Dalam pada itu, hujan deras yang
sempat turun beberapa saat tadi telah berhenti dan hanya menyisakan
titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes dari langit. Sepeninggal ketiga
orang itu, Ki Waskita dan Ki Rangga pun segera kembali ke dalam banjar.
“Ngger,” berkata ki Waskita
kemudian begitu mereka berdua telah duduk bersila kembali di ruang dalam,
“Sedari tadi aku merasakan sepertinya ada sebuah kegelisahan yang sedang
membebani pikiranmu.”
Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam sambil membetulkan letak duduknya. Jawabnya kemudian dengan
setengah berbisik, “Ki Waskita, aku mempunyai firasat, sepertinya orang itu akan kembali
lagi.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Juga sambil berbisik, Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Mengapa
angger mempunyai dugaan seperti itu?”
“Entahlah Ki Waskita,” jawab
Ki Rangga sambil menggeleng perlahan, “Namun ada baiknya jika aku mencoba untuk
melacak keberadaannya lagi.”
“Ya, ngger,” sahut Ki
Waskita cepat, “Mumpung malam masih panjang. Sebaiknya angger mengetrapkan aji
pengangen-angen untuk melacak keberadaan orang itu.”
Untuk sejenak Ki Rangga
tertegun. Tanyanya kemudian, “Apakah itu perlu Ki Waskita?”
“Ya ngger,” jawab Ki Waskita
mantap, “Dengan demikian angger tidak hanya melacak keberadaan pembunuh itu,
namun jika memungkinkan angger sekalian dapat melumpuhkannya.”
Sejenak Ki Rangga
termangu-mangu. Mengetrapkan aji pengangen-angen bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pemusatan
nalar dan budi sampai ke titik yang tertinggi. Selain itu, selama Ki Rangga
dalam puncak semedinya, raganya akan sangat lemah, selemah selembar daun yang
tergeletak di atas tanah.
Agaknya Ki Waskita dapat
membaca keragu-raguan Ki Rangga. Maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Jangan
khawatir, ngger. Selama engkau dalam puncak samadimu, aku akan menjaga ragamu
dengan taruhan nyawaku sendiri."
Ki Rangga tidak menjawab. Hanya
kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.
Demikianlah, sejenak kemudian
Ki Rangga segera membaringkan dirinya di atas tikar yang terbentang di
tengah-tengah ruangan itu. Kedua tangannya segera bersilang diatas dada. Beberapa
saat kemudian, terdengar aliran nafas Ki Rangga semakin lama semakin halus dan
pelan. Ki Rangga pun telah memasuki puncak samadinya. Sementara Ki Waskita dengan
sabar dan penuh kewaspadaan duduk bersila berjaga di samping Ki Rangga.
Dalam pada itu, begitu hujan
reda, seseorang tampak bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Pohon
itu terletak di pinggir jalan menuju banjar padukuhan. Kira-kira diperlukan
waktu se pemakan sirih untuk berjalan dari tempat itu sampai ke banjar padukuhan
Klangon.
“Semoga saja berita yang aku
terima dari Raden Wirasena itu benar,” berkata orang itu dalam hati sambil
menegakkan tubuhnya. Ditengadahkan wajahnya untuk melihat langit yang kelam. Lanjutnya
kemudian, “Salah satu dari kelima orang yang bermalam di banjar itu adalah
Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, Ki Rangga Agung
Sedayu.”
Untuk beberapa saat orang
itu tampak termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan yang tampak hitam kelam tanpa batas.
“Jika apa yang aku dengar
selama ini memang benar, tentu orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu
pasti mengetahui kehadiranku beberapa saat tadi,” gumam orang itu kemudian sambil
melangkahkan kakinya, “Namun jika apa yang diberitakan orang-orang selama ini ternyata
terlalu dilebih-lebihkan, agul-agulnya Mataram itu pasti akan kebingungan
mendapatkan orang di balik dinding itu tiba-tiba saja sudah tak bernyawa.”
Sambil mengayunkan
langkahnya, tampak bibir orang itu menyunggingkan sebuah senyuman, senyum yang menandakan kemenangan yang seolah-olah
sudah berada di dalam genggaman tangannya.
“Tidak perlu Raden Wirasena
sendiri yang turun tangan,” kembali orang itu berangan-angan, “Cukup Ki Kebo
Mengo yang akan mrantasi semua
penghalang.”
Namun tiba-tiba
panggraita orang yang bernama Ki Kebo
Mengo itu merasakan akan kehadiran seseorang di tempat itu.
Dengan segera dia
menghentikan langkahnya. Dalam sekejap Ki Kebo Mengo telah memusatkan nalar dan
budinya dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Sejenak kemudian, panggraitanya
telah menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri melekat pada sebatang
pohon yang tumbuh di pinggir jalan hanya beberapa langkah saja dari tempatnya
berdiri.
“Keluarlah Ki Sanak,”
berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan suara yang berat dan dalam sambil
mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Tidak ada gunanya Ki Sanak
bersembunyi lagi. Aku tidak pernah mengampuni para pengecut yang beraninya
hanya main petak umpet. Aku lebih senang membunuh dari pada berbantah yang
tidak ada ujung pangkalnya.”
Namun jantung Ki Kebo Mengo
itu bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Bayangan yang melekat
pada sebatang pohon itu sama sekali tidak bergerak. Seakan-akan tidak
menanggapi apa yang telah dikatakan oleh Ki Kebo Mengo.
“Hem,” geram Ki Kebo Mengo
sambil berusaha menajamkan pandangan matanya. Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo
menjadi ragu-ragu sendiri dengan pengamatannya.
“Siapa berani mempermainkan
Ki Kebo Mengo, he?!” teriak Ki Kebo Mengo dengan suara menggelegar. Untunglah jalan
yang menuju ke banjar padukuhan itu keadaannya sangat sepi. Beberapa rumah
letaknya berjauhan serta tempat Ki Kebo Mengo berhenti itu adalah tanah
kosong yang membujur sepanjang jalan dan belum didirikan sebuah bangunan pun di atasnya.
matur sembah nuwum Mbah Man
BalasHapusmatur sembah nuwun Mbah_Man...
BalasHapusMatur sembah nuwun mbah man.. Maleh mbah..
BalasHapusmatur nuwun mbah Man ...
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....
BalasHapusSugeng rawuh Ki Kebo Mango...pantesan susah ditebak...ternyata tunggangannya Ki Bango Lamatan seng rawuh...sudah mulai ada lakon baku hantam...dan Ki RAS sedang menjajal Aji Pengangen angen...sambil leyeh leyeh...hehehe...suwun Mbah Man...
Matur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas dobelan rontalnya.
BalasHapusMatur suwun tripelane mBah
BalasHapusMatur suwun tripelane mBah
BalasHapusMatur nuwun Mbah_Man...
BalasHapusMatur nuwun Mbah_Man...
BalasHapusMatur nuwun Mbah_man.... Top....
BalasHapusmatur nuwun mbah man .... nembe saget mampir taman bacaan wonten double wedaran ... mantaaaappp mbah man ...
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus