkan pakaian yang dikenakannya pun tetap utuh, tidak hangus dimakan api.”

Mereka yang hadir di ruangan itu menjadi berdebar-debar. Jika murid-muridnya saja mampu menunjukkan pengeram-eram seperti itu, bagaimana dengan kemampuan gurunya sendiri?

“Semasa mudaku aku memang pernah mendengar perguruan itu,” Ki Patih memberikan tanggapannya, “Seingatku perguruan itu memang senang bermain-main dengan api, sesuai dengan namanya Sapta Dhahana,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengumpulkan daya ingatnya. Lanjutnya kemudian, “Kekuatan yang terpancar dari puncak ilmu perguruan Sapta Dhahana itu, tentu tidak lepas dari kekuatan api, entah itu berupa semburan api yang sangat panas, atau bola-bola api yang sangat panas yang terlontar dengan kekuatan nggegirisi. Aku berharap semua ini akan memberikan sedikit gambaran tentang kekuatan perguruan Sapta Dhahana kepada Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali Ki Patih berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun melanjutkan kata-katanya, “Bukankah janji Kiai Damar Sasangka itu masih berlaku Ki Rangga?”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan dari Ki Patih itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah. Dia segera teringat akan penuturan Kiai Sabda Dadi yang pernah berjumpa langsung dan menerima pesan dari pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Kiai Damar Sasangka telah memberinya waktu sebulan lebih sepuluh hari untuk menyembuhkan luka-lukanya. Jika batas waktu itu telah tercapai, bagaimana pun keadaan dirinya, Pemimpin perguruan di lereng gunung Tidar itu tetap akan membunuhnya, melawan ataupun tidak melawan.


“Sampai kapan aku akan terbebas dari lingkaran dendam yang tak berkesudahan ini?” Ki Rangga hanya dapat mengeluh dalam hati.

17 komentar :

  1. Maturnuwun Mbah Man ada wedaran dipagi hari...
    Sugeng enjang para kadang...

    BalasHapus
  2. Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya di pagi hari yang masih hujan dari tadi malam,
    Geng-injang ugi Nyi Rien

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah hujan merata nggih ki Wid..Banyumas dan sekitarnya juga hujan dari kemarin sore sampai siang ini masih gerimis dan mendung hitam menggantung awan..hihi..ketularan puitis kados ki Adiwa..

      Hapus
    2. Loh koq disini mataharinya mencorong sekali...hehe

      Mendung menggantung di Banyumas
      Menurunkan gantungan cucian yang baru saja diperas
      Banyak wanita Banyumas mengeluh cemas
      Menanti sinar mentari yang panas
      Untuk mengeringkan cucian yang sudah dibilas

      Hehehe.....mblayuuu...helm...helm

      Hapus
  3. hadu.....
    aku ketinggalan dua rontal

    BalasHapus
  4. Wedaran jumat. Matur nuwun mbah man.

    BalasHapus
  5. Alhamdulilah....matur nuwun sanget Mbah Man....

    Tantangan Kiai Damar Sasangko yang tertunda akan berlanjut....
    Dan Ki Ageng Selagilang juga menantikan pertarungan di leg kedua..... semangkin seru pastinya cerita olahan Mbah Man...

    BalasHapus
  6. Matur nuwun mbah Man, wedaran di hari jumaat barokah

    BalasHapus
  7. alkhamdulillah, lg transit bpn sambil nunggu singa dpt wedaran....

    BalasHapus
  8. Hadir, matur nuwun Mbah Man, Jum'at Barakah ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  9. Bagus bgt ceritanya, cuma sayang per episode nya trlalu pendek.
    Makasih.

    BalasHapus
  10. Bagus bgt ceritanya, cuma sayang per episode nya trlalu pendek.
    Makasih.

    BalasHapus
  11. Baru sempat muter taman bacaan , ternyata sudah ada wedaran siap saji .... matur nuwun sanget Mbah Man .... sekarang baca duluuuuuu ...

    BalasHapus
  12. Matur nuwun mbah_man, prei prei ono rontal....siip siip...ya mbah...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.