Selasa, 06 Desember 2016

TADBM 416_10

Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar Kanjeng Sunan mengulangi pertanyaannya. Dengan gemetar putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu pun segera menghaturkan sembah sambil menjawab, “Mohon ampun Kanjeng Sunan. Sebenarnyalah apa yang sedang mereka perselisihkan itu adalah masalah yang sangat pribadi. Hamba tidak berani mengungkapkannya karena kedudukan hamba disini hanya sebagai saksi. Hamba mohon, sebaiknya mereka berdua sajalah yang menjawab.”

Kembali Kanjeng Sunan menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menatap lurus ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Beberapa saat tadi Ki Jayaraga dan muridnya berusaha mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sanggar. Namun atas seijin Yang Maha Agung, doa Kanjeng Sunan telah dikabulkan sehingga  Guru dan murid itu tidak mampu melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam sanggar.

“Nyi Pandan Wangi,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Seseorang yang sudah berani dengan penuh kesadarannya untuk menyediakan diri sebagai saksi, harus berani mengungkapkan apa yang telah disaksikannya dan diyakininya dengan apa adanya, tanpa terpengaruh  oleh berbagai hal di sekelilingnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang disaksikannya,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekali lagi aku ingin mengetahui, apakah yang telah Nyi Pandan Wangi saksikan sehubungan dengan pertikaian antara Nyi Sekar Mirah dan Ni Anjani?”

Untuk beberapa saat  Pandan Wangi termenung. Ingatannya melayang ke beberapa saat yang lalu ketika Sekar Mirah melangkah memasuki pintu sanggar.

“Nah, aku sudah menepati janjiku untuk datang ke sanggar,” berkata Sekar Mirah begitu dia berdiri di hadapan kedua perempuan itu, “Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan mengeroyokku ataukah kalian akan maju satu-persatu? Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Mirah!” tegur Pandan Wangi dengan sedikit keras, “Jagalah ucapanmu. Aku berdiri di sini bermaksud untuk mendamaikan kalian berdua, bukan justru sebaliknya. Permasalahan yang terjadi di antara kalian  masih bisa diselesaikan tanpa melibatkan tajamnya ujung senjata. Marilah, kita duduk bersama dengan kepala dingin dan hati yang ikhlas.”

“Tidak mbokayu,” jawab Sekar Mirah dengan serta merta, “Permasalahan ini sudah menyinggung harga diri sebuah keluarga. Keutuhan keluargaku sekarang ini sedang dipertaruhkan.”

“Aku juga berkeberatan, mbokayu Pandan Wangi,” sergah Anjani cepat, “Aku sangat berkeberatan jika aku dituduh telah mengganggu keluarga Ki Rangga AgungSedayu. Justru sekarang ini kedudukanku adalah sebagai seorang tawanan, tawanan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Omong kosong!” bentak Sekar Mirah. Wajahnya yang merah padam bertambah kelam, “Untuk apa suamiku menawanmu, he?!  Apakah engkau merasa terlalu cantik sehingga suamiku telah merebutmu dari seseorang atau dari tangan calon suamimu barangkali?!”

“Mirah..!” kembali Pandan Wangi bersuara agak keras, “Dengarlah! Seperti yang sudah pernah aku sampaikan kepadamu. Kakang Agung Sedayu memang sedikit banyak telah bercerita kepadaku tentang Anjani sewaktu kami sedang bersiap menghadapi pasukan Panembahan Cahya Warastra beberapa saat lalu di tepian kali Praga,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Kakang Agung Sedayu memang pernah berperang tanding melawan murid-murid Tal Pitu yang membalas dendam menuntut kematian guru mereka. Mereka menuntut  nyawa Ki Rangga sebagai taruhannya. Sedangkan di pihak Ki Rangga,  Anjani dijadikan sebagai taruhan jika Ki Rangga dapat keluar sebagai pemenang. Tujuan sebenarnya dari Ki Rangga hanyalah untuk membuat kedua murid Tal Pitu itu marah dan kehilangan penalaran, bukan dengan tujuan yang sebenarnya. Namun karena ternyata Ki Rangga yang keluar sebagai pemenang, maka apapun yang terjadi Ki Rangga harus menepati janjinya untuk membawa Anjani ke Menoreh.”

“Sebentar mbokayu,” potong Anjani sebelum Sekar Mirah sempat menanggapi kata-kata Pandan Wangi, “Aku bukan menuntut janji Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah, maksud yang sebenarnya di balik janji Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh. Aku bukan sebuah barang yang sedemikian mudahnya dibawa kesana-kemari kemudian untuk diletakkan di sembarang tempat. Aku adalah manusia yang mempunyai harga diri dan nilai, walaupun mungkin orang-orang menilai diriku tidak terlalu tinggi, namun aku tidak peduli. Yang aku tuntut adalah ketegasan Ki Rangga, untuk tujuan apa  sebenarnya aku ini dibawa ke Menoreh?”

Bagaikan bongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari puncak bukit, kata-kata Anjani itu pun satu-persatu telah menghentak-hentak dada Sekar Mirah. Anak perempuan satu-satunya Ki Demang Sangkal Putung itu pun sejenak bagaikan tersumbat jalan nafasnya. Dadanya bergelombang naik turun namun alangkah sulitnya bagi Sekar Mirah hanya untuk sekedar menarik nafas. Pandang matanya memerah darah, sementara tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya telah bergetar dahsyat menahan kemarahan yang telah mencapai ubun-ubun.

“Apakah yang sedang engkau pikirkan, Nyi Pandan Wangi?” tiba-tiba pertanyaan Kanjeng Sunan telah menyadarkan Pandan Wangi dari lamunannya, “Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Aku sengaja tidak ingin bertanya kepada kedua perempuan ini yang nalar mereka untuk sementara masih buram dan diliputi oleh kemarahan. Aku bertanya kepadamu karena aku ingin mengetahui  sisi yang sebenarnya dari permasalahan ini.”


“Ampun Kanjeng Sunan,” akhirnya Pandan Wangi sudah tidak dapat mengelak lagi, “Permasalahan yang sebenarnya bersumber pada diri Ki Rangga Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Anjani telah membuat penilaian terhadap Ki Rangga menurut pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut hemat hamba, untuk menyelesaikan permasalahan  ini sebaiknya  Ki Rangga harus dilibatkan, agar jelas permasalahannya.”

15 komentar :

  1. matur nuwun mBah-Man, mugi Sang Hyang Widi tansah paring karahayon, kasantosan, lan kesehatan dumateng kasaenan panjenengan.

    BalasHapus
  2. matur nuwun mBah-Man,atas rontalnya.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah_Man,makin seru ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man
    tombo ngantuk.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun sanget mbah man ..... makin deg deg plassss .... penasaran gimana caranya Ki Ras menyelesaikan masalah Anjani .....

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Mbah _man, wis Jian geregetan nunggu Ki Rangga hehehe...

    BalasHapus
  7. Rahasia 3 wanita iki mengko dak bocorke ke Jayaraga dan GP ...lumayanlah ono mahare

    BalasHapus
  8. Maturnuwun mbah Man..... semoga mbah Man selalu sehat dan berkah rejekinya....

    BalasHapus
  9. tadbm 416-12 ................... ngenteni kanthi kemecer

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.