“Sudahlah,” berkata Ki Patih
kemudian memecah kesunyian, “Biarlah urusan itu dibicarakan oleh keluarga besar
kedua wilayah itu. Mataram akan menunggu setiap keputusan yang telah
disepakati.,“ Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang aku
ingin mendengar laporan tentang perjalanan Glagah Putih beberapa pekan yang
lalu ke Bukit Tidar.”
Glagah Putih yang disebut
namanya segera bersingsut ke depan. Sambil menyembah, Glagah Putih pun segera
memberikan laporannya.
“Mohon ampun Ki Patih,”
berkata Glagah Putih kemudian, “Rencana perjalanan kami ke bukit Tidar memang
sempat tertunda beberapa hari sehubungan dengan meninggalnya Ki Swandaru,”
Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Gunung Tidar selama ini
ternyata sedang dalam pengamatan para petugas sandi. Kami telah mengadakan
hubungan dengan para petugas sandi di sana. Akhir-akhir ini perguruan Sapta
Dhahana yang berada di lereng gunung Tidar sedang giat menjalin hubungan dengan
segolongan orang yang mengaku sebagai
Trah Sekar Seda Lepen.”
Tampak Ki Patih menarik
nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar laporan
Glagah Putih. Sekilas wajah Ki Patih tampak sedikit muram. Sedangkan
orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak saling pandang dengan kening yang
berkerut-merut.
Ki Waskita yang duduk di
sebelah kiri Ki Rangga memberanikan diri untuk mengajukan pendapatnya, “Ampun
Ki Patih. Bukankah orang-orang yang
mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah membuat keributan di kediaman
Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu? Agaknya berita kebangkitan keturunan
dari Pangeran Sekar itu bukan berita ngaya wara.”
“Benar, Ki Waskita,” jawab
Ki Patih, “Aku memang sudah mendapat laporan sebelumnya, namun aku ingin Glagah
Putih di dampingi Ki Jayaraga untuk menelusuri kebenaran berita itu dan melihat
kekuatan yang tersimpan di padepokan Sapta Dhahana serta hubungannya dengan
orang yang menyebut dirinya sebagai trah Sekar Seda Lepen.”
“Sendika Ki Patih,” Ki
Jayaraga yang sedari tadi diam saja kini menyahut, “Kami berdua telah mengamati
perguruan itu dari dekat. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar
Sasangko, sering mengadakan hubungan dengan seseorang yang bernama Raden
Wirasena yang mengaku sebagai keturunan Pangeran Sekar, putra tertua dari Raden Patah Sultan Demak
pertama walaupun dari garwa selir. Raden Wirasena menganggap dirinya lebih berhak atas tahta di tanah ini dari pada keturunan Panembahan
Senapati.”
Untuk beberapa saat mereka
yang mendengarkan penjelasan Ki Jayaraga itu terdiam. Orang yang bernama Raden
Wirasena dan para pengikutnya itu agaknya sedang berusaha menanamkan
pengaruhnya terhadap para kawula Mataram dengan cara mengungkit kembali akan garis keturunan dari
kerajaan Demak lama. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang masih rindu
akan kejayaan Demak lama akan terpengaruh, karena mereka masih beranggapan
bahwa penguasa negeri ini harus ada garis keturunan dari kerajaan besar yang
pernah ada, yaitu Majapahit. Sedangkan Panembahan
Senapati yang kemudian menjadi raja pertama di Mataram itu sama sekali tidak
ada hubungannya dengan garis keturunan
dari Majapahit.
“Ampun Ki Patih,” kembali Ki
Waskita mengajukan pendapatnya sambil menyembah, “Bukankah jaman sudah berganti
dan Wahyu Keprabon sudah berpindah beberapa kali? Dan yang terakhir, sesuai
dengan ramalan seorang Wali yang waskita, Wahyu Keprabon ternyata telah jatuh
di Alas Mentaok yang sekarang ini telah menjadi kerajaan Mataram.”
“Ki Waskita benar,” jawab Ki Patih sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun yang perlu diluruskan adalah, siapakah
yang telah mengaku sebagai trah Pangeran Sekar itu? Seperti yang telah kita
ketahui bersama, Pangeran Sekar meninggalkan dua orang putra, Harya Penangsang
dan Harya Mataram. Harya Penangsang gugur dalam peperangan antara Pajang dan
Jipang di pinggir bengawan sore, sedangkan Harya Mataram telah lolos dan sampai
sekarang tidak ada kabar beritanya.”
Untuk sejenak ruang dalam
Kepatihan itu kembali menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam
angan-angan mereka. Sementara di luar angin malam bertiup agak kencang sehingga
telah mengguncang daun-daun pohon sawo kecik yang ditanam di sebelah regol Kepatihan.
“Sudahlah,” berkata Ki Patih
kemudian, “Persoalan itu akan menjadi pekerjaan para prajurit sandi untuk
mengungkapkan siapakah sebenarnya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda
Lepen itu,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang yang
perlu kita ketahui adalah kekuatan sebenarnya dari Padepokan Sapta Dhahana. Ki
Rangga pun agaknya sangat berkepentingan dengan berita ini. Mungkin Ki Jayaraga
dapat memberikan gambaran.”
