Ketika
kedua orang itu telah semakin dekat, barulah Anjani dapat mengenali siapakah
kedua orang itu.
“Selamat
datang kakek Tanpa Aran,” berkata Anjani kemudian sambil mengangguk hormat
kepada orang yang sudah sangat sepuh itu. Sedangkan kepada anak muda yang
berjalan di sebelahnya, Anjani segera menghaturkan sembah sambil berkata,
“Selamat datang Raden Mas Rangsang.”
“Terima
kasih Ni Anjani,” Raden Mas Rangsang lah yang menjawab. Sementara kakek Tanpa
Aran hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada
itu, Ki Lurah Adiwaswa yang mendengar nama calon penerus tahta Mataram itu
disebut segera menyongsong Raden Mas Rangsang dengan tergopoh-gopoh.
“Maafkan
hamba Raden,” berkata Ki Lurah kemudian sesampainya di hadapan Raden Mas
Rangsang, “Hamba sangat jarang bertemu dengan Raden, sehingga hamba tidak dapat
mengenali kehadiran Raden di tempat ini.”
Raden Mas
Rangsang tersenyum sambil menjawab,
“Terima kasih Ki Lurah. Jangan menyambutku berlebihan. Kita sedang berada di
medan perang. Kesiap-siagaan dan kewaspadaan itu lebih penting dari pada segala
unggah-ungguh dan suba sita.”
Orang-orang
yang mendengar ucapan Pangeran Pati itu hampir bersamaan telah menarik nafas
dalam-dalam. Mereka telah mendengar akan kesederhanaan dan kebersahajaan Putra
Mahkota itu. Kecuali Kyai Dadap Ireng
yang sedari tadi hanya mengerutkan kening sambil pandangan matanya yang tajam
tak pernah lepas menatap wajah Raden Mas Rangsang.
“Kesempatan
yang sangat langka,” berkata Kyai Dadap Ireng dalam hati, “Belum tentu seumur
hidupku aku dapat bertemu muka langsung dengan trah Mataram ini. Jika aku
berhasil menangkapnya hidup-hidup, atau pun membunuhnya, tentu Mataram akan
kehilangan penerusnya. Cita-cita Pangeran Ranapati untuk merebut tahta tentu akan lebih mudah.”
Teringat
akan Pangeran Ranapati, tiba-tiba saja Kyai Dadap Ireng menjadi gelisah.
Beberapa saat tadi dia sempat melihat Pangeran yang keras hati itu terjatuh
akibat benturan ilmu dengan lawannya. Kemudian gurunya, Ki Singawana Sepuh
telah datang untuk menolongnya. Namun beberapa saat kemudian ketika
perhatiannya tersita oleh Anjani, dia sudah tidak melihat lagi keberadaan guru
dan murid itu.
Ketika Kyai
Dadap Ireng kemudian mencoba mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling medan,
di sana sini yang tampak hanyalah prajurit-prajurit Mataram dibantu oleh beberapa
murid perguruan bercambuk, sedang sibuk
menolong para korban.
“Gila!”
geram Kyai Dadap Ireng tanpa sadar, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”
“Pertempuran
telah selesai Ki Sanak,” Raden Mas Rangsang lah yang menyahut, “Ki Sanak jangan
mencoba mencari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Kelihatannya
dia telah terluka parah dan telah dibawa menyingkir oleh gurunya.”
“Persetan!”
kembali Kyai Dadap Ireng menggeram, “Aku tidak peduli lagi dengan Pangeran
itu. Sekarang aku akan membunuhmu. Bukankah orang-orang tadi menyebut namamu
Raden Mas Rangsang, calon penerus trah Mataram?”
“Namaku
memang Mas Rangsang,” jawab Putra Mahkota itu, “Adapun orang-orang memanggilku
dengan gelar kebangsawanan atau pun tidak, itu tidak akan ada bedanya bagiku.
Aku tetap sebagaimana diriku ini.”
“Anak
sombong!” bentak Kyai Dadap Ireng, “Bersiaplah untuk mati!”
Selesai berkata
demikian, pemimpin perguruan Dadap Ireng itu segera bersiap untuk melancarkan
serangan pertamanya.
