Kamis, 21 September 2017

STSD 07_02

Tampak seorang yang berperawakan tinggi besar berpakaian serba hitam dengan sebagian wajah, kaki dan tangan penuh dengan bulu-bulu seperti rupa seekor monyet raksasa. Di sebelahnya justru kebalikannya, seorang yang berperawakan ramping dibalut dengan pakaian yang ringkas serta sebagian wajahnya tertutup secarik kain.

“Tawanan itu masih pingsan,” tiba-tiba terdengar orang yang berperawakan ramping itu berdesis perlahan, “Mungkin aku tadi memukulnya terlalu keras.”

Orang tinggi besar yang berdiri di sebelahnya terdengar menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Rara, lain kali sebaiknya Rara membuat pertimbangan terlebih dahulu sebelum mengerahkan kekuatan. Aku takut leher orang itu justru telah patah atau mengalami cedera yang berat.”

“Ah Eyang ini,” terdengar suara manja dari orang yang bertubuh ramping sambil tangannya bergerak membuka penutup wajahnya. Seraut wajah cantik pun muncul dengan sepasang alis yang bak semut beriring di atas sepasang mata yang selalu berbinar bak bintang kejora. Hidung yang mungil namun mancung itu terlihat begitu serasinya dipadu dengan bibir merah muda nan ranum yang selalu basah menggairahkan.

“Marilah, Rara,” berkata orang tinggi besar itu kemudian, “Aku kira tenaga kita sudah tidak diperlukan lagi di sini. Kita segera berangkat ke gunung Kendalisada.”

“Aduh, Eyang..,” terdengar suara sedikit kesal yang meluncur dari bibir yang menggemaskan itu, “Jauh-jauh Eyang aku panggil dengan aji pameling, mengapa kita tidak sekalian saja bergabung dengan mereka sehingga kita dapat membantu tugas Ki Rangga di gunung Tidar?”

Kembali terdengar helaan nafas panjang dari orang tinggi besar itu. Jawabnya kemudian, “Rara, aku yakin Ki Rangga dan kawan-kawannya pasti sudah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum bertindak. Perguruan Sapta Dhahana di gunung Tidar memang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Namun sekali lagi aku yakin, Ki Rangga sudah sangat berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya dan mempunyai banyak pertimbangan dalam menghadapi perubahan di setiap keadaan.”

Sejenak wajah cantik itu tampak menunduk dalam-dalam dengan kening yang berkerut. Namun kata-kata yang kemudian terucap dari bibirnya justru telah mengejutkan orang yang dipanggil Eyang itu.

“Ya, sudahlah Eyang,” terdengar  perempuan cantik itu berdesis perlahan sambil mendongakkan wajahnya memandang bintang-gemintang yang berkelip di angkasa, “Ki Rangga memang tidak memerlukan tenaga kita sama sekali. Aku jadi menyesal, mengapa aku tadi begitu tergesa-gesa membantu Nyi Selasih? Seharusnya kita  menunggu saja kemunculan Ki Rangga untuk menyelamatkan Nyi Selasih.”

“Ah,” desah orang tinggi besar itu sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu maksudku, Rara. Betapapun tinggi ilmu Ki Rangga, namun dia tetap mempunyai kelemahan. Sudah sepatutnya Rara tadi membantu Nyi Selasih. Dalam keadaan seperti tadi, kita memang wajib memberikan bantuan semampu kita. Tidak usah menunggu orang lain yang belum tentu dapat diharapkan kehadirannya.”

“Jadi..?” sepasang mata indah itu tampak berbinar, “Maksud Eyang, betapapun hebatnya Ki Rangga, tetap saja dia memerlukan bantuan orang lain?”

Segaris tipis senyum tampak menghias bibir orang tinggi besar itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan cantik itu, dia kemudian  melangkah sambil  berkata, “Marilah. Ada baiknya kita ikut melihat-lihat keadaan di sekitar gunung tidar. Jika terjadi kecurangan-kecurangan, setidaknya kita dapat memperingatkan Ki Rangga dan kawan-kawannya. Jika semuanya sudah berjalan dengan baik, tidak ada salahnya kita menjadi penonton yang baik pula.”

Hampir saja perempuan cantik itu terlonjak kegirangan. Namun dengan cepat perasaan yang hampir meluap itu disimpannya rapat-rapat di dalam dada. Hanya sebuah senyum manis saja yang tersungging di bibirnya sambil tangan kanannya merangkul lengan kiri orang yang dipanggilnya Eyang itu sehingga kakinya yang sudah akan terayun lagi itu terhenti.

 “Apakah Eyang akan berlari dengan aji Sepi Angin kembali?” bertanya perempuan cantik itu dengan nada sedikit manja sambil mempererat pegangannya.

“Waktu kita sudah sangat sempit sekali,” jawab orang yang dipanggil Eyang itu sambil menengadahkan wajahnya, “Beberapa saat lagi malam akan berlalu dan akan banyak kemungkinan yang akan terjadi selepas sang fajar terbit.”

