Dalam pada itu di medan pertempuran sebelah selatan, ketiga
perempuan yang telah hadir di lemah cengkar atas bantuan Kanjeng Sunan, tandang mereka benar-benar ngedab-edabi. Sekar
Mirah yang hatinya sedang gundah telah melampiaskan kejengkelannya kepada
lawan-lawannya. Tongkat baja putihnya benar-benar menjadi alat pencabut nyawa. Setiap sentuhan
pada bagian tubuh lawan-lawannya dapat berakibat maut.
Seorang yang rambutnya sudah
ubanan mencoba menahan tandang istri Ki Rangga Agung Sedayu itu. Senjatanya yang
berupa sebuah bindi terbuat dari kayu berlian terayun ayun mengerikan. Dengan kekuatan
raksasanya, orang yang sudah ubanan itu mencoba menangkis tongkat baja putih
Sekar Mirah.
“Perempuan ini terlampau ganas
dan liar,” geram orang ubanan itu dalam hati, “Akan aku membuat senjatanya patah
atau bahkan terlepas dari genggamannya.”
Demikianlah ketika
kesempatan itu tiba, begitu senjata Sekar Mirah terayun deras mengarah kening,
dengan kekuatan penuh orang yang sudah ubanan itu mengayunkan bindinya untuk
menangkis.
Akibatnya sungguh diluar
dugaan. Bukan tongkat baja putih Sekar mirah yang terlempar, justru bindi di
tangan orang ubanan itulah yang hampir terlepas. Dengan cepat dia segera
meloncat mundur untuk memperbaiki genggamannya.
“Perempuan iblis..!” umpat
orang ubanan itu sambil memeriksa senjatanya.
Ternyata bindi itu tidak mengalami kerusakan yang berarti. Sementara kawan-kawannya
yang lain telah melindunginya dari serangan susulan Sekar Mirah.
Sedangkan Pandan Wangi
bertempur lebih tenang dari adik iparnya itu. Sepasang pedangnya berputaran dan
mematuk-matuk sehingga membuat lawan-lawannya menjadi gentar dan tidak berani
mendekat.
“Medan pertempuran bukan
tempat pembantaian,” berkata Pandan Wangi dalam hati, “Sejauh mungkin pembunuhan dapat dihindari jika kita mampu membuat lawan-lawan kita bertekuk lutut dan dengan penuh kesadaran
menyerahkan diri.”
Untuk itulah Pandan Wangi
berusaha mengurangi tekanan para prajurit Mataram dengan menarik perhatian
musuh sebanyak-banyaknya. Tandangnya yang bagaikan burung sikatan di tengah
padang itu telah menarik perhatian para
pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja mereka meninggalkan lawan-lawan mereka
dan mencoba mengatasi tandang putri dari Menoreh itu.
“Kita tangkap perempuan ini
hidup-hidup,” berkata seorang yang berkumis tebal dan berjambang lebat kepada
kawan-kawannya, “Walaupun sudah berumur, namun perempuan ini masih terlihat
cantik. Aku akan membawanya pulang dan akan aku jadikan istri kedua.”
“Enak saja!” sergah orang di
sebelahnya, “Aku juga mau. Sudah sampai setua ini aku belum pernah merasakan
kehangatan seorang perempuan.”
“Ah! Macam kau..!”
seorang yang berperawakan kurus memaki, “Jika sampai setua ini engkau
benar-benar belum pernah berhubungan dengan seorang perempuan, tentu ada sesuatu
yang salah.”
“He? Apa maksudmu?!”
geram orang itu.
“Sudah, sudah..!
jangan bertengkar. Mari kita tangkap perempuan ini hidup-hidup. Kita akan
mendapatkan mainan yang sangat mengasyikkan,” orang yang berjambang lebat itu
menengahi.
Demikianlah sejenak
kemudian Pandan Wangi pun harus bertempur melawan delapan orang sekaligus.
Dalam pada itu Anjani
yang hadir paling akhir hanya berusaha mempertahankan diri dari
serangan-serangan yang tiba-tiba saja meluncur ke arahnya. Dia tidak berusaha
memancing perhatian para pengikut Pangeran Ranapati sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Langkah perempuan muda itu hanya
satu-satu sambil sesekali meloncat menghindar. Perhatiannya memang sedang
tertuju pada suara cambuk yang meledak-ledak tak henti-hentinya di medan
pertempuran itu.
“Mengapa begitu
banyak orang yang bersenjatakan cambuk di medan pertempuran ini?” pertanyaan
itu berputar-putar di dalam benaknya.
Ketika pandangan
matanya sekilas melihat medan pertempuran di bagian tengah, Anjani menjadi terkejut.
Tampak seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya sedang mempertahankan
diri dengan susah payah melawan gempuran seorang anak muda yang bersenjatakan
sepasang trisula.