Selesai berkata demikian Ki
Patih kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun tanggap. Secara
singkat segera diceritakan hasil
pengamatannya bersama Glagah Putih di Padepokan Sapta Dhahana.
“Ampun Ki Patih, sebagaimana
yang pernah Ki Patih sampaikan. Perguruan itu memang mempunyai sebuah ritual
yang cukup aneh. Kami berdua sempat menyaksikan walaupun dari jarak yang agak
jauh. Setiap murid perguruan itu senang bermain-main dengan api,” Ki Jayaraga
memulai kisahnya, “Pada tingkat kemampuan yang paling rendah, murid-murid
padepokan itu mampu berjalan dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara api
tanpa menderita luka sedikit pun. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang
telah dilumuri sekujur tubuhnya dengan sejenis minyak kemudian dibakar.
Ternyata tubuh orang tersebut tidak mempan dibakar api, bahkan pakaian yang
dikenakannya pun tetap utuh, tidak hangus dimakan api.”
Mereka yang hadir di ruangan
itu menjadi berdebar-debar. Jika murid-muridnya saja mampu menunjukkan
pengeram-eram seperti itu, bagaimana dengan kemampuan gurunya sendiri?
“Semasa mudaku aku memang
pernah mendengar perguruan itu,” Ki Patih memberikan tanggapannya, “Seingatku
perguruan itu memang senang bermain-main dengan api, sesuai dengan namanya
Sapta Dhahana,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengumpulkan daya ingatnya.
Lanjutnya kemudian, “Kekuatan yang terpancar dari puncak ilmu perguruan Sapta
Dhahana itu, tentu tidak lepas dari kekuatan api, entah itu berupa semburan api
yang sangat panas, atau bola-bola api yang sangat panas yang terlontar dengan
kekuatan nggegirisi. Aku berharap semua ini akan memberikan sedikit gambaran
tentang kekuatan perguruan Sapta Dhahana kepada Ki Rangga Agung Sedayu,”
kembali Ki Patih berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih
pun melanjutkan kata-katanya, “Bukankah janji Kiai Damar Sasangka itu masih
berlaku Ki Rangga?”
Ki Rangga Agung Sedayu yang
mendapat pertanyaan dari Ki Patih itu hanya dapat menundukkan kepalanya
dalam-dalam sambil menyembah. Dia segera teringat akan penuturan Kiai Sabda
Dadi yang pernah berjumpa langsung dan menerima pesan dari pemimpin perguruan
Sapta Dhahana itu. Kiai Damar Sasangka telah memberinya waktu sebulan lebih
sepuluh hari untuk menyembuhkan luka-lukanya. Jika batas waktu itu telah
tercapai, bagaimana pun keadaan dirinya, Pemimpin perguruan di lereng gunung
Tidar itu tetap akan membunuhnya, melawan ataupun tidak melawan.
“Sampai kapan aku akan
terbebas dari lingkaran dendam yang tak berkesudahan ini?” Ki Rangga hanya
dapat mengeluh dalam hati.
Maturnuwun Mbah Man ada wedaran dipagi hari...
BalasHapusSugeng enjang para kadang...
Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya di pagi hari yang masih hujan dari tadi malam,
BalasHapusGeng-injang ugi Nyi Rien
Wah hujan merata nggih ki Wid..Banyumas dan sekitarnya juga hujan dari kemarin sore sampai siang ini masih gerimis dan mendung hitam menggantung awan..hihi..ketularan puitis kados ki Adiwa..
HapusLoh koq disini mataharinya mencorong sekali...hehe
HapusMendung menggantung di Banyumas
Menurunkan gantungan cucian yang baru saja diperas
Banyak wanita Banyumas mengeluh cemas
Menanti sinar mentari yang panas
Untuk mengeringkan cucian yang sudah dibilas
Hehehe.....mblayuuu...helm...helm
hadu.....
BalasHapusaku ketinggalan dua rontal
Wedaran jumat. Matur nuwun mbah man.
BalasHapusAlhamdulilah....matur nuwun sanget Mbah Man....
BalasHapusTantangan Kiai Damar Sasangko yang tertunda akan berlanjut....
Dan Ki Ageng Selagilang juga menantikan pertarungan di leg kedua..... semangkin seru pastinya cerita olahan Mbah Man...
Matur nuwun mbah Man, wedaran di hari jumaat barokah
BalasHapusalkhamdulillah, lg transit bpn sambil nunggu singa dpt wedaran....
BalasHapusMatur nuwun Man.
BalasHapusMakin seru . . . .
BalasHapusHadir, matur nuwun Mbah Man, Jum'at Barakah ..... tetap semangat !
BalasHapusBagus bgt ceritanya, cuma sayang per episode nya trlalu pendek.
BalasHapusMakasih.
Bagus bgt ceritanya, cuma sayang per episode nya trlalu pendek.
BalasHapusMakasih.
Baru sempat muter taman bacaan , ternyata sudah ada wedaran siap saji .... matur nuwun sanget Mbah Man .... sekarang baca duluuuuuu ...
BalasHapusMatur nuwun mbah_man, prei prei ono rontal....siip siip...ya mbah...
BalasHapusMatur Nuwun Mbah Man
BalasHapus