“Tunggu!”
hampir bersamaan Ki Lurah Adiwaswa dan Anjani melangkah maju.
“Raden,
biarlah hamba tuntaskan sekalian tugas hamba,” berkata Ki Lurah Adiwaswa
mendahului Anjani, “Sebelum Raden hadir di tempat ini, kami memang telah
bertempur untuk beberapa saat lamanya.”
Raden Mas
Rangsang hanya tersenyum dan menggeleng menanggapi kata-kata Ki Lurah. Sambil berpaling
ke arah Anjani, Raden Mas Rangsang pun kemudian bertanya, “Rara Anjani, apakah
Rara bersedia membantuku sekali lagi?”
Terkejut
Anjani mendengar dirinya disebut Rara. Sebutan Rara itu hanya untuk perempuan
trah bangsawan, sedangkan dirinya sama sekali tidak pantas disebut Rara.
Berpikir
sampai disitu dengan segera dia menyembah sambil berkata, “Ampun Raden, hamba
ini hanyalah trah pidak pedarakan yang tidak pantas menyandang gelar Rara.
Sekali lagi hamba mohon maaf.”
Raden Mas
Rangsang tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Atas nama Penguasa Mataram
Ayahanda Prabu Panembahan Hanyakrawati, aku telah menganugrahkan gelar Rara
kepada mu atas jasa Rara Anjani menyelamatkan aku sewaktu di tegal kepanasan.”
Berdesir
dada orang-orang yang hadir di situ tak terkecuali Ki Lurah Adiwaswa. Dirinya
segera maklum bahwa agaknya Putra Mahkota Mataram itu telah berkenan dengan
perempuan yang bernama Anjani itu.
Untuk
beberapa saat Anjani justru telah membeku di tempatnya. Secara samar dia segera
menyadari apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Raden Mas Rangsang itu. Berbagai
pertimbangan pun segera bergolak di dalam dadanya.
“Bagaimana
Rara Anjani?” bertanya Raden Mas Rangsang kemudian sambil tersenyum penuh arti,
“Apakah engkau sekali lagi mau menolongku? Sungguh aku benar-benar memerlukan
pertolonganmu dan aku akan memberimu hadiah yang mungkin diluar jangkauan nalarmu.”
Kembali
berdesir dada Anjani. Bahkan sekarang ini begitu tajamnya desir yang menggores
jantungnya sehingga membuat sekujur tubuh Anjani tiba-tiba menggigil.
Tiba-tiba
Anjani teringat nasihat Kanjeng Sunan beberapa saat yang lalu ketika mereka
sedang berkumpul di dalam goa di puncak Suralaya pebukitan Menoreh.
“Ni Anjani. Aku tidak dapat
menentukan masa depan seseorang. Banyak-banyaklah memohon petunjuk kepada Yang
Maha Agung disetiap doamu. Selain itu usaha yang sungguh-sungguh disertai
dengan niat baik dan ikhlas, akan membawamu ke masa depan yang engkau
cita-citakan. Namun semua itu tetap di dalam kuasaNYA. Jika Yang Maha Agung
berkehendak lain, tiada seorang pun yang mampu menolaknya.”
Sebenarnyalah
Anjani adalah seorang perempuan yang cerdas dan tanggap. Adalah sangat deksura
bila menolak keinginan seorang Putra Mahkota walaupun dia menyadari sepenuhnya
bahwa bukanlah sifat dari Raden Mas Rangsang itu untuk memaksakan kehendaknya.
Namun jauh di lubuk hatinya, Anjani merasa begitu tersanjung dan ada keinginan
untuk tidak mengecewakan calon pewaris tahta Mataram itu. Sementara nasibnya
sendiri untuk saat ini masih terombang-ambing tidak menentu.
“Jika
memang aku diperkenankan untuk suwita di Mataram, apa salahnya?” berkata Anjani
dalam hati, “Sedangkan harapanku selama ini terlalu jauh dan terjal untuk
kurengkuh. Akan aku buktikan kepada orang-orang Menoreh bahwa aku bukanlah perempuan yang sedemikian rendahnya untuk
diremehkan.”
