Jumakir menarik nafas
dalam-dalam, Padepokan Kedungjati adalah salah satu Padepokan yang besar dan
berpengaruh langsung terhadap Kadipaten Jipang, karena kedua orang murid utama
Padepokan tersebut, yaitu Jaka Pandan yang bergelar Patih Mantahun dan
Sumangkar saat itu menjadi benteng utama dari kadipaten Jipang selain Adipati
Jipang sendiri yang gagah perkasa dan sakti mandraguna tiada taranya, Adipati
Haryo Penangsang.
Sura Ireng benar-benar sudah tidak dapat menahan diri
lagi, apalagi ketika dilihatnya dengan perlahan-lahan Soka Wana berdiri,
walaupun sikapnya jauh dari sikap seseorang yang ingin berkelahi, namun justru
sikap Soka Wana yang demikian itulah yang semakin membakar jantung Sura Ireng,
dianggapnya pemuda itu tidak memandang sebelah matapun terhadap dirinya.
Sebenarnyalah Suko Wana
merasa sangat heran. Tidak ada sepercikpun niat untuk membuat keributan di
Padepokan ini. Sudah berpuluh tempat,
baik itu berupa kademangan maupun Padepokan yang telah dia singgahi untuk
memohon belas kasihan. Hanya kebetulan saja di padepokan yang dia singgahi kali ini
terdapat sekuntum bunga yang sedang mulai mekar, keindahan dan keharumannya
agaknya telah membuat Sura Ireng gelap mata dan mabok kepayang.
Akhirnya Soka Wana
berketetapan hati, lebih baik dirinya menyingkir dari persoalan yang tidak
begitu dimengertinya sebelum persoalan itu sendiri akan menyeretnya semakin
jauh dan akhirnya dapat menenggelamkannya dalam pusaran permasalahan yang semakin rumit.
“Sebentar Ki sanak berdua,”
desis Soka Wana memberanikan dirinya untuk mengungkapkan perasaannya,
“sebenarnyalah aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, namun apabila
kehadiranku disini menumbuhkan persoalan
tersendiri bagi Ki sanak berdua bahkan padepokan ini, sebaiknya aku mohon diri,
ijinkanlah aku meneruskan perantauanku, menyusuri lembah dan ngarai, serta
mendaki bukit dan lereng pegunungan.”
“Tunggu dulu!” untuk yang
kesekian kalinya kembali Sura Ireng membentak sambil meloncat maju. Tangan
kirinya mendorong Jumakir yang masih berdiri termangu mangu di hadapannya
sehingga tanpa dapat dicegah, Jumakirpun terdorong kesamping dan jatuh
terduduk.
Belum lagi hilang rasa
terkejut Jumakir, terdengar sebuah hentakan yang keras disertai dengan keluhan
tertahan dari mulut Soka Wana.
Dada Jumakir terasa semakin
sesak. Kejadian ini selalu berulang dan berulang, dan permasalahannya juga
berkisar pada masalah yang sama, ketersinggungan Sura Ireng setiap kali ada
Anak Muda yang mencoba bergaul dekat dengan Niken Mita Ayu Puspaningratri.
Keributan yang terjadi di
depan regol Padepokan itu ternyata telah menarik perhatian para cantrik yang
sedang membersihkan rumput di halaman samping padepokan. Segera saja mereka
berlari lari menuju ke regol Padepokan.
Namun sebelum para cantrik
itu mencapai regol padepokan, tiba tiba saja terdengar derit pintu pringgitan
terbuka, seorang yang sudah berusia lanjut muncul dari balik pintu sambil
bertelekan pada tongkatnya diiringi oleh seorang gadis kecil yang mulai tumbuh menjelang
dewasa, yang mempunyai kecantikan tiada taranya, Niken Mita Ayu Puspaningratri.
“Ki Ajar Sokaniti,” serentak
para cantrik seakan bergumam pada diri mereka sendiri.
Sementara itu Jumakir dengan
perlahan lahan berdiri, dikibaskannya debu yang melekat di kain panjangnya,
sedangkan Sura Ireng seakan akan membeku ditempatnya, tidak pernah terpikirkan
olehnya bahwa Ki Ajar Sokaniti akan hadir di tempat itu.
Perlahan namun pasti, Ki
Ajar Sokaniti melangkah menyeberangi pendapa yang tidak begitu luas, kemudian
turun ke halaman menuju regol depan padepokan Sekar Keluwih.
Semua wajahpun tertunduk
ketanah, wibawa yang luar biasa dari Ki Ajar Sokaniti telah membuat mereka
bagaikan membeku di tempatnya. Hanya langkah satu satu dari Ki ajar Sokaniti
sajalah yang terdengar bagaikan dentuman guguran batu batu padas di gerojokan.
Sedangkan langkah langkah kecil Niken Mita Ayu Puspaningratri selalu mengiringi
disebelahnya.
