Selasa, 20 Desember 2016

TADBM 416_20 (TAMAT)

Ketika kedua orang itu telah semakin dekat, barulah Anjani dapat mengenali siapakah kedua orang itu.

“Selamat datang kakek Tanpa Aran,” berkata Anjani kemudian sambil mengangguk hormat kepada orang yang sudah sangat sepuh itu. Sedangkan kepada anak muda yang berjalan di sebelahnya, Anjani segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Selamat datang Raden Mas Rangsang.”

“Terima kasih Ni Anjani,” Raden Mas Rangsang lah yang menjawab. Sementara kakek Tanpa Aran hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Ki Lurah Adiwaswa yang mendengar nama calon penerus tahta Mataram itu disebut segera menyongsong Raden Mas Rangsang dengan tergopoh-gopoh.

“Maafkan hamba Raden,” berkata Ki Lurah kemudian sesampainya di hadapan Raden Mas Rangsang, “Hamba sangat jarang bertemu dengan Raden, sehingga hamba tidak dapat mengenali kehadiran Raden di tempat ini.”

Raden Mas Rangsang  tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih Ki Lurah. Jangan menyambutku berlebihan. Kita sedang berada di medan perang. Kesiap-siagaan dan kewaspadaan itu lebih penting dari pada segala unggah-ungguh dan suba sita.”

Orang-orang yang mendengar ucapan Pangeran Pati itu hampir bersamaan telah menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah mendengar akan kesederhanaan dan kebersahajaan Putra Mahkota itu. Kecuali Kyai Dadap  Ireng yang sedari tadi hanya mengerutkan kening sambil pandangan matanya yang tajam tak pernah lepas menatap wajah Raden Mas Rangsang.

“Kesempatan yang sangat langka,” berkata Kyai Dadap Ireng dalam hati, “Belum tentu seumur hidupku aku dapat bertemu muka langsung dengan trah Mataram ini. Jika aku berhasil menangkapnya hidup-hidup, atau pun membunuhnya, tentu Mataram akan kehilangan penerusnya. Cita-cita Pangeran Ranapati untuk merebut tahta  tentu akan lebih mudah.”

Teringat akan Pangeran Ranapati, tiba-tiba saja Kyai Dadap Ireng menjadi gelisah. Beberapa saat tadi dia sempat melihat Pangeran yang keras hati itu terjatuh akibat benturan ilmu dengan lawannya. Kemudian gurunya, Ki Singawana Sepuh telah datang untuk menolongnya. Namun beberapa saat kemudian ketika perhatiannya tersita oleh Anjani, dia sudah tidak melihat lagi keberadaan guru dan murid itu.

Ketika Kyai Dadap Ireng kemudian mencoba mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling medan, di sana sini yang tampak hanyalah prajurit-prajurit Mataram dibantu oleh beberapa murid perguruan bercambuk,  sedang sibuk menolong  para korban.

“Gila!” geram Kyai Dadap Ireng tanpa sadar, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

“Pertempuran telah selesai Ki Sanak,” Raden Mas Rangsang lah yang menyahut, “Ki Sanak jangan mencoba mencari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Kelihatannya dia telah terluka parah dan telah dibawa menyingkir oleh gurunya.”

“Persetan!” kembali Kyai Dadap Ireng menggeram, “Aku tidak peduli lagi dengan Pangeran itu. Sekarang aku akan membunuhmu. Bukankah orang-orang tadi menyebut namamu Raden Mas Rangsang, calon penerus trah Mataram?”

“Namaku memang Mas Rangsang,” jawab Putra Mahkota itu, “Adapun orang-orang memanggilku dengan gelar kebangsawanan atau pun tidak, itu tidak akan ada bedanya bagiku. Aku tetap sebagaimana diriku ini.”

“Anak sombong!” bentak Kyai Dadap Ireng, “Bersiaplah untuk mati!”

Selesai berkata demikian, pemimpin perguruan Dadap Ireng itu segera bersiap untuk melancarkan serangan pertamanya.

