Minggu, 04 Desember 2016

TADBM 416_9

Namun Ki Widura sendiri sedang mengalami tekanan yang dahsyat dari lawannya, seorang anak muda bersenjatakan sepasang trisula. Kedua ujung trisula itu secara bergantian meluncur dan mematuk bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya. Walaupun Ki Widura sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari dirinya dengan putaran cambuknya, namun sesekali ujung trisula itu masih mampu menembus pertahanannya.

“Luar biasa,” desis Ki Widura dalam hati sambil memiringkan tubuhnya, ujung trisula yang mematuk pundaknya itu pun lewat hanya setebal daun dari kulitnya.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh ayah Glagah Putih itu. Usianya yang telah mendekati senja benar-benar menjadi kendala yang utama. Walaupun mantan perwira Pajang itu mempunyai pengalaman bertempur dari medan ke medan, namun di usia yang senja itu, tenaga dan kemampuan penalarannya  telah jauh menyusut.

“Engkau akan segera mati, kakek tua!” teriak anak muda itu sambil terus berputaran mengelilingi Ki Widura, “Mengapa engkau membunuh diri dengan cara seperti ini? Bukankah lebih baik tinggal di rumah saja sambil momong cucu-cucu mu? Aku rasa itu akan lebih baik.”

Ki Widura tidak menjawab. Rasa-rasanya nafasnya memang sudah berkejaran keluar masuk lewat  kedua lubang hidungnya. Sementara lawannya semakin lama rasa-rasanya dapat bergerak semakin cepat dan tangkas.

Dalam pada itu, lingkaran pertempuran antara Ki Rangga Agung sedayu melawan guru Pangeran Ranapati yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, semakin lama telah bergeser semakin menjauhi medan pertempuran. Memang mereka sengaja menjauh dari medan pertempuran agar benturan ilmu kedua  orang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin itu tidak mengganggu orang-orang di sekelilingnya.

Lawan Ki Rangga kali ini benar-benar seorang yang mampu menguasai ilmunya dengan sempurna. Pada awalnya Ki Rangga menyangka bahwa hawa dingin yang perlahan-lahan mencekam di sekeliling lingkaran pertempuran itu karena pengaruh udara dini hari yang memang semakin dingin. Namun ketika Ki Rangga merasakan hawa dingin itu semakin mencekam dan rasa-rasanya telah membekukan darahnya, sadarlah Ki Rangga bahwa lawannya telah mengetrapkan sejenis ilmu yang mampu membuat udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin.

 Untunglah ilmu kebal Ki Rangga yang sudah mencapai tingkat hampir sempurna itu dapat memancarkan hawa panas, sehingga dengan hawa panas yang memancar dari dalam tubuhnya itu, Ki Rangga masih dapat bertahan dari gempuran hawa dingin yang semakin lama terasa semakin mencekam.

“Hawa dingin ini rasa-rasanya lambat laun akan dapat menembus ilmu kebalku,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus bertempur, “Jika udara ini menjadi semakin dingin dan mampu menembus pertahananku, tentu darahku akan menjadi beku dan urat-urat nadiku di sekujur tubuh akan pecah.”

Demikianlah kedua orang itu akhirnya bertempur dalam ujud mereka yang sebenarnya. Ki Singawana Sepuh sudah tidak bermain petak umpet lagi, sedangkan Ki Rangga pun telah melepaskan kedua ujud semunya.

“Tidak ada gunanya aku bersembunyi dengan aji kakang pembarep adi wuragil,” kembali Ki Rangga berkata dalam hati, “Rasa dingin yang membekukan darahku ini tetap akan mampu menjangkau tubuhku walaupun aku bersembunyi di antara kedua ujud semuku.”

Sebenarnyalah hawa dingin di seputar lingkaran pertempuran Ki Rangga menjadi sangat dingin di luar batas kewajaran. Ki Singawana Sepuh telah mengungkapkan sejenis ilmu yang didapatkannya semasa dia masih muda. Semasa dia masih senang menjelajahi negeri ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke manca negara.