Dengan segala
pertimbangan itulah, Anjani pun segera menghaturkan sembah sambil membungkuk
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon ampun Raden. Adalah merupakan suatu
kewajiban bagi semua kawula Mataram termasuk hamba untuk melindungi Raden dari
segala mara bahaya. Hamba tidak pernah memimpikan untuk mengharapkan hadiah.
Apa yang hamba lakukan adalah semata-mata karena sebuah kewajiban.”
Kembali
Raden Mas Rangsang tertawa pendek. Katanya kemudian, “Baiklah Rara Anjani. Aku
serahkan keselamatanku kepadamu. Marilah kita panjatkan doa, semoga
Yang Maha Agung berkenan untuk melindungki kita semua.”
Semua yang
hadir di tempat itu tampak mengangguk-angguk kecuali Kyai Dadap Ireng. Dengan
tertawa lebar dia maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah, kalau memang
Putra Mahkota ini terlalu pengecut, siapapun yang menjadi gantinya aku tidak
peduli. Jika memang perempuan yang bernama Rara Anjani ini yang akan menjadi
lawanku, aku tidak berkeberatan. Namun ada satu hal yang ingin aku sampaikan.
Aku tidak sampai hati jika harus melukai bahkan sampai membunuh perempuan yang
terlalu cantik ini. Aku hanya akan menundukkannya dan setelah itu, tidak ada
seorang pun yang boleh menghalangi aku untuk membawanya ke padepokan Dadap
Ireng.”
Terkejut
orang-orang yang hadir di tempat itu. Serentak mereka berpaling ke arah Raden
Mas Rangsang. Namun ternyata Raden Mas Rangsang menanggapi persyaratan Kyai
Dadap Ireng itu dengan dingin. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, jika Ki
Sanak mampu mengalahkan Rara Anjani, Ki Sanak boleh membawanya kemana saja
sesuka hati Ki Sanak. Namun jika Ki Sanak kalah, Ki Sanak akan menjadi tawanan
prajurit Mataram.”
“Omong
kosong!” geram Kyai Dadap Ireng, “Lebih baik aku terbujur menjadi mayat dari
pada harus menyerah kepada Mataram.”
Orang-orang
yang hadir disitu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pemimpin
perguruan Dadap Ireng itu terlalu yakin akan dapat mengalahkan Rara Anjani.
Demikianlah,
sejenak kemudian mereka yang hadir di situ segera menepi kecuali Rara Anjani
dan Kyai Dadap Ireng yang telah berhadap-hadapan untuk saling mengadu liatnya
kulit dan kerasnya tulang.
Dalam pada
itu di tempat Ki Swandaru terbaring, tampak Ki Rangga dengan wajah yang tegang
sedang memantau detak jantung adik seperguruannya itu.
“Sangat
lemah dan tersendat-sendat,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Semoga adi Swandaru
mampu bertahan. Aku akan menghilangkan pengaruh racun diluar tubuhnya terlebih
dahulu.”
Sejenak kemudian
Sekar Mirah pun telah sampai di tempat itu dan segera berlutut di sisi suaminya.
“Ini
Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengangsurkan lodong yang penuh berisi air.
Ki Rangga
yang menerima lodong bambu itu sejenak mengerutkan keningnya. Adalah sangat
aneh Sekar Mirah bisa mendapatkan sebuah lodong bambu yang penuh berisi air di
tengah padang rumput lemah Cengkar.
Agaknya
Sekar Mirah tanggap atas keheranan suaminya. Maka katanya kemudian, “Ada
seorang yang mengaku bernama kakek Tanpa Aran yang telah memberikan lodong bambu
ini kepada Cantrik jati Anom.”
“Cantrik
Jati Anom?” bertanya Ki Rangga sambil menuangkan sedikit air kedalam bumbung kecil yang
berisi serbuk berwarna kehitaman, “Apakah engkau menyuruh cantrik itu untuk
mencari air? Dan siapakah kakek Tanpa Aran itu?”
“Tidak
kakang, dia mencari air atas kehendaknya sendiri. Sewaktu di pinggir padang
rumput lemah cengkar, dia bertemu seorang kakek-kakek yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran dan kemudian memberinya lodong
bambu itu,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dia mencari air
untuk Paman Widura yang terluka.”
