Sabtu, 10 Desember 2016

TADBM 416_14

Dalam pada itu  di medan pertempuran sebelah selatan, ketiga perempuan yang telah hadir di lemah cengkar atas bantuan Kanjeng Sunan,  tandang mereka benar-benar ngedab-edabi. Sekar Mirah yang hatinya sedang gundah telah melampiaskan kejengkelannya kepada lawan-lawannya. Tongkat baja putihnya benar-benar  menjadi alat pencabut nyawa. Setiap sentuhan pada bagian tubuh lawan-lawannya dapat berakibat  maut.

Seorang yang rambutnya sudah ubanan mencoba menahan tandang istri Ki Rangga Agung Sedayu itu. Senjatanya yang berupa sebuah bindi terbuat dari kayu berlian terayun ayun mengerikan. Dengan kekuatan raksasanya, orang yang sudah ubanan itu mencoba menangkis tongkat baja putih Sekar Mirah.

“Perempuan ini terlampau ganas dan liar,” geram orang ubanan itu dalam hati, “Akan aku membuat senjatanya patah atau bahkan terlepas dari genggamannya.”

Demikianlah ketika kesempatan itu tiba, begitu senjata Sekar Mirah terayun deras mengarah kening, dengan kekuatan penuh orang yang sudah ubanan itu mengayunkan bindinya untuk menangkis.

Akibatnya sungguh diluar dugaan. Bukan tongkat baja putih Sekar mirah yang terlempar, justru bindi di tangan orang ubanan itulah yang hampir terlepas. Dengan cepat dia segera meloncat mundur untuk memperbaiki genggamannya.

“Perempuan iblis..!” umpat orang ubanan itu sambil  memeriksa senjatanya. Ternyata bindi itu tidak mengalami kerusakan yang berarti. Sementara kawan-kawannya yang lain telah melindunginya dari serangan susulan Sekar Mirah.

Sedangkan Pandan Wangi bertempur lebih tenang dari adik iparnya itu. Sepasang pedangnya berputaran dan mematuk-matuk sehingga membuat lawan-lawannya menjadi gentar dan tidak berani mendekat.

“Medan pertempuran bukan tempat pembantaian,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Sejauh mungkin pembunuhan dapat dihindari jika kita mampu membuat lawan-lawan kita  bertekuk lutut dan dengan penuh kesadaran menyerahkan diri.”

Untuk itulah Pandan Wangi berusaha mengurangi tekanan para prajurit Mataram dengan menarik perhatian musuh sebanyak-banyaknya. Tandangnya yang bagaikan burung sikatan di tengah padang itu telah menarik perhatian  para pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja mereka meninggalkan lawan-lawan mereka dan mencoba mengatasi tandang putri dari Menoreh itu.

“Kita tangkap perempuan ini hidup-hidup,” berkata seorang yang berkumis tebal dan berjambang lebat kepada kawan-kawannya, “Walaupun sudah berumur, namun perempuan ini masih terlihat cantik. Aku akan membawanya pulang dan akan aku jadikan istri kedua.”

“Enak saja!” sergah orang di sebelahnya, “Aku juga mau. Sudah sampai setua ini aku belum pernah merasakan kehangatan seorang perempuan.”

“Ah! Macam kau..!” seorang yang berperawakan kurus memaki, “Jika sampai setua ini engkau benar-benar belum pernah berhubungan dengan seorang perempuan, tentu ada sesuatu yang salah.”

“He? Apa maksudmu?!” geram orang itu.

“Sudah, sudah..! jangan bertengkar. Mari kita tangkap perempuan ini hidup-hidup. Kita akan mendapatkan mainan yang sangat mengasyikkan,” orang yang berjambang lebat itu menengahi.

Demikianlah sejenak kemudian Pandan Wangi pun harus bertempur melawan delapan orang sekaligus.

Dalam pada itu Anjani yang hadir paling akhir hanya berusaha mempertahankan diri dari serangan-serangan yang tiba-tiba saja meluncur ke arahnya. Dia tidak berusaha memancing perhatian para pengikut Pangeran Ranapati sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Langkah perempuan muda itu hanya satu-satu sambil sesekali meloncat menghindar. Perhatiannya memang sedang tertuju pada suara cambuk yang meledak-ledak tak henti-hentinya di medan pertempuran itu.

“Mengapa begitu banyak orang yang bersenjatakan cambuk di medan pertempuran ini?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam benaknya.

Ketika pandangan matanya sekilas melihat medan pertempuran di bagian tengah, Anjani menjadi terkejut. Tampak seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya sedang mempertahankan diri dengan susah payah melawan gempuran seorang anak muda yang bersenjatakan sepasang trisula.