“Tunggu!” hampir bersamaan Ki Lurah Adiwaswa dan Anjani melangkah maju.

“Raden, biarlah hamba tuntaskan sekalian tugas hamba,” berkata Ki Lurah Adiwaswa mendahului Anjani, “Sebelum Raden hadir di tempat ini, kami memang telah bertempur untuk beberapa saat lamanya.”

Raden Mas Rangsang hanya tersenyum dan menggeleng menanggapi kata-kata Ki Lurah. Sambil berpaling ke arah Anjani, Raden Mas Rangsang pun kemudian bertanya, “Rara Anjani, apakah Rara bersedia membantuku sekali lagi?”

Terkejut Anjani mendengar dirinya disebut Rara. Sebutan Rara itu hanya untuk perempuan trah bangsawan, sedangkan dirinya sama sekali tidak pantas disebut Rara.

Berpikir sampai disitu dengan segera dia menyembah sambil berkata, “Ampun Raden, hamba ini hanyalah trah pidak pedarakan yang tidak pantas menyandang gelar Rara. Sekali lagi hamba mohon maaf.”

Raden Mas Rangsang tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Atas nama Penguasa Mataram Ayahanda Prabu Panembahan Hanyakrawati, aku telah menganugrahkan gelar Rara kepada mu atas jasa Rara Anjani menyelamatkan aku sewaktu di tegal kepanasan.”

Berdesir dada orang-orang yang hadir di situ tak terkecuali Ki Lurah Adiwaswa. Dirinya segera maklum bahwa agaknya Putra Mahkota Mataram itu telah berkenan dengan perempuan yang bernama Anjani itu.

Untuk beberapa saat Anjani justru telah membeku di tempatnya. Secara samar dia segera menyadari apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Raden Mas Rangsang itu. Berbagai pertimbangan pun segera bergolak di dalam dadanya.

“Bagaimana Rara Anjani?” bertanya Raden Mas Rangsang kemudian sambil tersenyum penuh arti, “Apakah engkau sekali lagi mau menolongku? Sungguh aku benar-benar memerlukan pertolonganmu dan aku akan memberimu hadiah yang mungkin diluar  jangkauan nalarmu.”

Kembali berdesir dada Anjani. Bahkan sekarang ini begitu tajamnya desir yang menggores jantungnya sehingga membuat sekujur tubuh Anjani tiba-tiba menggigil.

Tiba-tiba Anjani teringat nasihat Kanjeng Sunan beberapa saat yang lalu ketika mereka sedang berkumpul di dalam goa di puncak Suralaya pebukitan Menoreh.

“Ni Anjani. Aku tidak dapat menentukan masa depan seseorang. Banyak-banyaklah memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung disetiap doamu. Selain itu usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan niat baik dan ikhlas, akan membawamu ke masa depan yang engkau cita-citakan. Namun semua itu tetap di dalam kuasaNYA. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, tiada seorang pun yang mampu menolaknya.”

Sebenarnyalah Anjani adalah seorang perempuan yang cerdas dan tanggap. Adalah sangat deksura bila menolak keinginan seorang Putra Mahkota walaupun dia menyadari sepenuhnya bahwa bukanlah sifat dari Raden Mas Rangsang itu untuk memaksakan kehendaknya. Namun jauh di lubuk hatinya, Anjani merasa begitu tersanjung dan ada keinginan untuk tidak mengecewakan calon pewaris tahta Mataram itu. Sementara nasibnya sendiri untuk saat ini masih terombang-ambing tidak menentu.

“Jika memang aku diperkenankan untuk suwita di Mataram, apa salahnya?” berkata Anjani dalam hati, “Sedangkan harapanku selama ini terlalu jauh dan terjal untuk kurengkuh. Akan aku buktikan kepada orang-orang Menoreh bahwa aku bukanlah  perempuan yang sedemikian rendahnya untuk diremehkan.”