“Nah, apa kataku Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh sambil melancarkan serangan. Dari telapak tangannya menyembur percikan-percikan air yang membeku dan menjadi sangat tajam setajam ujung pedang di setiap sisinya, “Jarang ada orang yang mampu bertahan menghadapi ilmuku  pada tingkat ini. Engkau akan mati membeku sebelum engkau mampu memecahkan rahasia ilmuku ini.”

Ki Rangga tidak menjawab kata-kata lawannya. Dengan cepat dia melenting tinggi menghindari sambaran ilmu lawannya. Ki Rangga hanya mampu bergerak menghindar tanpa balas menyerang. Hawa dingin yang diciptakan lawan membuat Ki Rangga kesulitan untuk bergerak mendekati lawannya dan balas menyerang.

“Semakin mendekati sumbernya, hawa dingin ini semakin mencekam dan tak tertahankan,” kali ini Ki Rangga benar-benar mengeluh dalam hati.

Demikianlah Ki Rangga Agung Sedayu harus berjuang dengan sekuat tenaga mengatasi hawa dingin yang semakin lama semakin mencekam. Sementara serangan-serangan lawannya yang berupa percikan-percikan air yang membeku dan setajam ujung pedang pada setiap sisinya tidak  dapat diabaikan begitu saja.

Dalam pada itu di dalam sanggar yang terletak di halaman belakang kediaman Ki Gede Menoreh, dalam temaram sinar lampu dlupak yang diletakkan di ajug-ajug, tampak tiga orang perempuan cantik sedang duduk bersimpuh dengan kepala tunduk. Di hadapan mereka beberapa langkah, tampak Kanjeng Sunan sedang duduk di atas sebuah batu hitam.

“Nyi Sekar Mirah dan Ni Anjani,” berkata Kanjeng Sunan lembut namun terasa menusuk jantung, “Apakah sebenarnya yang telah membuat  kalian berdua bersilang sengketa sehingga telah melupakan segala suba sita dan lebih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan sebuah masalah?”

Kedua perempuan itu sama sekali tidak berani mengangkat wajah mereka. Kepala mereka tertunduk dalam-dalam sementara bibir mereka pun terkunci rapat.

Kanjeng Sunan menarik nafas dalam, dalam sekali. Ketika pandangannya jatuh di wajah Pandan Wangi yang juga menundukkan wajahnya, Kanjeng Sunan pun kemudian berkata, “Mungkin Nyi Pandan Wangi dapat menjelaskan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi pada kedua perempuan ini sehingga mereka menjadi waringuten dan berniat untuk saling menghancurkan?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, sejenak Pandan Wangi menahan nafas. Tanpa sadar dia mencuri pandang kearah kedua perempuan yang bersimpuh di sebelahnya. Namun agaknya kedua perempuan itu tetap pada sikap mereka semula, menundukkan kepala mereka dalam-dalam dengan mulut yang terbungkam.

Beberapa saat tadi memang Sekar Mirah telah bertempur dengan sengitnya melawan Anjani. Kedua perempuan itu masing-masing sudah tidak mampu menahan diri lagi. Sementara Pandan Wangi yang telah menyanggupi sebagai saksi tidak mampu mencegah perkembangan keadaan  yang telah terjadi.

“Mirah..! Anjani..!” teriak Pandan wangi diantara suara denting senjata yang beradu, “Sudahlah..! Kendalikan diri kalian masing-masing. Tidak sepatutnya kalian mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu hal yang sebenarnya masih dapat dibicarakan lagi!”

“Tidak mbokayu!” teriak Sekar Mirah sambil memutar tongkat baja putihnya. Sambil mengayunkan tongkatnya menyambar kening Anjani, dia melanjutkan, “Harga diri ini harus dibayar tuntas. Perempuan mana yang tidak tersentuh harga dirinya jika ada seorang perempuan jalang telah menggoda suaminya!”

