Namun Ki Widura sendiri
sedang mengalami tekanan yang dahsyat dari lawannya, seorang anak muda
bersenjatakan sepasang trisula. Kedua ujung trisula itu secara bergantian
meluncur dan mematuk bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya. Walaupun Ki Widura
sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari dirinya dengan putaran cambuknya,
namun sesekali ujung trisula itu masih mampu menembus pertahanannya.
“Luar biasa,” desis Ki
Widura dalam hati sambil memiringkan tubuhnya, ujung trisula yang mematuk
pundaknya itu pun lewat hanya setebal daun dari kulitnya.
Tidak banyak yang dapat
dilakukan oleh ayah Glagah Putih itu. Usianya yang telah mendekati senja
benar-benar menjadi kendala yang utama. Walaupun mantan perwira Pajang itu
mempunyai pengalaman bertempur dari medan ke medan, namun di usia yang senja
itu, tenaga dan kemampuan penalarannya telah jauh menyusut.
“Engkau akan segera mati,
kakek tua!” teriak anak muda itu sambil terus berputaran mengelilingi Ki
Widura, “Mengapa engkau membunuh diri dengan cara seperti ini? Bukankah lebih
baik tinggal di rumah saja sambil momong cucu-cucu mu? Aku rasa itu akan lebih
baik.”
Ki Widura tidak menjawab. Rasa-rasanya
nafasnya memang sudah berkejaran keluar masuk lewat kedua lubang hidungnya. Sementara lawannya
semakin lama rasa-rasanya dapat bergerak semakin cepat dan tangkas.
Dalam pada itu, lingkaran
pertempuran antara Ki Rangga Agung sedayu melawan guru Pangeran Ranapati yang
lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, semakin lama telah bergeser semakin menjauhi medan pertempuran. Memang
mereka sengaja menjauh dari medan pertempuran agar benturan ilmu kedua orang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun
batin itu tidak mengganggu orang-orang di sekelilingnya.
Lawan Ki Rangga kali ini
benar-benar seorang yang mampu menguasai ilmunya dengan sempurna. Pada awalnya
Ki Rangga menyangka bahwa hawa dingin yang perlahan-lahan mencekam di
sekeliling lingkaran pertempuran itu karena pengaruh udara dini hari yang memang semakin
dingin. Namun ketika Ki Rangga merasakan hawa dingin itu semakin mencekam dan
rasa-rasanya telah membekukan darahnya, sadarlah Ki Rangga bahwa lawannya telah
mengetrapkan sejenis ilmu yang mampu membuat udara di sekitarnya berubah menjadi
sangat dingin.
Untunglah ilmu kebal Ki Rangga yang sudah
mencapai tingkat hampir sempurna itu dapat memancarkan hawa panas, sehingga
dengan hawa panas yang memancar dari dalam tubuhnya itu, Ki Rangga masih dapat
bertahan dari gempuran hawa dingin yang semakin lama terasa semakin mencekam.
“Hawa dingin ini
rasa-rasanya lambat laun akan dapat menembus ilmu kebalku,” berkata Ki Rangga dalam
hati sambil terus bertempur, “Jika udara ini menjadi semakin dingin dan mampu
menembus pertahananku, tentu darahku akan menjadi beku dan urat-urat nadiku di
sekujur tubuh akan pecah.”
Demikianlah kedua orang itu
akhirnya bertempur dalam ujud mereka yang sebenarnya. Ki Singawana Sepuh sudah
tidak bermain petak umpet lagi, sedangkan Ki Rangga pun telah melepaskan kedua
ujud semunya.
“Tidak ada gunanya aku
bersembunyi dengan aji kakang pembarep adi wuragil,” kembali Ki Rangga berkata
dalam hati, “Rasa dingin yang membekukan darahku ini tetap akan mampu
menjangkau tubuhku walaupun aku bersembunyi di antara kedua ujud semuku.”