“He?”
terkejut Ki Rangga sehingga dia menghentikan tangannya yang sedang mengaduk bumbung
yang berisi cairan obat. Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah istrinya, “Bagaimana keadaan Paman Widura sekarang?”
“Kelihatannya
Paman Widura baik-baik saja,” jawab Sekar Mirah, “Sewaktu aku di sana tadi, aku
sudah mencoba membangunkannya, namun Paman Widura terlihat tidurnya sangat
lelap.”
“Tidur?
Paman Widura tertidur?”
“Ya,
Kakang. Tidurnya terlihat sangat tenang dan wajahnya tidak terlihat pucat,”
Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Keadaan paman Widura
benar-benar terlihat nyaman dan sehat. Karena itulah aku telah meminta cantrik
itu untuk menungguinya, sementara aku membawa lodong bambu ini ke sini.”
"Dan Kakek Tanpa Aran itu?" sahut Ki Rangga.
Sekar Mirah menggeleng, "Dia hanya mengaku bernama Ki Tanpa Aran, itu saja."
Ki Rangga
menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Dia telah selesai mengaduk
obat di dalam bumbung kecil itu. Dengan menuangkan sedikit demi sedikit di
telapak tangan kanannya, Ki Rangga pun mulai membaluri luka-luka di sekujur
tubuh Ki Swandaru yang tampak lebam dan berwarna biru kehitam-hitaman.
Sejenak
kemudian, tampak warna kehitam-hitaman itu secara berangsur mulai memudar.
“Pengaruh
racun di luar tubuh Adi swandarau mulai berkurang,” berkata Ki Rangga kemudian,
“Aku akan mencoba mengobati luka dalamnya.”
“Bagaimana
caranya kakang?” hampir bersamaan kedua perempuan itu bertanya. Memang mengobati
luka dalam biasanya dengan cara memberikan obat untuk diminum, sedangkan keadaan
Ki Swandaru pada saat itu masih belum sadarkan diri.
Ki Rangga
tidak menjawab. Dengan perlahan dia meraba dada adik seperguruannya itu. Kerut merut
di dahinya pun semakin dalam.
“Luar
biasa,” berkata Ki Rangga kemudian perlahan, seolah ditujukan kepada dirinya
sendiri.
“Bagaimana kakang?” sekarang giliran Pandan Wangi yang bertanya. Wajahnya terlihat sembab
penuh air mata.
Kembali Ki
Rangga tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia merenungi tubuh yang terbujur
diam itu. Luka dalam Ki Swandaru menurut pengamatannya ternyata sangat parah. Dadanya
bagaikan hancur diterjang kekuatan ilmu lawannya. Sementara racun yang meresap
ke dalam urat nadinya telah merambah ke jantung walaupun Ki Rangga telah
berusaha untuk menghentikannya beberapa saat yang lalu.. Namun racun itu ternyata sangat
kuat dan jahat sehingga perlahan tapi
pasti telah mampu menembus jalur-jalur urat nadi yang telah dihentikan oleh Ki
Rangga dan merambat menuju ke jantung.
“Jika saja
Adi Swandaru mempunyai waktu yang cukup untuk mematangkan tingkatan ilmu yang
telah dicapainya itu, tentu dia akan dapat bertahan mendapat gempuran puncak
ilmu Pangeran Ranapati. Demikian juga walaupun
adi Swandarau tidak mempunyai kekebalan terhadap racun, namun jika tenaga cadangannya
cukup kuat, akan dapat menolak racun itu merambah sampai ke jantungnya,”
berkata Ki Rangga dalam hati dengan penuh rasa penyesalan.
“Kakang..?”
kali ini Sekar Mirah yang mengguncang lengan suaminya. Nada suaranya terdengar
sangat gelisah, sedangkan Pandan Wangi mulai terisak-isak dan tidak kuat lagi
menahan tangisnya.
Ki Rangga
benar-benar dibuat kebingungan. Sejauh pengetahuan
yang telah dipelajarinya dari kitab
peninggalan gurunya, luka yang sedang diderita adik seperguruannya itu
sepertinya sangat mustahil untuk disembuhkan. Namun dia tidak sampai hati untuk
menyampaikan semua itu kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.