Dengan segala pertimbangan itulah, Anjani pun segera menghaturkan sembah sambil membungkuk dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon ampun Raden. Adalah merupakan suatu kewajiban bagi semua kawula Mataram termasuk hamba untuk melindungi Raden dari segala mara bahaya. Hamba tidak pernah memimpikan untuk mengharapkan hadiah. Apa yang hamba lakukan adalah semata-mata karena sebuah kewajiban.”

Kembali Raden Mas Rangsang tertawa pendek. Katanya kemudian, “Baiklah Rara Anjani. Aku serahkan keselamatanku kepadamu. Marilah kita panjatkan doa,  semoga  Yang Maha Agung berkenan untuk melindungki kita semua.”

Semua yang hadir di tempat itu tampak mengangguk-angguk kecuali Kyai Dadap Ireng. Dengan tertawa lebar dia maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah, kalau memang Putra Mahkota ini terlalu pengecut, siapapun yang menjadi gantinya aku tidak peduli. Jika memang perempuan yang bernama Rara Anjani ini yang akan menjadi lawanku, aku tidak berkeberatan. Namun ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Aku tidak sampai hati jika harus melukai bahkan sampai membunuh perempuan yang terlalu cantik ini. Aku hanya akan menundukkannya dan setelah itu, tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi aku untuk membawanya ke padepokan Dadap Ireng.”

Terkejut orang-orang yang hadir di tempat itu. Serentak mereka berpaling ke arah Raden Mas Rangsang. Namun ternyata Raden Mas Rangsang menanggapi persyaratan Kyai Dadap Ireng itu dengan dingin. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, jika Ki Sanak mampu mengalahkan Rara Anjani, Ki Sanak boleh membawanya kemana saja sesuka hati Ki Sanak. Namun jika Ki Sanak kalah, Ki Sanak akan menjadi tawanan prajurit Mataram.”

“Omong kosong!” geram Kyai Dadap Ireng, “Lebih baik aku terbujur menjadi mayat dari pada harus menyerah kepada Mataram.”

Orang-orang yang hadir disitu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pemimpin perguruan Dadap Ireng itu terlalu yakin akan dapat mengalahkan Rara Anjani.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka yang hadir di situ segera menepi kecuali Rara Anjani dan Kyai Dadap Ireng yang telah berhadap-hadapan untuk saling mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang.

Dalam pada itu di tempat Ki Swandaru terbaring, tampak Ki Rangga dengan wajah yang tegang sedang memantau detak jantung adik seperguruannya itu.

“Sangat lemah dan tersendat-sendat,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan  jantung yang berdebaran, “Semoga adi Swandaru mampu bertahan. Aku akan menghilangkan pengaruh racun diluar tubuhnya terlebih dahulu.”

Sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah sampai di tempat itu dan segera berlutut di sisi suaminya.

“Ini Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil  mengangsurkan lodong yang penuh berisi air.

Ki Rangga yang menerima lodong bambu itu sejenak mengerutkan keningnya. Adalah sangat aneh Sekar Mirah bisa mendapatkan sebuah lodong bambu yang penuh berisi air di tengah padang rumput lemah Cengkar.

Agaknya Sekar Mirah tanggap atas keheranan suaminya. Maka katanya kemudian, “Ada seorang yang mengaku bernama kakek Tanpa Aran yang telah memberikan lodong bambu ini kepada Cantrik jati Anom.”

“Cantrik Jati Anom?” bertanya Ki Rangga sambil menuangkan sedikit air kedalam bumbung kecil yang berisi serbuk berwarna kehitaman, “Apakah engkau menyuruh cantrik itu untuk mencari air? Dan siapakah kakek Tanpa Aran itu?”

“Tidak kakang, dia mencari air atas kehendaknya sendiri. Sewaktu di pinggir padang rumput lemah cengkar, dia bertemu seorang kakek-kakek yang menyebut dirinya Ki  Tanpa Aran dan kemudian memberinya lodong bambu itu,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dia mencari air untuk Paman Widura yang terluka.”