Sebenarnyalah hawa dingin di
seputar lingkaran pertempuran Ki Rangga menjadi sangat dingin di luar batas
kewajaran. Ki Singawana Sepuh telah mengungkapkan sejenis ilmu yang
didapatkannya semasa dia masih muda. Semasa dia masih senang menjelajahi negeri
ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke manca negara.
“Nah, apa kataku Ki Rangga,”
berkata Ki Singawana Sepuh sambil melancarkan serangan. Dari telapak tangannya
menyembur percikan-percikan air yang membeku dan menjadi sangat tajam setajam
ujung pedang di setiap sisinya, “Jarang ada orang yang mampu bertahan
menghadapi ilmuku pada tingkat ini. Engkau
akan mati membeku sebelum engkau mampu memecahkan rahasia ilmuku ini.”
Ki Rangga tidak menjawab
kata-kata lawannya. Dengan cepat dia melenting tinggi menghindari sambaran ilmu
lawannya. Ki Rangga hanya mampu bergerak menghindar tanpa balas menyerang. Hawa dingin
yang diciptakan lawan membuat Ki Rangga kesulitan untuk bergerak mendekati
lawannya dan balas menyerang.
“Semakin mendekati
sumbernya, hawa dingin ini semakin mencekam dan tak tertahankan,” kali ini Ki
Rangga benar-benar mengeluh dalam hati.
Demikianlah Ki Rangga Agung
Sedayu harus berjuang dengan sekuat tenaga mengatasi hawa dingin yang semakin
lama semakin mencekam. Sementara serangan-serangan lawannya yang berupa percikan-percikan
air yang membeku dan setajam ujung pedang pada setiap sisinya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam pada itu di dalam
sanggar yang terletak di halaman belakang kediaman Ki Gede Menoreh, dalam
temaram sinar lampu dlupak yang diletakkan di ajug-ajug, tampak tiga orang
perempuan cantik sedang duduk bersimpuh dengan kepala tunduk. Di hadapan mereka
beberapa langkah, tampak Kanjeng Sunan sedang duduk di atas sebuah batu hitam.
“Nyi Sekar Mirah dan Ni
Anjani,” berkata Kanjeng Sunan lembut namun terasa menusuk jantung, “Apakah
sebenarnya yang telah membuat kalian berdua
bersilang sengketa sehingga telah melupakan segala suba sita dan lebih mengedepankan
kekerasan dalam menyelesaikan sebuah masalah?”
Kedua perempuan itu sama
sekali tidak berani mengangkat wajah mereka. Kepala mereka tertunduk
dalam-dalam sementara bibir mereka pun terkunci rapat.
Kanjeng Sunan menarik nafas
dalam, dalam sekali. Ketika pandangannya jatuh di wajah Pandan Wangi yang juga
menundukkan wajahnya, Kanjeng Sunan pun kemudian berkata, “Mungkin Nyi Pandan
Wangi dapat menjelaskan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi pada kedua
perempuan ini sehingga mereka menjadi waringuten dan berniat untuk saling
menghancurkan?”
Mendapat pertanyaan seperti
itu, sejenak Pandan Wangi menahan nafas. Tanpa sadar dia mencuri pandang kearah
kedua perempuan yang bersimpuh di sebelahnya. Namun agaknya kedua perempuan itu
tetap pada sikap mereka semula, menundukkan kepala mereka dalam-dalam dengan
mulut yang terbungkam.
Beberapa saat tadi memang
Sekar Mirah telah bertempur dengan sengitnya melawan Anjani. Kedua perempuan
itu masing-masing sudah tidak mampu menahan diri lagi. Sementara Pandan Wangi
yang telah menyanggupi sebagai saksi tidak mampu mencegah perkembangan keadaan yang telah terjadi.
“Mirah..! Anjani..!” teriak
Pandan wangi diantara suara denting senjata yang beradu, “Sudahlah..!
Kendalikan diri kalian masing-masing. Tidak sepatutnya kalian mempertaruhkan
nyawa untuk sesuatu hal yang sebenarnya masih dapat dibicarakan lagi!”
“Tidak mbokayu!” teriak
Sekar Mirah sambil memutar tongkat baja putihnya. Sambil mengayunkan tongkatnya
menyambar kening Anjani, dia melanjutkan, “Harga diri ini harus dibayar tuntas.