Tiba-tiba
mereka bertiga dikejutkan oleh suara desahan yang keluar dari mulut Ki
Swandaru. Sejenak kemudian tampak tubuh Ki Swandaru sedikit menggeliat,
sementara kedua kelopak matanya pun mulai terlihat sedikit terbuka.
“Kakang..?”
bisik Pandan Wang di antara sedu
sedannya sambil mendekatkan wajahnya, “Ini aku Pandan Wangi, istrimu?”
Tampak seleret
tipis senyum Ki Swandaru di bibirnya yang pucat. Katanya kemudian dengan
setengah berbisik, “Wangi, engkau tidak apa-apa?”
Dengan sekuat
tenaga Pandan Wangi mencoba menahan tangisnya. Jawabnya kemudian, “Ya, kakang
aku tidak apa-apa. Di sini juga ada Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu.”
Ki Swandaru
tampak kembali tersenyum. Bisiknya kemudian, “Di mana Kakang Agung Sedayu?”
“Aku di
sini adi,” dengan cepat Ki Rangga menjawab sambil mendekatkan wajahnya agar
dapat dilihat oleh adik seperguruannya. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah
menyiapkan obat untuk engkau minum agar dapat membantu memulihkan kekuatanmu.”
Namun tanggapan
Ki Swandaru sangat mengejutkan. Dengan menggeleng lemah dia berkata, “Kakang
tentu sudah memahami keadaanku yang sebenarnya, karena selain ilmu kanuragan,
kakang juga mewarisi ilmu pengobatan dari guru,” Ki Swandaru berhenti sebentar.
Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ketika Sekar Mirah menyodorkan air minum di
bumbung kecil, Ki Swandaru menggeleng. Lanjutnya kemudian, “Aku titip anakku,
kakang. Didiklah dia agar menjadi murid perguruan bercambuk yang mumpuni
seperti engkau.”
Semua yang
hadir di tempat itu diam tergugu. Hanya sedu-sedan kedua perempuan itu yang
terdengar di antara deru nafas Ki Swandaru yang terengah-engah.
“Kakang,”
tiba-tiba Ki Swandaru memberi isyarat Ki Rangga untuk lebih mendekat.
Ki Rangga
pun tanggap. Dengan segera didekatkan telinganya ke bibir adik seperguruannya
itu. Sejenak kemudian
terlihat bibir Ki Swandaru mengucapkan sesuatu yang hanya Ki Rangga yang dapat
mendengarnya. Begitu Ki Swandaru
selesai, tampak wajah Ki Rangga merah padam. Sementara kerut merut di keningnya
pun semakin dalam.
“Itu tidak
perlu adi, itu aku kira tidak perlu,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya berkali-kali.
Namun Ki
Swandaru hanya tersenyum. Kemudian sambil berpaling ke arah Pandan Wangi dia
berdesis perlahan, “Wangi, maafkan aku selama ini. Aku tidak bisa menjadi
seorang suami yang baik dan ayah teladan bagi anakku.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Hanya tangisnya yang semakin meledak-ledak.
“Sudahlah,
aku mohon pamit,” desah Ki Swandaru hampir tak terdengar. Nafasnya menjadi
semakin sesak dan tersengal-sengal. Pengaruh racun itu telah mencengkam
jantungnya. Lanjutnya kemudian setelah sesak nafasnya agak mereda, “Mirah,
sampaikan maafku pada Ayah. Aku anak laki-laki kebanggaannya, namun yang telah mengecewakannya.”
Selesai berkata
demikian, Ki Swandaru segera memejamkan matanya. Dengan susah payah dia berusaha menyilangkan
kedua tangannya di depan dada.
“Kakaaang..!”
hampir bersamaan kedua perempuan itu menjerit.
Ki Rangga
Agung Sedayu yang tanggap bahwa saat-saat terakhir Ki Swandaru telah dekat,
segera membisikkan sesuatu di telinga adik seperguruannya itu.