Ketika Ki Ajar Sokaniti
mencapai regol depan Padepokan Sekar Keluwih, yang pertama tama dilihatnya
adalah Jumakir yang berdiri termangu mangu di samping regol. Agak jauh di depan
regol, tampak Sura Ireng dengan wajah merah padam berdiri dengan gelisah,
sebentar dilayangkan pandangan matanya kearah Ki Ajar Sokaniti, namun sejenak
kemudian diapun menoleh kebelakang, menatap dengan nanar sesosok tubuh yang
terbujur diam diatas tanah yang berdebu.
Untuk beberapa saat suasana
bagaikan mencekam jantung, tidak ada seorangpun dari mereka yang berani membuka
suara, semua menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Ajar Sokaniti.
Tiba tiba saja suasana
mencekam itu dipecahkan oleh jerit Niken Mita Ayu Puspaningratri, “Kakang..kakang
Soka Wana..!”
Kalau saja tidak ada tangan
kokoh yang mencengkeram lengan Niken Mita Ayu, mungkin dia sudah berlari
menghambur ke arah Soka Wana yang sedang terbaring diam beberapa langkah di
belakang Sura Ireng.
“Ayahanda, mengapa Ayahanda
mencegahku melihat keadaan Kakang Soka Wana?” tanya Niken Mita Ayu setelah
mencoba melepaskan cengkaman tangan Ayahandanya, Ki Ajar Sokaniti.
“Mita Ayu,” desis Ki Ajar
perlahan lahan, “ Sudah tahukah engkau siapa sebenarnya orang yang kau sebut
namanya Soka Wana itu? Tidak ada jeleknya kita selalu waspada dalam menghadapi
setiap persoalan, demikian juga hendaknya
janganlah engkau bertindak tergesa gesa sehingga meninggalkan suba sita
sebagai seorang perempuan.”
Bagaikan palu godam kata
kata Ki Ajar menghantam dinding dinding hati Niken Mita Ayu. Sebenarnyalah
kelembutannya dan kepeduliannya terhadap sesama titah yang membuat Niken Mita
Ayu bersikap demikian. Hatinya masih terlalu muda dan polos untuk mengenal
hubungan antara laki laki dan perempuan dengan segala unggah ungguh yang mengaturnya.
“Sura Ireng, apakah
sebenarnya yang terjadi?” bertanya Ki Ajar sambil berjalan menghampiri Sura
Ireng.
“Ampun Ki Ajar, anak muda
ini dicurigai sebagai telik sandi Padepokan Kedungjati, sedangkan kita semua
tahu, bahwa padepokan Kedungjati sekarang ini sedang giat untuk menghimpun
kekuatan padepokan padepokan yang tersebar di tlatah Jipang dan sekitarnya, bahkan
jauh sampai ke tlatah pajang untuk berdiri dibelakang Kadipaten Jipang
mendukung Adipati Haryo Penangsang memimpin negeri ini sepeninggal kekuasaan Demak.”
“Apakah engkau yakin?”
kembali Ki Ajar melontarkan pertanyaan.
“Yakin Ki Ajar, dia
menyembunyikan jati dirinya dan berusaha mempengaruhi Niken Mita Ayu.”
“Bohong, Ayahanda,” tiba
tiba Niken Mita Ayu menyahut, “Dia tidak menyembunyikan jati dirinya, dia
menyebut namanya Soka Wana seorang pengembara, dan dia juga tidak berusaha
mempengaruhiku, yang dilakukannya hanya minta belas kasihan berupa air minum
dan makanan sekedarnya.”
“Mita Ayu,” dengan sareh
kembali Ki Ajar menasehati putrinya, “Seseorang tidak bisa diketahui jati
dirinya hanya dari namanya, demikian juga ada seribu satu cara untuk mendapatkan
kepercayaan dari seseorang tanpa orang tersebut menyadari apa yang sebenarnya
terjadi.”
Kembali kepala Niken Mita
Ayu tertunduk dalam dalam. Dalam hatinya dia tidak memungkiri kebenaran dari
setiap patah kata yang diucapkan oleh Ayahandanya, namun disudut hatinya yang
paling dalam tidak ada sepercik keraguanpun atas diri Soka Wana. Entah mengapa,
kepercayaan itu sudah dirasakannya pada saat pertama kali mereka berjumpa.
Matur nuwun mbah
BalasHapusMatur nuwun Mbah_Man
BalasHapusNiken Mita Ayu
BalasHapushmmm.... jadi ingat mbak Mita dari Solo, yang tidak muncul lagi di Gagakseta, ngambek karena cerita ini dihentikan oleh Panembahan.
bagaimana kabarnya dia.
matur nuwun mbahMan.
BalasHapusMatur nuwun Mbah _man...😉✔
BalasHapusAssalamualaikum, saya penggemar bacaan SH mintardja dari saat saya masih SD,mohon bantuan infonya untuk bisa membaca secara runut cerita dari Mbah Man ....terutama cerita yang menghubungkan Nogo Sosro Sabuk Inten dan ADBM (Gugat Trahing Kusumo) dan JJYT serta BDBJ, suwun
BalasHapusPertanyaan yg sama.. sprtinya enak bnget bca cerita yg sling berkelanjutan.. (sy prtama baca adbm. Baru nemu nogososro trus trahing kusumo yg trnyta ada tokoh2 yg sama spt kyai gringsing muda
Hapus