Jumat, 03 Maret 2017

STSD 02_19

Dalam pada itu, hujan deras yang sempat turun  beberapa saat tadi  telah berhenti dan hanya menyisakan titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes dari langit. Sepeninggal ketiga orang itu, Ki Waskita dan Ki Rangga pun segera kembali ke dalam banjar.

“Ngger,” berkata ki Waskita kemudian begitu mereka berdua telah duduk bersila kembali di ruang dalam, “Sedari tadi aku merasakan sepertinya ada sebuah kegelisahan yang sedang membebani pikiranmu.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil membetulkan letak duduknya. Jawabnya kemudian dengan setengah berbisik, “Ki Waskita, aku mempunyai firasat, sepertinya  orang itu akan kembali lagi.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Juga sambil berbisik, Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Mengapa angger mempunyai dugaan seperti itu?”

“Entahlah Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menggeleng perlahan, “Namun ada baiknya jika aku mencoba untuk melacak keberadaannya lagi.”

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Mumpung malam masih panjang. Sebaiknya angger mengetrapkan aji pengangen-angen untuk melacak keberadaan orang itu.”


Untuk sejenak Ki Rangga tertegun. Tanyanya kemudian, “Apakah itu perlu Ki Waskita?”

“Ya ngger,” jawab Ki Waskita mantap, “Dengan demikian angger tidak hanya melacak keberadaan pembunuh itu, namun jika memungkinkan angger sekalian dapat melumpuhkannya.”

Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Mengetrapkan aji pengangen-angen  bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pemusatan nalar dan budi sampai ke titik yang tertinggi. Selain itu, selama Ki Rangga dalam puncak semedinya, raganya akan sangat lemah, selemah selembar daun yang tergeletak di atas tanah.

Agaknya Ki Waskita dapat membaca keragu-raguan Ki Rangga. Maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Jangan khawatir, ngger. Selama engkau dalam puncak samadimu, aku akan menjaga ragamu dengan taruhan nyawaku sendiri."

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga segera membaringkan dirinya di atas tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan itu. Kedua tangannya segera bersilang diatas dada. Beberapa saat kemudian, terdengar aliran nafas Ki Rangga semakin lama semakin halus dan pelan. Ki Rangga pun telah memasuki puncak samadinya. Sementara Ki Waskita dengan sabar dan penuh kewaspadaan duduk bersila berjaga di samping Ki Rangga.

Dalam pada itu, begitu hujan reda, seseorang tampak bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Pohon itu terletak di pinggir jalan menuju banjar padukuhan. Kira-kira diperlukan waktu se pemakan sirih untuk berjalan dari tempat itu sampai ke banjar padukuhan Klangon.

“Semoga saja berita yang aku terima dari Raden Wirasena itu benar,” berkata orang itu dalam hati sambil menegakkan tubuhnya. Ditengadahkan wajahnya untuk melihat langit yang kelam. Lanjutnya kemudian, “Salah satu dari kelima orang yang bermalam di banjar itu adalah Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu.”

Untuk beberapa saat orang itu tampak termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan yang tampak  hitam kelam tanpa batas.

“Jika apa yang aku dengar selama ini memang benar, tentu orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu pasti mengetahui kehadiranku beberapa saat tadi,” gumam orang itu kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Namun jika apa yang diberitakan orang-orang selama ini ternyata terlalu dilebih-lebihkan, agul-agulnya Mataram itu pasti akan kebingungan mendapatkan orang di balik dinding itu tiba-tiba saja sudah tak bernyawa.”

Sambil mengayunkan langkahnya, tampak bibir orang itu menyunggingkan sebuah senyuman, senyum  yang menandakan kemenangan yang seolah-olah sudah berada di dalam genggaman tangannya.

“Tidak perlu Raden Wirasena sendiri yang turun tangan,” kembali orang itu berangan-angan, “Cukup Ki Kebo Mengo yang akan mrantasi semua penghalang.”

Namun tiba-tiba panggraita  orang yang bernama Ki Kebo Mengo itu merasakan akan kehadiran seseorang di tempat itu.

Dengan segera dia menghentikan langkahnya. Dalam sekejap Ki Kebo Mengo telah memusatkan nalar dan budinya dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Sejenak kemudian, panggraitanya telah menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.

“Keluarlah Ki Sanak,” berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan suara yang berat dan dalam sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Tidak ada gunanya Ki Sanak bersembunyi lagi. Aku tidak pernah mengampuni para pengecut yang beraninya hanya main petak umpet. Aku lebih senang membunuh dari pada berbantah yang tidak ada ujung pangkalnya.”

Namun jantung Ki Kebo Mengo itu bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Bayangan yang melekat pada sebatang pohon itu sama sekali tidak bergerak. Seakan-akan tidak menanggapi apa yang telah dikatakan oleh Ki Kebo Mengo.

“Hem,” geram Ki Kebo Mengo sambil berusaha menajamkan pandangan matanya. Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo menjadi ragu-ragu sendiri dengan pengamatannya.


“Siapa berani mempermainkan Ki Kebo Mengo, he?!” teriak Ki Kebo Mengo dengan suara menggelegar. Untunglah jalan yang menuju ke banjar padukuhan itu keadaannya sangat sepi. Beberapa rumah letaknya  berjauhan serta tempat Ki Kebo Mengo berhenti itu adalah tanah kosong yang membujur sepanjang jalan dan belum didirikan sebuah bangunan pun di atasnya.

14 komentar :

  1. matur sembah nuwum Mbah Man

    BalasHapus
  2. matur sembah nuwun Mbah_Man...

    BalasHapus
  3. Matur sembah nuwun mbah man.. Maleh mbah..

    BalasHapus
  4. Matur nuwun sanget Mbah Man....

    Sugeng rawuh Ki Kebo Mango...pantesan susah ditebak...ternyata tunggangannya Ki Bango Lamatan seng rawuh...sudah mulai ada lakon baku hantam...dan Ki RAS sedang menjajal Aji Pengangen angen...sambil leyeh leyeh...hehehe...suwun Mbah Man...

    BalasHapus
  5. Matur-nuwun mBah-Man, atas dobelan rontalnya.

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Mbah_man.... Top....

    BalasHapus
  7. matur nuwun mbah man .... nembe saget mampir taman bacaan wonten double wedaran ... mantaaaappp mbah man ...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.