Selesai berkata demikian, orang yang dipanggil Eyang itu tiba-tiba saja menggerakkan sepasang kakinya dengan langkah yang lebar. Segera saja tampak benda-benda di sekitar mereka berdua bergerak menjauh ke belakang  dengan sangat cepatnya.

Dalam pada itu, malam semakin jauh meninggalkan pusatnya. Namun di padukuhan-padukuhan terdekat belum terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sedangkan  binatang-binatang malam dan sejenisnya masih saja  terbang berputar-putar mencari mangsa dan belum ada keinginan untuk kembali ke sarang mereka.

Ki Gede Matesih yang berjalan di depan pasukan pengawal tampak mendongakkan wajahnya. Lintang gubuk penceng sudah semakin jauh bergeser ke arah langit selatan. Sebagai gantinya, tampak lintang panjer rina mulai muncul dengan sinarnya yang cerah menyapa langit sebelum sinar Matahari yang pertama menyentuh bumi.

“Masih ada sedikit waktu sebelum fajar tiba,” desis Ki Gede tanpa sadar.

Beberapa pengawal yang berjalan di sebelahnya hampir serentak ikut mendongakkan wajah mereka. Wajah langit memang masih tampak gelap, namun tanda-tanda akan kedatangan sang fajar sudah mulai tampak.

“Marilah!” teriak Ki Gede kemudian sambil mempercepat langkahnya, “Kita jangan sampai terlambat!”

Serentak para pengawal itu pun kemudian ikut mempercepat langkah mereka. Ketika Ki Gede kemudian berlari-lari kecil, pasukan yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu pun kemudian berlari-larian sepanjang jalan setapak menuju ke  lereng gunung Tidar.

Beberapa ratus langkah di belakang pasukan itu, Ki Kamituwa bersama sekitar dua puluhan pengawal telah ikut berlari-larian sepanjang bulak panjang yang menghubungkan perdikan Matesih dengan gunung Tidar. Mereka berusaha memperpendek jarak dengan pasukan di depannya.


“Semoga kita tidak terlambat,” desis Ki Kamituwa sambil mempercepat larinya. Para pengawal pun segera menyesuaikan dengan langkah pemimpinnya itu.

26 komentar :

  1. Terima kasih Mbah Man ..... makin penasaran , mantap ....

    BalasHapus
  2. Matur nuwun sanget Mbah Man...

    Ah ternyata satu bayangan aneh itu orang yang memiliki alis bak semut beriring Rara Anjani sudah melibatkan diri....dan satu bayangan aneh lagi orang yang memiliki alis bak akar beringin yang juga memkliki Aji Sepi Angin....yang sangat ditakuti oleh pengemar layangan......makin seru...seram....gregetan karena Rara Anjani sudah menyusul kakang Mas Agung Sedayu..trengtengteng....engingeng....suit..suit...asyik geboy....

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Kiai Haji Panembahan. Tak pernah membosankan, bahkan selalu membuat penasaran... Hehehe...

    Sugeng enjang, sugeng makaryo poro sanak kadang sedoyo.

    BalasHapus
  4. semakin mendebarkan...matur nuwun eyang panembahan

    BalasHapus
  5. Matur nuwun MBah Man ... Rara Anjani sudah muncul kembali ... waduuuuhh jd deg deg plass ini mbah ...

    BalasHapus
  6. Matur nuwun wedaranipun mbah man... Cap cus oteweh jum'atan :D

    BalasHapus
  7. matur suwun mbah...
    tansah nyadong kado tahun baru hijriyah

    BalasHapus
  8. Matur nuwun wedaranipun mBah Man , mantaap

    BalasHapus
  9. Matur nuwun sanget Mbah Man.
    Dangu mboten sambang gandok, sajakipun tambah regeng.
    Sugeng warso enggal 1439 H.
    Mugi2 kaberkahan tansah anyarengo kita sedaya. Aamiin Yaa Rabbal alamiin.

    BalasHapus
  10. Matur nuwun sanget Mbah Man.
    Dangu mboten sambang gandok, sajakipun tambah regeng.
    Sugeng warso enggal 1439 H.
    Mugi2 kaberkahan tansah anyarengo kita sedaya. Aamiin Yaa Rabbal alamiin.

    BalasHapus
  11. Terimakasih banyak kok Mbah man,mbah man pancen mantaaaap oxe oce oce

    BalasHapus
  12. Eyang apakah tenaga kita diperlukan oleh Ki Rangga???
    Rara... Sehebat hebatnya Ki Rangga pasti ada kelemahannya
    Apakah kelemahan Ki Rangga itu eyang???
    Kelemahannya Ki Rangga adalah rasa kangen dengan Rara maka dari itu Ki Rangga perlu disemangati dengan kehadiran Rara..
    Ahhh....eyang suara Rara manja sambil membenahi letak semut yang beriring dialisnya agar tetap rapi dalam berbaris...klentung!!!!


    BalasHapus
  13. Alhamdulillah, bertemu lagi dg Ki Rangga dan Ki Waskita. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.