“He?” terkejut Ki Rangga sehingga dia menghentikan tangannya yang sedang mengaduk bumbung yang berisi cairan obat. Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah istrinya,  “Bagaimana keadaan Paman Widura sekarang?”

“Kelihatannya Paman Widura baik-baik saja,” jawab Sekar Mirah, “Sewaktu aku di sana tadi, aku sudah mencoba membangunkannya, namun Paman Widura terlihat tidurnya sangat lelap.”

“Tidur? Paman Widura tertidur?”

“Ya, Kakang. Tidurnya terlihat sangat tenang dan wajahnya tidak terlihat pucat,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Keadaan paman Widura benar-benar terlihat nyaman dan sehat. Karena itulah aku telah meminta cantrik itu untuk menungguinya, sementara aku membawa lodong bambu ini ke sini.”

"Dan Kakek Tanpa Aran itu?" sahut Ki Rangga.

Sekar Mirah menggeleng, "Dia hanya mengaku bernama Ki Tanpa Aran, itu saja."

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Dia telah selesai mengaduk obat di dalam bumbung kecil itu. Dengan menuangkan sedikit demi sedikit di telapak tangan kanannya, Ki Rangga pun mulai membaluri luka-luka di sekujur tubuh Ki Swandaru yang tampak lebam dan berwarna biru kehitam-hitaman.

Sejenak kemudian, tampak warna kehitam-hitaman itu secara berangsur mulai memudar.

“Pengaruh racun di luar tubuh Adi swandarau mulai berkurang,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku akan mencoba mengobati luka dalamnya.”

“Bagaimana caranya kakang?” hampir bersamaan kedua perempuan itu bertanya. Memang mengobati luka dalam biasanya dengan cara memberikan obat untuk diminum, sedangkan keadaan Ki Swandaru pada saat itu masih belum sadarkan diri.

Ki Rangga tidak menjawab. Dengan perlahan dia meraba dada adik seperguruannya itu. Kerut merut di dahinya pun semakin dalam.

“Luar biasa,” berkata Ki Rangga kemudian perlahan, seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Bagaimana kakang?” sekarang giliran Pandan Wangi yang bertanya. Wajahnya terlihat sembab penuh air mata.

Kembali Ki Rangga tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia merenungi tubuh yang terbujur diam itu. Luka dalam Ki Swandaru menurut pengamatannya ternyata sangat parah. Dadanya bagaikan hancur diterjang kekuatan ilmu lawannya. Sementara racun yang meresap ke dalam urat nadinya telah merambah ke jantung walaupun Ki Rangga telah berusaha untuk menghentikannya beberapa saat yang lalu.. Namun racun itu ternyata sangat kuat  dan jahat sehingga perlahan tapi pasti telah mampu menembus jalur-jalur urat nadi yang telah dihentikan oleh Ki Rangga dan merambat menuju ke jantung.

“Jika saja Adi Swandaru mempunyai waktu yang cukup untuk mematangkan tingkatan ilmu yang telah dicapainya itu, tentu dia akan dapat bertahan mendapat gempuran puncak ilmu Pangeran Ranapati. Demikian juga  walaupun adi Swandarau tidak mempunyai kekebalan terhadap racun, namun jika tenaga cadangannya cukup kuat, akan dapat menolak racun itu merambah sampai ke jantungnya,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan penuh rasa  penyesalan.

“Kakang..?” kali ini Sekar Mirah yang mengguncang lengan suaminya. Nada suaranya terdengar sangat gelisah, sedangkan Pandan Wangi mulai terisak-isak dan tidak kuat lagi menahan tangisnya.

Ki Rangga benar-benar dibuat kebingungan. Sejauh  pengetahuan yang  telah dipelajarinya dari kitab peninggalan gurunya, luka yang sedang diderita adik seperguruannya itu sepertinya sangat mustahil untuk disembuhkan. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan semua itu kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan oleh suara desahan yang keluar dari mulut Ki Swandaru. Sejenak kemudian tampak tubuh Ki Swandaru sedikit menggeliat, sementara kedua kelopak matanya pun mulai terlihat sedikit terbuka.