“Aku bukan perempuan jalaaang...!” jerit Anjani sambil menangkis senjata lawannya. Pedang tipis di tangan kanannya  kini yang ganti berputar cepat untuk melibat tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah.

“Kalau engkau bukan perempuan jalang, mengapa engkau menggoda suamiku.?!” tak kalah kerasnya Sekar Mirah membentak sambil menarik senjatanya. Sebagai gantinya kaki kanannya lurus menendang perut Anjani.

Anjani yang mendapat serangan di bagian perut telah menggeser kaki kirinya selangkah ke belakang Serangan itu pun lewat sejengkal dari tubuhnya.

Sambil membalas serangan dengan tusukan pedang ke arah ulu hati, Anjani pun balas membentak, “Suamimulah yang telah menjadikan aku sebagai taruhan dan dia telah memenangkan taruhan itu. Apakah aku salah jika aku menagih janji dari Ki Rangga untuk membawaku ke Menoreh..?!”

“Bohong..! Bohoong...! Bohooong..!” kembali Sekar Mirah membentak-bentak sambil mengayunkan tongkatnya menangkis serangan Anjani. Namun kali ini suara Sekar Mirah terdengar sendat dan sedikit terisak.

Demikianlah kedua perempuan itu sudah benar-benar waringuten. Pandan wangi yang berdiri di luar lingkaran pertempuran menjadi semakin berdebar-debar. Bagaimana pun juga, jauh di lubuk hatinya anak perempuan satu-satunya Ki Gede Menoreh itu tidak rela jika salah satu dari kedua perempuan itu akan menjadi bebanten hanya karena permasalahan yang belum jelas.


“Bagaimana Nyi Pandan Wangi?” Kanjeng Sunan mengulangi pertanyaannya sehingga membuat Pandan Wangi tersadar dari lamunannya.

14 komentar :

  1. Akhirnya..atas petunjuk kanjeng Sunan, SM menerima Anjani sbg wayuh

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah. Semoga sehat selalu.

    BalasHapus
  3. Apakah hanya dengan alasan itu, harus ada istri kedua.

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah_man, ono kanjeng sunan dadi adeem....

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mBahMan atas rontalnya.

    BalasHapus
  6. Matur nuwun mBahMan atas rontalnya.

    BalasHapus
  7. Matur nuwun mbah man wedaran rontalnya ....

    BalasHapus
  8. Matur nuwun Mbah Man, ternyata Sabtu Ahad ada wedaran ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  9. Penasaran ini Mbah Man...apa wejangan Kanjeng Sunan terkait urusan cinta wanita2 di seputar AS...bisa jd inspirasi hebat.

    BalasHapus
  10. Matur nuwun sanget Mbah Man.....

    Akhirnya Keyboard bisa diajak damai sempet hang....."Bagaimana Nyi Pandan Wangi" koq malah melamun bukan menjawab tegur Kanjeng Sunan..."sendiko dawuh Kanjeng sunan mungkin hamba akan menjawab setelah Mbah Man menuliskan naskah rontalnya lagi...nuwun sewu Kanjeng Sunan jawab Pandan Wangi....

    BalasHapus
  11. Balasan
    1. 416-10 isi naskah "sementara itu di lemah cengkar Agung Sedayu masih sengit bertempur dengan Ki Ageng Selagilang"

      416-11 tinjauan pertempuran Ki Widura yang berhasil melawan anak muda

      416-12 liputan perkawinan prajurit jati anom yang dihadiri Tumenggung Untaradira

      416-13 baru Pandan Wangi mau bicara dengan Kanjeng Sunan tapi terputus lagi karena ada berita Swandaru terluka..

      Hapus
    2. 416-14 ke lemah cengkar AS vs SW
      416-15 ke halaman belakang 3 wanita lgi
      416-16 ke lemah cengkar SG vs PR

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.