Perempuan mana yang tidak tersentuh harga dirinya jika ada seorang perempuan
jalang telah menggoda suaminya!”
“Aku bukan perempuan jalaaang...!”
jerit Anjani sambil menangkis senjata lawannya. Pedang tipis di tangan kanannya
kini yang ganti berputar cepat untuk
melibat tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah.
“Kalau engkau bukan
perempuan jalang, mengapa engkau menggoda suamiku.?!” tak kalah kerasnya Sekar
Mirah membentak sambil menarik senjatanya. Sebagai gantinya kaki kanannya lurus
menendang perut Anjani.
Anjani yang mendapat
serangan di bagian perut telah menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang Serangan
itu pun lewat sejengkal dari tubuhnya.
Sambil membalas serangan
dengan tusukan pedang ke arah ulu hati, Anjani pun balas membentak, “Suamimulah
yang telah menjadikan aku sebagai taruhan dan dia telah memenangkan taruhan
itu. Apakah aku salah jika aku menagih janji dari Ki Rangga untuk membawaku ke
Menoreh..?!”
“Bohong..! Bohoong...!
Bohooong..!” kembali Sekar Mirah membentak-bentak sambil mengayunkan tongkatnya
menangkis serangan Anjani. Namun kali ini suara Sekar Mirah terdengar sendat
dan sedikit terisak.
Demikianlah kedua perempuan
itu sudah benar-benar waringuten. Pandan wangi yang berdiri di luar lingkaran
pertempuran menjadi semakin berdebar-debar. Bagaimana pun juga, jauh di lubuk
hatinya anak perempuan satu-satunya Ki Gede Menoreh itu tidak rela jika salah
satu dari kedua perempuan itu akan menjadi bebanten hanya karena permasalahan
yang belum jelas.
“Bagaimana Nyi Pandan Wangi?”
Kanjeng Sunan mengulangi pertanyaannya sehingga membuat Pandan Wangi tersadar dari lamunannya.
Akhirnya..atas petunjuk kanjeng Sunan, SM menerima Anjani sbg wayuh
BalasHapusMatur nuwun mbah. Semoga sehat selalu.
BalasHapusMaturnuwun mbah
BalasHapusApakah hanya dengan alasan itu, harus ada istri kedua.
BalasHapusMatur nuwun Mbah_man, ono kanjeng sunan dadi adeem....
BalasHapusMatur nuwun mBahMan atas rontalnya.
BalasHapusMatur nuwun mBahMan atas rontalnya.
BalasHapusMatur nuwun mbah man wedaran rontalnya ....
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man, ternyata Sabtu Ahad ada wedaran ..... tetap semangat !
BalasHapusPenasaran ini Mbah Man...apa wejangan Kanjeng Sunan terkait urusan cinta wanita2 di seputar AS...bisa jd inspirasi hebat.
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man.....
BalasHapusAkhirnya Keyboard bisa diajak damai sempet hang....."Bagaimana Nyi Pandan Wangi" koq malah melamun bukan menjawab tegur Kanjeng Sunan..."sendiko dawuh Kanjeng sunan mungkin hamba akan menjawab setelah Mbah Man menuliskan naskah rontalnya lagi...nuwun sewu Kanjeng Sunan jawab Pandan Wangi....
416-10 .....
BalasHapus416-10 isi naskah "sementara itu di lemah cengkar Agung Sedayu masih sengit bertempur dengan Ki Ageng Selagilang"
Hapus416-11 tinjauan pertempuran Ki Widura yang berhasil melawan anak muda
416-12 liputan perkawinan prajurit jati anom yang dihadiri Tumenggung Untaradira
416-13 baru Pandan Wangi mau bicara dengan Kanjeng Sunan tapi terputus lagi karena ada berita Swandaru terluka..
416-14 ke lemah cengkar AS vs SW
Hapus416-15 ke halaman belakang 3 wanita lgi
416-16 ke lemah cengkar SG vs PR