“Kakang..?” bisik Pandan Wang  di antara sedu sedannya sambil mendekatkan wajahnya, “Ini aku Pandan Wangi, istrimu?”

Tampak seleret tipis senyum Ki Swandaru di bibirnya yang pucat. Katanya kemudian dengan setengah berbisik, “Wangi, engkau tidak apa-apa?”

Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi mencoba menahan tangisnya. Jawabnya kemudian, “Ya, kakang aku tidak apa-apa. Di sini juga ada Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu.”

Ki Swandaru tampak kembali tersenyum. Bisiknya kemudian, “Di mana Kakang Agung Sedayu?”

“Aku di sini adi,” dengan cepat Ki Rangga menjawab sambil mendekatkan wajahnya agar dapat dilihat oleh adik seperguruannya. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah menyiapkan obat untuk engkau minum agar dapat  membantu memulihkan kekuatanmu.”

Namun tanggapan Ki Swandaru sangat mengejutkan. Dengan menggeleng lemah dia berkata, “Kakang tentu sudah memahami keadaanku yang sebenarnya, karena selain ilmu kanuragan, kakang juga mewarisi ilmu pengobatan dari guru,” Ki Swandaru berhenti sebentar. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ketika Sekar Mirah menyodorkan air minum di bumbung kecil, Ki Swandaru menggeleng. Lanjutnya kemudian, “Aku titip anakku, kakang. Didiklah dia agar menjadi murid perguruan bercambuk yang mumpuni seperti engkau.”

Semua yang hadir di tempat itu diam tergugu. Hanya sedu-sedan kedua perempuan itu yang terdengar di antara deru nafas Ki Swandaru yang terengah-engah.

“Kakang,” tiba-tiba Ki Swandaru memberi isyarat Ki Rangga untuk lebih mendekat.

Ki Rangga pun tanggap. Dengan segera didekatkan telinganya ke bibir adik seperguruannya itu. Sejenak kemudian terlihat bibir Ki Swandaru mengucapkan sesuatu yang hanya Ki Rangga yang dapat mendengarnya. Begitu Ki Swandaru selesai, tampak wajah Ki Rangga merah padam. Sementara kerut merut di keningnya pun semakin dalam.

“Itu tidak perlu adi, itu aku kira tidak perlu,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.

Namun Ki Swandaru hanya tersenyum. Kemudian sambil berpaling ke arah Pandan Wangi dia berdesis perlahan, “Wangi, maafkan aku selama ini. Aku tidak bisa menjadi seorang suami yang baik dan ayah teladan bagi anakku.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya tangisnya yang semakin meledak-ledak.

“Sudahlah, aku mohon pamit,” desah Ki Swandaru hampir tak terdengar. Nafasnya menjadi semakin sesak dan tersengal-sengal. Pengaruh racun itu telah mencengkam jantungnya. Lanjutnya kemudian setelah sesak nafasnya agak mereda, “Mirah, sampaikan maafku pada Ayah. Aku anak laki-laki kebanggaannya,  namun yang telah mengecewakannya.”

Selesai berkata demikian, Ki Swandaru segera memejamkan matanya.  Dengan susah payah dia berusaha menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Kakaaang..!” hampir bersamaan kedua perempuan itu menjerit.

Ki Rangga Agung Sedayu yang tanggap bahwa saat-saat terakhir Ki Swandaru telah dekat, segera membisikkan sesuatu di telinga adik seperguruannya itu.

Sejenak kemudian, kuasa Yang Maha Agung yang menguasai seluruh alam raya beserta isinya itu pun berlaku. Tidak ada satupun makhluk di jagad raya ini yang luput dari takdirNYA, dan Ki Swandaru telah menjalani takdir NYA.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak tangis kedua perempuan itu yang terdengar tertahan-tahan. Sementara langit di ufuk timur telah merona. Sinar Matahari pagi mulai menyentuh awan yang berarak tipis. Burung-burung pun mulai berkicau memperdengarkan suaranya yang merdu dan penuh riang gembira.