Sejenak kemudian,
kuasa Yang Maha Agung yang menguasai seluruh alam raya beserta isinya itu pun
berlaku. Tidak ada satupun makhluk di jagad raya ini yang luput dari takdirNYA,
dan Ki Swandaru telah menjalani takdir NYA.
Untuk beberapa
saat suasana menjadi hening. Hanya isak tangis kedua perempuan itu yang
terdengar tertahan-tahan. Sementara langit di ufuk timur telah merona. Sinar Matahari
pagi mulai menyentuh awan yang berarak tipis. Burung-burung pun mulai berkicau
memperdengarkan suaranya yang merdu dan penuh riang gembira.
Ki Rangga
segera bangkit berdiri. Dilemparkan pandangan matanya ke arah barat. Dengan aji
sapta pandulu, semua yang terlihat masih remang bagi Ki Rangga menjadi sangat jelas. Tampak tiga orang sedang
berjalan ke arah barat menjauhi padang rumput lemah Cengkar meninggalkan
sesosok tubuh yang terbujur diam di belakang mereka.
“Raden Mas
Rangsang dan Anjani,” desis Ki Rangga dalam hati sambil mengamati kedua sejoli
yang tampak berjalan dengan riang di bawah siraman sinar Matahari yang masih lemah,
“Syukurlah. Semoga Anjani menemukan kebahagiaan yang selama ini dirindukannya."
Namun ada
segores luka yang terasa sangat pedih jauh di dasar hatinya yang paling dalam. Kenangan
bersama Anjani memang tidak mungkin akan dapat dilupakan sepanjang hidupnya
Ketika Ki
Rangga kemudian mencoba mengenali bayangan orang yang sudah sangat sepuh yang
berjalan di sebelah kanan Raden Mas Rangsang, Ki Rangga menjadi sangat terkejut
bagaikan melihat hantu di siang bolong.
“Ah, tidak
mungkin,” berkata Ki Rangga akhirnya tanpa sadar, “.Aku sama
sekali tidak mengenal orang itu,”
Ki Widura
yang telah tersadar dari tidur lelapnya dan sedang berjalan mendekati keponakannya itu sekilas mendengar
ucapan Ki Rangga. Tanyanya kemudian, “Siapakah yang angger maksud?”
Sekilas Ki
Rangga berpaling ke arah pamannya. Jawabnya kemudian sambil memandang kembali
ke arah titik-titik bayangan di kejauhan, “Bukan siapa-siapa Paman. Mungkin aku
hanya salah melihat saja.”
Demikianlah
akhirnya, para korban pertempuran lemah cengkar telah dikumpulkan dan diangkut
dengan dua buah pedati yang dipinjam dari padukuhan terdekat, padukuhan Kaliasat. Jasad
Ki Tumenggung Purbarana dan para Prajurit akan dibawa ke Mataram. Sedangkan korban
dari para pengikut Pangeran Ranapati langsung dimakamkan di lemah cengkar. Sementara jasad Ki Swandaru akan dibawa
langsung ke Sangkal Putung untuk mendapatkan penghormatan terakhir di sana.
Dalam pada
itu, langit di ufuk timur telah semakin cerah. Sinar Matahari yang menyentuh
butir-butir embun pagi yang masih manja bergelayutan di pucuk-pucuk dedaunan
memantulkan sinar yang indah berwarna-warni. Seindah warna hati Rara Anjani yang telah menemukan masa depannya.
TAMAT
(selanjutnya baca di woro-woro)
(selanjutnya baca di woro-woro)
Speechless.....sayaemboro ne okeh iki
BalasHapus1. Apa permintaan terakhir SG selain nitip anaknya?
2. Siapakah Kakek Tanpa Aran?
3. Bagaimana nasib PR dan Singawana ?
4. Dst
Monggo dipun lanjut mBah...
Matur suwun
saya tertarik menjawab sayembara ki mas aryo.
Hapus1. pesan swandaru selain titip anak mestine kon ngawini pandan wangi. hehe
2. kakek tanpo aran itu kayaknya kiai gringsing
3. nasib e pangeran dan gurunya singawana ora ngerti. wkwkw..
maturnuwun mbahh... ditunggu sambungannya..