“Siapakah kakek tua
itu?” bertanya Anjani dalam hati, “Menilik jenis senjata yang digunakannya, tentu kakek tua itu ada
hubungannya dengan Ki Rangga Agung Sedayu."
Berpikir sampai
disitu, dengan cepat Anjani segera bergeser dari tempatnya dan berlari menyusup di antara riuhnya
pertempuran mendekati tempat kakek tua itu sedang menyabung nyawa.
Sebenarnyalah Ki Widura
benar-benar sedang mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ilmu-ilmu yang
tertimbun di dalam dirinya menjadi tidak berarti begitu kekuatan wadagnya tidak
mendukung. Sementara lawannya adalah seorang anak muda yang mempunyai
kelincahan dan kekuatan.ngedab-edabi.
Segores demi segores
luka telah menghiasi tubuh mantan Perwira Pajang itu. Darah dan keringat
rasa-rasanya telah terperas habis dari sekujur tubuhnya. Namun sebagai mantan
prajurit Wira tamtama semasa Pajang masih tegak berdiri, pantang bagi dirinya
untuk menyerah.
“Mengapa engkau tidak
segera menyerah kakek tua?” geram anak muda itu sambil meloncat maju, “Percayalah,
aku tidak akan menyakitimu pada saat-saat terakhirmu. Dengan sebuah tusukan di
jantungmu, engkau akan mati dengan tenang, dari pada mati dengan luka arang kranjang,
tentu akan lebih menyakitkan.”
Ki Widura tidak
menjawab. Dicobanya untuk memutar cambuknya sekuat tenaga, namun tenaganya
sudah habis sehingga dengan mudah lawannya mampu menyusup di antara putaran
cambuknya.
Sebelum Ki Widura sempat
menarik cambuknya, tangan kiri lawannya yang menggenggam trisula itu telah
menyambar pundak. Sementara tangannya yang lain memutar rantai yang ujungnya juga
terdapat sebuah trisula dengan deras di atas kepala.
Ki Widura yang
melihat arah serangan lawannya masih sempat bergeser ke samping. Namun ketika
ujung trisula yang lain meluncur deras mematuk dada, Ki Widura sedikit terlambat
menghindar . Ujung senjata lawannya yang sangat tajam itu pun untuk ke sekian
kalinya telah menggoreskan sebuah luka di bagian tubuhnya.
Terdengar Ki Widura
berdesis tertahan. Kembali darah memancar dan ketahanan tubuh Ki Widura pun
semakin melemah.
Ketika sekali lagi
anak muda itu memutar senjatanya di atas kepala, Ki Widura hanya dapat
memandang ujung trisula yang berputar deras itu dengan pandangan pasrah. Sejenak
kemudian, senjata lawannya pun telah meluncur dengan deras mengarah jantung.
Masih ada usaha terakhir
dari Ki Widura untuk bergeser menghindari ujung trisula itu langsung menembus
jantung. Namun tenaganya benar-benar telah terperas habis bagaikan air hujan yang
lenyap tak berbekas terhisap oleh bumi.
Alhamdulillah, Maturnuwun Mbah Haji Man, Sugeng sihat sejahtera kagem panjenengan. Aamiin ya Rabb.
BalasHapusSecangkir kopi dah amblas, sementara ketela rebus blum muncul2. ternyata baru mo beli ke pasar. oalaah mbah putri mbah putri, tiwas dienteni....
BalasHapuswedaran lagi mungkin nanti sore, malam ada musyawaroh di masjid, mbah man wajib hadir untuk memimpin musyawaroh.
matur suwun atas perhatian dan donasinya
mbah man
Matur nuwun Mbah Man, ..... tetap semangat !
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusBagaimana nasib Widuara ...... ? Apakah AS dapat mengalahkan guru Pangeran Rana Pati....?
BalasHapusUntuk lebih pastinya mari kita tunggu rontal berikutnya...sembari menunggu mbah putri masak ketela rebus....hehehe
HapusMatur nuwun sanget Mbah Man...
Glagah Putih kalau menyaksikan ayahnya luka pasti getun....pasti akan dicari pemuda bertrisula itu.....
Alhamdulillah, awan awan ono rontal...matur nuwun mbah_man...semoga tetep diparingi sehat dan ketela rebusnya nanti sore wis tersaji...😂😂
BalasHapusMatur nuwun mBahMan atas rontalnya.
BalasHapusMatur nuwun mbah. Semangkin seru
BalasHapusMatur nuwun mbah Man
BalasHapussemoga anjani masih sempet menyelamatkan ke widura..
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man ..... deg deg an tingkat dewa, dan penasaran luar biasa ....
BalasHapusMoga moga selalu sehat dan lancar dalam semua kegiatannya Mbah Man ....