Ki Rangga segera bangkit berdiri. Dilemparkan pandangan matanya ke arah barat. Dengan aji sapta pandulu, semua yang terlihat masih remang bagi Ki Rangga  menjadi sangat jelas. Tampak tiga orang sedang berjalan ke arah barat menjauhi padang rumput lemah Cengkar meninggalkan sesosok tubuh yang terbujur diam di belakang mereka.

“Raden Mas Rangsang dan Anjani,” desis Ki Rangga dalam hati sambil mengamati kedua sejoli yang tampak berjalan dengan riang di bawah siraman sinar Matahari yang masih lemah, “Syukurlah. Semoga Anjani menemukan kebahagiaan yang selama ini dirindukannya."

Namun ada segores luka yang terasa sangat pedih jauh di dasar hatinya yang paling dalam. Kenangan bersama Anjani memang tidak  mungkin akan dapat dilupakan sepanjang hidupnya

Ketika Ki Rangga kemudian mencoba mengenali bayangan orang yang sudah sangat sepuh yang berjalan di sebelah kanan Raden Mas Rangsang, Ki Rangga menjadi sangat terkejut bagaikan melihat hantu di siang bolong.

“Ah, tidak mungkin,”   berkata Ki Rangga akhirnya tanpa sadar, “.Aku sama sekali tidak mengenal orang itu,”

Ki Widura yang telah tersadar dari tidur lelapnya dan sedang berjalan  mendekati keponakannya itu sekilas mendengar ucapan Ki Rangga. Tanyanya kemudian, “Siapakah yang angger maksud?”

Sekilas Ki Rangga berpaling ke arah pamannya. Jawabnya kemudian sambil memandang kembali ke arah titik-titik bayangan di kejauhan, “Bukan siapa-siapa Paman. Mungkin aku hanya salah melihat saja.”

Demikianlah akhirnya, para korban pertempuran lemah cengkar telah dikumpulkan dan diangkut dengan dua buah pedati yang dipinjam dari  padukuhan terdekat, padukuhan Kaliasat. Jasad Ki Tumenggung Purbarana dan para Prajurit akan dibawa ke Mataram. Sedangkan korban dari para pengikut Pangeran Ranapati langsung dimakamkan di lemah cengkar.  Sementara jasad Ki Swandaru akan dibawa langsung ke Sangkal Putung untuk mendapatkan penghormatan terakhir di sana.

Dalam pada itu, langit di ufuk timur telah semakin cerah. Sinar Matahari yang menyentuh butir-butir embun pagi yang masih manja bergelayutan di pucuk-pucuk dedaunan memantulkan sinar yang indah berwarna-warni. Seindah warna hati Rara  Anjani yang telah menemukan masa depannya.


TAMAT
(selanjutnya baca di woro-woro)

27 komentar :

  1. Speechless.....sayaemboro ne okeh iki

    1. Apa permintaan terakhir SG selain nitip anaknya?
    2. Siapakah Kakek Tanpa Aran?
    3. Bagaimana nasib PR dan Singawana ?
    4. Dst

    Monggo dipun lanjut mBah...
    Matur suwun

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya tertarik menjawab sayembara ki mas aryo.
      1. pesan swandaru selain titip anak mestine kon ngawini pandan wangi. hehe
      2. kakek tanpo aran itu kayaknya kiai gringsing
      3. nasib e pangeran dan gurunya singawana ora ngerti. wkwkw..

      maturnuwun mbahh... ditunggu sambungannya..

