Minggu, 05 Maret 2017

STSD 02_22

Namun alangkah terkejutnya Ki Kebo Mengo begitu mendapatkan bayangan lawannya sama sekali tidak bergerak untuk menghindar. Serangannya yang berlandaskan pada kekuatan penuh itu menembus bayangan lawannya bagaikan menerjang angin saja. Ki Kebo Mengo justru telah terdorong oleh kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian Ki Kebo Mengo harus menguasai lontaran tubuhnya sendiri yang meluncur dengan deras ke depan.

Disaat tubuh Ki Kebo Mengo itu terhuyung-huyung ke depan karena pengaruh dorongan kekuatannya sendiri, tiba-tiba saja bayangan Ki Rangga dengan cepat berbalik dan kali ini sebuah hantaman yang cukup  keras kembali telah melanda punggung Ki Kebo Mengo.

Tubuh Ki Kebo Mengo yang sedang terhuyung ke depan itu bagaikan mendapat dorongan dua kali lipat dari kekuatannya sendiri. Akibatnya benar-benar telah membuat tubuh Ki Kebo Mengo  kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah yang mulai basah oleh embun malam.

“Setan, demit, iblis, gendruwo, tetekan!” sumpah serapah pun meluncur dari mulut Ki Kebo Mengo. Sambil berguling ke samping kanan untuk menghindari kemungkinan serangan susulan lawan, dengan sigap Ki Kebo Mengo pun segera melenting berdiri.

Sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan debu, terdengar Ki Kebo Mengo menggeram, “Ki Rangga, aku mengakui kedahsyatan ilmumu, namun jangan berbangga dulu. Rahasia ilmu petak umpetmu ini sebentar lagi akan kau temukan dan kebesaran nama Ki Rangga Agung Sedayu, agul-agulnya Mataram hanya akan tinggal nama saja.”

Tampak bayangan itu seolah menarik nafas panjang. Berkata bayangan itu kemudian, “Terima kasih atas pujian Ki Kebo Mengo. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu Ki Kebo Mengo menemukan rahasia ilmuku.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo sambil kembali melontarkan serangan. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tidak ingin mengulangi kesalahannya. Serangannya yang meluncur deras itu hanya sekedar sebagai pancingan saja.

Diam-diam dalam hati Ki Kebo Mengo tersenyum gembira begitu melihat bayangan lawannya diam tak bergerak. Dengan demikian Ki Kebo Mengo berharap kejadian sebelumnya akan berulang. Serangannya hanya akan menembus bayangan kosong. Pada saat tubuhnya meluncur ke depan, begitu kakinya menginjak tanah, dia sudah berencana untuk melenting  ke samping sehingga jika bayangan lawannya itu balik menyerangnya, dia sudah siap untuk membenturkan ilmunya.

“Bayangan semu Ki Rangga akan menampakkan kekuatannya jika dia menyerang,” demikian Ki Kebo Mengo mengambil kesimpulan di dalam hati, “Jika aku ingin menyentuhnya sebagaimana menyentuh bentuk wadagnya, aku harus membenturkan kekuatanku justru pada saat dia menyerang.”

Berbekal keyakinan itulah Ki Kebo Mengo tidak mengerahkan kekuatan penuh pada saat dia menyerang. Kakinya yang terjulur lurus mengarah dada itu meluncur tanpa kekuatan penuh.

Namun yang terjadi kemudian kembali membuat Ki Kebo Mengo harus mengumpat dengan umpatan sekotor-kotornya. Agaknya bayangan lawannya itu mampu mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam serangannya berdasarkan desir angin yang mendahuluinya. Dengan mengerahkan kekuatan yang cukup besar, bayangan Ki Rangga itu justru telah membenturkan kekuatannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Akibatnya serangan  Ki Kebo Mengo bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Tubuh Ki Kebo Mengo pun terlempar ke belakang dan melayang bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin puyuh, sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.

Entah sudah untuk ke berapa kalinya Ki Kebo Mengo mengeluarkan umpatan yang sangat kasar. Dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak mendapatkan dirinya menjadi bulan-bulanan lawannya. Sambil melenting berdiri dan kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki Kebo Mengo mulai menilai  kekuatan ilmu lawannya yang ternyata sangat ngedab-edabi itu.

“Hem,” desah Ki Kebo Mengo dalam hati sambil mencoba menguasai gejolak di dalam dadanya, “Ternyata ilmu Ki Rangga benar-benar ngedab-edabi. Jika dalam waktu dekat aku belum bisa menemukan kelemahannya, aku hanya akan menjadi bulan-bulanan saja seperti seekor tikus pithi di tangan seekor kucing yang garang.”

Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo tidak tahu harus berbuat apa. Dari pengalamannya melakukan serangan sebanyak dua kali, semuanya berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, apa yang telah terjadi itu merupakan aib yang akan mencoreng nama besarnya.

“Pantas bayangan Ki Rangga ini hanya menunggu serangan,” kembali Ki Kebo Mengo berkata dalam hati, “Disitulah letak kunci rahasianya. Dia hanya menunggu lawan untuk menyerangnya dan kemudian dia akan menjebak lawannya dengan kemampuan ilmunya yang mampu mengelabuhi itu.”

