Kanjeng Sunan menarik nafas
dalam-dalam mendengar jawaban Pandan Wangi. Sejenak dipandanginya ketiga
perempuan yang sedang bersimpuh di hadapannya itu ganti-berganti. Berbagai pertimbangan
telah muncul dalam benak Kanjeng Sunan.
“Anak-anakku,” berkata
Kanjeng Sunan kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Ketahuilah, Ki Rangga
Agung Sedayu pada saat ini sedang melaksanakan tugas yang dibebankan langsung
oleh Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati untuk menangkap hidup atau mati
orang yang mengaku sebagai trah
Mataram,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Untuk itu
hendaknya kalian jangan memberikan beban yang berlebihan kepadanya. Masih
banyak tugas yang menunggu Ki Rangga untuk diselesaikan. Semua itu dilakukan
oleh Ki Rangga bukan karena mengejar pamrih pribadi, namun karena jabatan dan tugas yang disandangnya sebagai Senapati
Agul-Agulnya Mataram.”
Ketiga perempuan itu tampak
mengerutkan keningnya dalam-dalam terutama Sekar Mirah. Dengan memberanikan diri,
akhirnya Sekar Mirah pun mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan,
bukankah suamiku sedang sakit? Bagaimana mungkin suamiku dapat melaksanakan
tugasnya saat ini?”
Kanjeng Sunan tersenyum. Jawabnya
kemudian, “Itulah karunia tiada terkira yang telah diberikan oleh Yang Maha
Agung kepada suamimu. Sekarang ini dia sedang membantu pasukan berkuda Mataram
melawan para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati di padang rumput lemah cengkar,.”
“Lemah Cengkar?” hampir bersamaan
Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengulang sambil mengangkat kepala mereka. Sedangkan
Anjani tetap bersimpuh dengan kepala tunduk.
“Apakah ada yang aneh dengan
Lemah Cengkar?” bertanya Kanjeng Sunan kemudian.
Mendapat pertanyaan dari
Kanjeng Sunan, barulah keduanya tersadar atas sikap deksura mereka. Dengan serta
merta keduanya pun segera menundukkan wajah mereka kembali.
“Mohon ampun Kanjeng Sunan,”
Pandan Wangilah yang menjawab sambil menyembah, “Mohon dimaafkan atas
keterlanjuran kami. Kami berdua sangat heran. Lemah cengkar dengan Menoreh
jaraknya hampir setengah hari jika berkuda terus-menerus tanpa berhenti. Biasanya
jika kami melakukan perjalanan dari Menoreh ke Sangkal Putung, kami memerlukan waktu untuk beristirahat sejenak di kali opak, sekedar memberikan kesempatan kepada
kuda-kuda kami agar beristirahat dan minum. Sehingga menjelang senja, biasanya kami baru
sampai di Sangkal Putung.”
Kanjeng Sunan kembali
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejenak,
barulah Kanjeng Sunan berkata, “Sekali lagi sebuah karunia yang tiada taranya
telah diberikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Atas seijin Yang Maha Agung,
jarak bukan lagi menjadi kendala baginya.”
Ketiga orang perempuan itu
serempak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai tanggapan yang
berbeda-beda telah muncul dalam benak masing-masing. Ada rasa bangga yang tiada
taranya dalam dada Sekar Mirah. Rasa bangga itu berkembang menjadi sebuah angan-angan
dan harapan, kelak di kemudian hari suaminya pasti akan mendapat anugrah dan jabatan yang lebih
tinggi lagi yang berarti kebahagian dan
kesejahteraan juga bagi keluarganya.
Sedangkan Pandan Wangi
semakin tunduk saja wajahnya. Memang ada rasa kagum dan bangga yang menyelinap
di dalam dadanya atas kemajuan yang dicapai oleh Ki Rangga, namun selebihnya
Pandan Wangi lebih banyak meratapi nasibnya.
“Pilihan pertamaku memang
tidak salah,” desah Pandan Wangi dalam hati, “Namun saatnya lah yang tidak
tepat. Aku menjatuhkan pilihan pertamaku kepada Kakang Agung Sedayu justru pada
saat dia telah mempunyai tambatan hati.”
Sementara Anjani hanya
menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya terlihat datar-datar saja. Kini dia mulai
menyadari bahwa harapannya terlampau melambung. Ki Rangga adalah laki-laki yang
hampir tanpa cacat dengan ilmu yang sulit untuk dijajagi. Sedangkan dirinya
hanyalah perempuan tanpa sanak kadang, tanpa masa depan dan harapan serta terlebih lagi tanpa cinta.