      Hapus
    2. Jawabannya to the point ; @ngarepbanget,
      kalo almarhum (SHM) suka ngulur-ulur karep,
      wk wk wk...
      salam "adbmers"

      Hapus
  2. Matur nuwun Mbah Man ingkang sampun kerso paring wedharan ngantos seri tamat.
    Mbokbilih wonten keparengipun saget dilanjut kanthi irah2an sanes. Nuwun

    BalasHapus
  3. Matur nuwun sanget Mbah Man...begitu mepengharukan penutupan Jilid 416 ini....ikut berduka atas kesudahan peran Swandaru yang telah hadir dari jilid 1 Adbm sampai jilid 416...mungkin ini jaoan ysng terbaik karena anak Swandaru harus diasuh dengan orang2 terbaik karena dia pewaris dus daerah besar seandsinya Swandaru yang merawat kemungkinan Mataram akan bergoyang karena sifat Swandaru yang mudah terhasut, dan KG telah meramal di kain gringsingnya yang tergambar sebuah mata cakra yang rumpil/cacat sudah runut sekali ceritanya.

    Dikeheningan dalam kedukaan Ki Lurah bersenandung ...pupuslah harapanku...apalagi dia sudah diberi gelar kebangsawanan "Rara" semangkin jauh untuk digapai oh nasib tukang gojek online memang selalu naas dapat penumpang signalnya kelap kelip...akhirnya diserobot orang...TAMAT sret..mblayu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pemuda Merana merene alias pemuda wara wiri bisa juga disebut supir taxi atau tukang ojek....hehe

      Hapus
    2. ....hihihi....hohoho....huuuu...(nelangsa tapine tetep legawa....muga muga cepet entuk tamba carito tulada sing luwih dowo....)

      hehehe.....

      Hapus
  4. Matur nuwun mbah. Tapi kok tamat ceritanya mbah.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah.
    Penasaran lanjutan di seri 417nya

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Mbah Man, tetap berharap berlanjut ke 417 ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  7. waaduhh nek selanjutnya terserah Anda ngene iki rak njur repot ta?
    Mbok nggih ampun tamat ning bersambung ke seri berikurnya gitu. ????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanging kulo sabar kok anggen kulo angantu antu seri selajengipun. Maturnuwun sedaya jerih payah ipun

      Hapus
  8. Matur nuwun mBah-Man yang telah merampungkan jilid 416 TADBM.
    Semoga ada kelanjutannya dgn cerita yang lain. Dengan cerita Anak turunnya AS dan SW.

    BalasHapus
  9. Matur nuwun sanget Mbah Man lanjutan wedarannya .... tetap ndak bisa ditebak ceritanya ... mbah man memang hebat ... tapi kok tamat mbah ? Mudah2xan tamat untuk seri ini ...

    Dan mudah2xan ada lanjutan di seri berikutnya .... apapun namanya itu...

    Masih banyak cerita yang belum selesai ? Gatra Bumi ? Glagah Putih ? Siapa Kakek tanpa Aran yang buat ki RAS kaget setengah mati ? Apa kakek tanpa aran sama dengan kyai gringsing ?

    Sabarrr dan semangat ... mudah2xan mbah man kerso memberi sedikit arahan .....

    BalasHapus
  10. Matur nuwun mbah_man.....waduh kok tamat.....judulnya diganti nggih ?

    BalasHapus
  11. Sukra....sukra....kowe neng ngendi? kok ra pamit RAS / GP...

    BalasHapus
  12. Ditunggu Mbah lanjutan nya 417 dan sangat berharap lanjutan seterusnya nya...

    BalasHapus
  13. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  14. Sayangnya belom ada lanjutannya...mengharap.com

    BalasHapus
  15. waduh malah jadi mumet yen ora diteruske

    BalasHapus
  16. Sayang sekali keburu tamat, padahal keinginan untuk kelanjutan berita mengenai tokoh2nya sdg asyik-asyiknya.

    BalasHapus
  17. Tiba2 agung sedayu playboy...hehe

    BalasHapus
  18. Kenangan indah bersama Anjani yang tidak akan mungkin terlupakan sepanjang hidup Ki RAS.
    Sejauh manakah kenangan mereka ?

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.