Senin, 05 Desember 2016

BDBJ 01 bag 3

Jumakir menarik nafas dalam-dalam, Padepokan Kedungjati adalah salah satu Padepokan yang besar dan berpengaruh langsung terhadap Kadipaten Jipang, karena kedua orang murid utama Padepokan tersebut, yaitu Jaka Pandan yang bergelar Patih Mantahun dan Sumangkar saat itu menjadi benteng utama dari kadipaten Jipang selain Adipati Jipang sendiri yang gagah perkasa dan sakti mandraguna tiada taranya, Adipati Haryo Penangsang.

Sura Ireng  benar-benar sudah tidak dapat menahan diri lagi, apalagi ketika dilihatnya dengan perlahan-lahan Soka Wana berdiri, walaupun sikapnya jauh dari sikap seseorang yang ingin berkelahi, namun justru sikap Soka Wana yang demikian itulah yang semakin membakar jantung Sura Ireng, dianggapnya pemuda itu tidak memandang sebelah matapun terhadap dirinya.

Sebenarnyalah Suko Wana merasa sangat heran. Tidak ada sepercikpun niat untuk membuat keributan di Padepokan ini.  Sudah berpuluh tempat, baik itu berupa kademangan maupun Padepokan yang telah dia singgahi untuk memohon belas kasihan. Hanya kebetulan saja  di padepokan yang dia singgahi kali ini terdapat sekuntum bunga yang sedang mulai mekar, keindahan dan keharumannya agaknya telah membuat Sura Ireng gelap mata dan mabok kepayang.

Akhirnya Soka Wana berketetapan hati, lebih baik dirinya menyingkir dari persoalan yang tidak begitu dimengertinya sebelum persoalan itu sendiri akan menyeretnya semakin jauh dan akhirnya dapat menenggelamkannya dalam pusaran permasalahan  yang semakin rumit.

“Sebentar Ki sanak berdua,” desis Soka Wana memberanikan dirinya untuk mengungkapkan perasaannya, “sebenarnyalah aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, namun apabila kehadiranku disini menumbuhkan  persoalan tersendiri bagi Ki sanak berdua bahkan padepokan ini, sebaiknya aku mohon diri, ijinkanlah aku meneruskan perantauanku, menyusuri lembah dan ngarai, serta mendaki bukit dan lereng pegunungan.”

“Tunggu dulu!” untuk yang kesekian kalinya kembali Sura Ireng membentak sambil meloncat maju. Tangan kirinya mendorong Jumakir yang masih berdiri termangu mangu di hadapannya sehingga tanpa dapat dicegah, Jumakirpun terdorong kesamping dan jatuh terduduk.

Belum lagi hilang rasa terkejut Jumakir, terdengar sebuah hentakan yang keras disertai dengan keluhan tertahan dari mulut Soka Wana.

Dada Jumakir terasa semakin sesak. Kejadian ini selalu berulang dan berulang, dan permasalahannya juga berkisar pada masalah yang sama, ketersinggungan Sura Ireng setiap kali ada Anak Muda yang mencoba bergaul dekat dengan Niken Mita Ayu Puspaningratri.

Keributan yang terjadi di depan regol Padepokan itu ternyata telah menarik perhatian para cantrik yang sedang membersihkan rumput di halaman samping padepokan. Segera saja mereka berlari lari menuju ke regol Padepokan.

Namun sebelum para cantrik itu mencapai regol padepokan, tiba tiba saja terdengar derit pintu pringgitan terbuka, seorang yang sudah berusia lanjut muncul dari balik pintu sambil bertelekan pada tongkatnya diiringi oleh seorang  gadis kecil yang mulai tumbuh menjelang dewasa, yang mempunyai kecantikan tiada taranya, Niken Mita Ayu Puspaningratri.

“Ki Ajar Sokaniti,” serentak para cantrik seakan bergumam pada diri mereka sendiri.
 
Sementara itu Jumakir dengan perlahan lahan berdiri, dikibaskannya debu yang melekat di kain panjangnya, sedangkan Sura Ireng seakan akan membeku ditempatnya, tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Ki Ajar Sokaniti akan hadir di tempat itu.

Perlahan namun pasti, Ki Ajar Sokaniti melangkah menyeberangi pendapa yang tidak begitu luas, kemudian turun ke halaman menuju regol depan padepokan Sekar Keluwih.

Semua wajahpun tertunduk ketanah, wibawa yang luar biasa dari Ki Ajar Sokaniti telah membuat mereka bagaikan membeku di tempatnya. Hanya langkah satu satu dari Ki ajar Sokaniti sajalah yang terdengar bagaikan dentuman guguran batu batu padas di gerojokan. Sedangkan langkah langkah kecil Niken Mita Ayu Puspaningratri selalu mengiringi disebelahnya.