Dalam pada itu, selagi Ki Kebo Mengo masih menduga-duga rahasia di balik aji pengangen-angen Ki Rangga Agung Sedayu, dua pasang mata tampak sedang mengawasi mereka dari tempat yang cukup jauh.

“Raden,” bisik seseorang yang tampak sudah sangat tua renta namun terlihat sangat sehat dan kuat, “Aku pernah menghadapi dan merasakan langsung kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu. Ilmu itu kelihatannya merupakan perkembangan dari ilmu bayangan semu. Sudah sangat jarang orang yang mampu menguasai ilmu itu untuk saat ini. Selama ini memang pernah ada cerita tentang kesaktian tokoh-tokoh di masa lalu. Mereka itu dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Namun apakah mereka itu juga mempunyai kekuatan yang sama dengan ujud aslinya, itu yang belum pernah aku dengar.”

Orang yang berdiri di sebelahnya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Cerita itu memang pernah aku dengar, salah satunya adalah Maha Patih Gajah Mada. Bahkan menurut cerita yang tidak jelas sumbernya, Panembahan Senapati juga mampu melakukan hal itu walaupun kebenarannya sangat meragukan.”


“Raden benar,” sahut orang tua itu, “Memang pernah tersebar cerita tentang Panembahan Senapati yang mampu berada di beberapa tempat di saat yang bersamaan. Namun aku cenderung menganggap itu cerita ngayawara dari orang-orang Mataram sendiri yang sengaja ingin membesar-besarkan nama Panembahan Senapati.”

23 komentar :

  1. Matur sembah nuwun mbah man...🙏🙏

    BalasHapus
  2. Matur nuwun Mbah_man, rontal menjelang maghrib....makin penasaran....

    BalasHapus
  3. Matur nuwun, Mbah_Man. STSD 02-22 si Kebo Mengok jatuh bangun seperti lagunya Megi Z.

    BalasHapus
  4. Matur nuwun, Mbah_Man. STSD 02-22 si Kebo Mengok jatuh bangun seperti lagunya Megi Z.

    BalasHapus
  5. Wah ini akan semakin gayeng dan seru nih... mantab mbah man maturnuwun

    BalasHapus
  6. Terima kasih Mbah Man ... Menyimak terus dan menunggu kelanjutannya ...

    BalasHapus
  7. Matur-nuwun mBah-Man, atas Wedaran di hari libur. sehat selalu,Aamiin.

    BalasHapus
  8. Telat lagi....
    Matur suwun Panembahan.
    Semoga Panembahan tetap sehat.

    BalasHapus
  9. Jangan hanya ingat mbah Man harus ingat juga Bu Sri Ya , matur suwun Mbah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh...ladala...lazada... Ki iman piye kabare, weh mencungul pas Ki Kebo Mengo...bengok bengok sumpah serapah..."setan,demit,iblis,genderuwo,tetekan,tetelan sate kikil,jelangkung jelangse" ...sambil bernyanyi

      jatuh bangun aku mengejarmu...
      namun engkau hanya diam membisu...
      kutahu tubuhmu semu....
      Tapi bisa menghantam diriku....
      Tak sanggup...tak sanggup lagiii

      Dan terlihat Ki Zaini Yacub sedang bergoyang... fans nya Megi Z.....hehehelm...helm

      Hapus
    2. Alhamdulillah Ki Adi Jane ngintip terus tidak pernah ketinggalan semoga Mbah Man sekeluarga dan kita semua selalu sehat dan sejahtera Amiin

      Hapus
    3. Aamin YRA....matur nuwun Ki.

      Hapus
  10. alhamdulillah ... mampir tman bacaan ada wedaran ....matur nuwun sanget mbah man

    BalasHapus
  11. Matur nuwun sanget Mbah Man...mampir taman bacaan ada wedaran...Alhamdulillah.

    BalasHapus
  12. Hadir, matur nuwun Mbah Man, ternyata wayah surup hari Ahad ada wedaran ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  13. Relax mawon ki SP
    Lebih baik terlambat daripada tidak

    BalasHapus
  14. Baru sadar ... ternyata ada karangan Kho Ping Ho yang judulnya hampir sama.... STSD juga... singkatan dari Sejengkal Tanah Sepercik Darah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weh...kalau saya sudah sadar duluan waktu Mbah Man lagi membuat sayembara "judul" dan STSD lah yang keluar jadi judulnya, dan dugaan saya Mbah Man waktu merenungkan judul mendengar lagu karya Mansur S "Sejengkal Tanah" dan kalau buku karya Kho Ping Ho saya juga suka tapi agak kesulitan menghapal para tokoh tokohnya....kalau ADBM gampang Ki Dandang Wesi saja saya masih ingat....hehehe

      Hapus
    2. Ohh... ternyata Ki Adiwa fans beratnya H.Mansyur S? Masih ingat 'pagar makan tanaman' Ki? Atau 'pelaminan biru'? Hehehe jadi teringat masa lalu.....😊😊😊

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.