Jawabannya to the point ; @ngarepbanget,
Hapuskalo almarhum (SHM) suka ngulur-ulur karep,
wk wk wk...
salam "adbmers"
Matur nuwun Mbah Man ingkang sampun kerso paring wedharan ngantos seri tamat.
BalasHapusMbokbilih wonten keparengipun saget dilanjut kanthi irah2an sanes. Nuwun
Matur nuwun sanget Mbah Man...begitu mepengharukan penutupan Jilid 416 ini....ikut berduka atas kesudahan peran Swandaru yang telah hadir dari jilid 1 Adbm sampai jilid 416...mungkin ini jaoan ysng terbaik karena anak Swandaru harus diasuh dengan orang2 terbaik karena dia pewaris dus daerah besar seandsinya Swandaru yang merawat kemungkinan Mataram akan bergoyang karena sifat Swandaru yang mudah terhasut, dan KG telah meramal di kain gringsingnya yang tergambar sebuah mata cakra yang rumpil/cacat sudah runut sekali ceritanya.
BalasHapusDikeheningan dalam kedukaan Ki Lurah bersenandung ...pupuslah harapanku...apalagi dia sudah diberi gelar kebangsawanan "Rara" semangkin jauh untuk digapai oh nasib tukang gojek online memang selalu naas dapat penumpang signalnya kelap kelip...akhirnya diserobot orang...TAMAT sret..mblayu...
...jadilah PM baru....
HapusPemuda Merana merene alias pemuda wara wiri bisa juga disebut supir taxi atau tukang ojek....hehe
Hapus....hihihi....hohoho....huuuu...(nelangsa tapine tetep legawa....muga muga cepet entuk tamba carito tulada sing luwih dowo....)
Hapushehehe.....
Matur nuwun mbah. Tapi kok tamat ceritanya mbah.
BalasHapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusPenasaran lanjutan di seri 417nya
Matur nuwun Mbah Man, tetap berharap berlanjut ke 417 ..... tetap semangat !
BalasHapuswaaduhh nek selanjutnya terserah Anda ngene iki rak njur repot ta?
BalasHapusMbok nggih ampun tamat ning bersambung ke seri berikurnya gitu. ????
Nanging kulo sabar kok anggen kulo angantu antu seri selajengipun. Maturnuwun sedaya jerih payah ipun
HapusLagi blebu kok wis entek, weh
BalasHapusLagi blebu kok wis entek, weh
BalasHapusMatur nuwun mBah-Man yang telah merampungkan jilid 416 TADBM.
BalasHapusSemoga ada kelanjutannya dgn cerita yang lain. Dengan cerita Anak turunnya AS dan SW.
Matur nuwun sanget Mbah Man lanjutan wedarannya .... tetap ndak bisa ditebak ceritanya ... mbah man memang hebat ... tapi kok tamat mbah ? Mudah2xan tamat untuk seri ini ...
BalasHapusDan mudah2xan ada lanjutan di seri berikutnya .... apapun namanya itu...
Masih banyak cerita yang belum selesai ? Gatra Bumi ? Glagah Putih ? Siapa Kakek tanpa Aran yang buat ki RAS kaget setengah mati ? Apa kakek tanpa aran sama dengan kyai gringsing ?
Sabarrr dan semangat ... mudah2xan mbah man kerso memberi sedikit arahan .....
Matur nuwun mbah_man.....waduh kok tamat.....judulnya diganti nggih ?
BalasHapusSukra....sukra....kowe neng ngendi? kok ra pamit RAS / GP...
BalasHapusbaik
BalasHapusDitunggu Mbah lanjutan nya 417 dan sangat berharap lanjutan seterusnya nya...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSayangnya belom ada lanjutannya...mengharap.com
BalasHapuswaduh malah jadi mumet yen ora diteruske
BalasHapusSayang sekali keburu tamat, padahal keinginan untuk kelanjutan berita mengenai tokoh2nya sdg asyik-asyiknya.
BalasHapusTiba2 agung sedayu playboy...hehe
BalasHapusKenangan indah bersama Anjani yang tidak akan mungkin terlupakan sepanjang hidup Ki RAS.
BalasHapusSejauh manakah kenangan mereka ?