“Siapakah kakek tua itu?” bertanya Anjani dalam hati, “Menilik jenis senjata yang digunakannya, tentu kakek tua itu ada hubungannya dengan Ki Rangga Agung Sedayu."

Berpikir sampai disitu, dengan cepat Anjani segera bergeser dari tempatnya dan berlari menyusup di antara riuhnya pertempuran mendekati tempat kakek tua itu sedang menyabung nyawa.

Sebenarnyalah Ki Widura benar-benar sedang mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ilmu-ilmu yang tertimbun di dalam dirinya menjadi tidak berarti begitu kekuatan wadagnya tidak mendukung. Sementara lawannya adalah seorang anak muda yang mempunyai kelincahan dan kekuatan.ngedab-edabi.

Segores demi segores luka telah menghiasi tubuh mantan Perwira Pajang itu. Darah dan keringat rasa-rasanya telah terperas habis dari sekujur tubuhnya. Namun sebagai mantan prajurit Wira tamtama semasa Pajang masih tegak berdiri, pantang bagi dirinya untuk menyerah.

“Mengapa engkau tidak segera menyerah kakek tua?” geram anak muda itu sambil meloncat maju, “Percayalah, aku tidak akan menyakitimu pada saat-saat terakhirmu. Dengan sebuah tusukan di jantungmu, engkau akan mati dengan tenang, dari pada mati dengan luka arang kranjang, tentu akan lebih menyakitkan.”

Ki Widura tidak menjawab. Dicobanya untuk memutar cambuknya sekuat tenaga, namun tenaganya sudah habis sehingga dengan mudah lawannya mampu menyusup di antara putaran cambuknya.

Sebelum Ki Widura sempat menarik cambuknya, tangan kiri lawannya yang menggenggam trisula itu telah menyambar pundak. Sementara tangannya yang lain memutar rantai yang ujungnya juga terdapat  sebuah trisula  dengan deras di atas kepala.

Ki Widura yang melihat arah serangan lawannya masih sempat bergeser ke samping. Namun ketika ujung trisula yang lain meluncur deras mematuk dada, Ki Widura sedikit terlambat menghindar . Ujung senjata lawannya yang sangat tajam itu pun untuk ke sekian kalinya telah menggoreskan sebuah luka di bagian tubuhnya.

Terdengar Ki Widura berdesis tertahan. Kembali darah memancar dan ketahanan tubuh Ki Widura pun semakin melemah.

Ketika sekali lagi anak muda itu memutar senjatanya di atas kepala, Ki Widura hanya dapat memandang ujung trisula yang berputar deras itu dengan pandangan pasrah. Sejenak kemudian, senjata lawannya pun telah meluncur dengan deras mengarah  jantung.


Masih ada usaha terakhir dari Ki Widura untuk bergeser menghindari ujung trisula itu langsung menembus jantung. Namun tenaganya benar-benar telah terperas habis bagaikan air hujan yang lenyap tak berbekas terhisap oleh bumi.

12 komentar :

  1. Alhamdulillah, Maturnuwun Mbah Haji Man, Sugeng sihat sejahtera kagem panjenengan. Aamiin ya Rabb.

    BalasHapus
  2. Secangkir kopi dah amblas, sementara ketela rebus blum muncul2. ternyata baru mo beli ke pasar. oalaah mbah putri mbah putri, tiwas dienteni....
    wedaran lagi mungkin nanti sore, malam ada musyawaroh di masjid, mbah man wajib hadir untuk memimpin musyawaroh.
    matur suwun atas perhatian dan donasinya
    mbah man

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun Mbah Man, ..... tetap semangat !

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. Bagaimana nasib Widuara ...... ? Apakah AS dapat mengalahkan guru Pangeran Rana Pati....?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk lebih pastinya mari kita tunggu rontal berikutnya...sembari menunggu mbah putri masak ketela rebus....hehehe

      Matur nuwun sanget Mbah Man...

      Glagah Putih kalau menyaksikan ayahnya luka pasti getun....pasti akan dicari pemuda bertrisula itu.....

      Hapus
  4. Alhamdulillah, awan awan ono rontal...matur nuwun mbah_man...semoga tetep diparingi sehat dan ketela rebusnya nanti sore wis tersaji...😂😂

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mBahMan atas rontalnya.

    BalasHapus
  6. semoga anjani masih sempet menyelamatkan ke widura..

    BalasHapus
  7. Matur nuwun sanget Mbah Man ..... deg deg an tingkat dewa, dan penasaran luar biasa ....

    Moga moga selalu sehat dan lancar dalam semua kegiatannya Mbah Man ....

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.