Ketika Ki Ajar Sokaniti mencapai regol depan Padepokan Sekar Keluwih, yang pertama tama dilihatnya adalah Jumakir yang berdiri termangu mangu di samping regol. Agak jauh di depan regol, tampak Sura Ireng dengan wajah merah padam berdiri dengan gelisah, sebentar dilayangkan pandangan matanya kearah Ki Ajar Sokaniti, namun sejenak kemudian diapun menoleh kebelakang, menatap dengan nanar sesosok tubuh yang terbujur diam diatas tanah yang berdebu.

Untuk beberapa saat suasana bagaikan mencekam jantung, tidak ada seorangpun dari mereka yang berani membuka suara, semua menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Ajar Sokaniti.

Tiba tiba saja suasana mencekam itu dipecahkan oleh jerit Niken Mita Ayu Puspaningratri, “Kakang..kakang Soka Wana..!”

Kalau saja tidak ada tangan kokoh yang mencengkeram lengan Niken Mita Ayu, mungkin dia sudah berlari menghambur ke arah Soka Wana yang sedang terbaring diam beberapa langkah di belakang Sura Ireng.

“Ayahanda, mengapa Ayahanda mencegahku melihat keadaan Kakang Soka Wana?” tanya Niken Mita Ayu setelah mencoba melepaskan cengkaman tangan  Ayahandanya, Ki Ajar Sokaniti.

“Mita Ayu,” desis Ki Ajar perlahan lahan, “ Sudah tahukah engkau siapa sebenarnya orang yang kau sebut namanya Soka Wana itu? Tidak ada jeleknya kita selalu waspada dalam menghadapi setiap persoalan, demikian juga hendaknya  janganlah engkau bertindak tergesa gesa sehingga meninggalkan suba sita sebagai seorang perempuan.”

Bagaikan palu godam kata kata Ki Ajar menghantam dinding dinding hati Niken Mita Ayu. Sebenarnyalah kelembutannya dan kepeduliannya terhadap sesama titah yang membuat Niken Mita Ayu bersikap demikian. Hatinya masih terlalu muda dan polos untuk mengenal hubungan antara laki laki dan perempuan dengan segala unggah ungguh yang mengaturnya.

“Sura Ireng, apakah sebenarnya yang terjadi?” bertanya Ki Ajar sambil berjalan menghampiri Sura Ireng.

“Ampun Ki Ajar, anak muda ini dicurigai sebagai telik sandi Padepokan Kedungjati, sedangkan kita semua tahu, bahwa padepokan Kedungjati sekarang ini sedang giat untuk menghimpun kekuatan padepokan padepokan yang tersebar di tlatah Jipang dan sekitarnya, bahkan jauh sampai ke tlatah pajang untuk berdiri dibelakang Kadipaten Jipang mendukung Adipati Haryo Penangsang memimpin negeri  ini sepeninggal kekuasaan Demak.”

“Apakah engkau yakin?” kembali Ki Ajar melontarkan pertanyaan.

“Yakin Ki Ajar, dia menyembunyikan jati dirinya dan berusaha mempengaruhi Niken Mita Ayu.”

“Bohong, Ayahanda,” tiba tiba Niken Mita Ayu menyahut, “Dia tidak menyembunyikan jati dirinya, dia menyebut namanya Soka Wana seorang pengembara, dan dia juga tidak berusaha mempengaruhiku, yang dilakukannya hanya minta belas kasihan berupa air minum dan makanan sekedarnya.”

“Mita Ayu,” dengan sareh kembali Ki Ajar menasehati putrinya, “Seseorang tidak bisa diketahui jati dirinya hanya dari namanya, demikian juga ada seribu satu cara untuk mendapatkan kepercayaan dari seseorang tanpa orang tersebut menyadari apa yang sebenarnya terjadi.”


Kembali kepala Niken Mita Ayu tertunduk dalam dalam. Dalam hatinya dia tidak memungkiri kebenaran dari setiap patah kata yang diucapkan oleh Ayahandanya, namun disudut hatinya yang paling dalam tidak ada sepercik keraguanpun atas diri Soka Wana. Entah mengapa, kepercayaan itu sudah dirasakannya pada saat pertama kali mereka berjumpa.

7 komentar :

  1. Niken Mita Ayu

    hmmm.... jadi ingat mbak Mita dari Solo, yang tidak muncul lagi di Gagakseta, ngambek karena cerita ini dihentikan oleh Panembahan.
    bagaimana kabarnya dia.

    BalasHapus
  2. Matur nuwun Mbah _man...😉✔

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum, saya penggemar bacaan SH mintardja dari saat saya masih SD,mohon bantuan infonya untuk bisa membaca secara runut cerita dari Mbah Man ....terutama cerita yang menghubungkan Nogo Sosro Sabuk Inten dan ADBM (Gugat Trahing Kusumo) dan JJYT serta BDBJ, suwun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertanyaan yg sama.. sprtinya enak bnget bca cerita yg sling berkelanjutan.. (sy prtama baca adbm. Baru nemu nogososro trus trahing kusumo yg trnyta ada tokoh2 yg sama spt kyai gringsing muda

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.