“Anak-anakku,” terdengar
suara Kanjeng Sunan memecah keheningan sehingga membuat ketiga perempuan itu
terbangun dari mimpi masing-masing, “Pertempuran di lemah Cengkar sangat berat
sebelah. Jumlah lawan hampir dua kali lipat. Untunglah pasukan berkuda Mataram
adalah prajurit pilihan sehingga sampai saat ini mereka masih dapat bertahan. Namun
lambat laun pertahanan itu pun pasti akan pecah dan korbanpun akan berjatuhan jika
tidak segera datang bantuan. Pergilah ke Lemah Cengkar. Bantulah pasukan
Mataram. Tenaga kalian sangat dibutuhkan di sana.”
Pandan Wangi dan Sekar Mirah
terkejut bukan alang kepalang mendengar perintah Kanjeng Sunan. Tanpa sadar
keduanya kembali mengangkat kepala mereka sambil memandang ke arah Kanjeng Sunan dengan wajah
penuh tanda tanya. Sedangkan Anjani tetap diam membisu. Dia sudah pernah
mengalami perjalanan bersama Kanjeng Sunan, sehingga perintah Kanjeng Sunan
untuk menyusul Ki Rangga ke lemah Cengkar itu sudah tidak asing lagi baginya.
Namun agaknya Kanjeng Sunan
dapat memahami perasaan kedua perempuan itu. Maka katanya kemudian, “Dengan
seijin Yang Maha Agung, aku akan mengantar kalian sampai ke lemah Cengkar. Setelah
itu aku akan melanjutkan perjalanan kembali ke gunung Muria. Aku harus sudah
sampai disana sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya.”
Bagaikan tersiram banyu
sewindu hati kedua perempuan itu begitu mendengar kesanggupan Kanjeng Sunan untuk
mengantar mereka ke lemah Cengkar.
Wah rasido paten2an
BalasHapusSuwun mBah
Matur nuwun sanget mbah man ....
BalasHapuspenasaran bagaimana solusinya untuk 3 wanita cantik ini ... penasaran bagaimana Ki RAS mengalahkan Ki Singawana Sepuh ... penasaran Ki Swandaru Geni ?? Penasarana penasarana ......
gak sabar mbah ..... mudah2x an ada wedarana lagi tombo penasaran ....
Pasti pertempuran Lemah Cengkar merupakan salah satu episode terbaik TADBM...
BalasHapusMakin....
BalasHapusMakin....
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah man
BalasHapus👦👦
matur nuwun mbahman, atas rontalnya. Anjani ampun hilang dipertempuran Lemah Cengkar...ngarep.
BalasHapusMatur nuwun mbah_man....bacaan sore yang mendebarkan hehe..nunggu ilmune ki ras metu...
BalasHapusMatur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka, datang ke taman ternyata terhampar rontal yang siap disimak ..... tetap semangat !
BalasHapusSemangat pagi.
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah.
apakah pertempuran di Lemah Cengkar merupakan akhir kehidupan Ki RAS ? meninggal dikelilingi wanita2 yg mencintainya?
BalasHapusWah.. ide yang bagus Ki Bhre Kahuripan
HapusMatur suwun
Ah...ya ndak lah Ki BK....Nantinya RAS sudah disiapkan akan menjadi panglima besar perdamaian - perintis dan pembina persatuan dan persatuan untuk mengusir VOC....
HapusKan masih punya ajian warisan dari RTJ.yang akan digunakan nanti setelah mendapat ijin dari Mbah_Man.....
(Nyuwun sewu Mbah_Man ...saya tidak rela jika RAS dapat dikalahkan oleh si Pemarah itu....)
bisa tamat atau RAS reinkarnasi .... nenggo rontal berikut.
BalasHapusTambah binun mentrik2 menoreh..
BalasHapusNgapunten lho Mbah Man ....
BalasHapusya allah, sehatkan MBAH MAN beserta KELUARGA.....
BalasHapusPanjangkan usia BELIAU.....
Bahagiakan BELIAU sebagaimana BELIAU yang selalu membahagiakan kami pengagum karya tulisan BELIAU....
LAHIR BATHIN nya...
DUNIA DAN AKHIRAT nya....
Aaamiiin
Aamin..
HapusTrimakasih mbahman
BalasHapus