Tampak seorang yang
berperawakan tinggi besar berpakaian serba hitam dengan sebagian wajah, kaki
dan tangan penuh dengan bulu-bulu seperti rupa seekor monyet raksasa. Di
sebelahnya justru kebalikannya, seorang yang berperawakan ramping dibalut
dengan pakaian yang ringkas serta sebagian wajahnya tertutup secarik kain.
“Tawanan itu masih pingsan,”
tiba-tiba terdengar orang yang berperawakan ramping itu berdesis perlahan,
“Mungkin aku tadi memukulnya terlalu keras.”
Orang tinggi besar yang berdiri
di sebelahnya terdengar menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Rara, lain
kali sebaiknya Rara membuat pertimbangan terlebih dahulu sebelum mengerahkan
kekuatan. Aku takut leher orang itu justru telah patah atau mengalami cedera
yang berat.”
“Ah Eyang ini,” terdengar
suara manja dari orang yang bertubuh ramping sambil tangannya bergerak membuka
penutup wajahnya. Seraut wajah cantik pun muncul dengan sepasang alis yang bak
semut beriring di atas sepasang mata yang selalu berbinar bak bintang kejora. Hidung
yang mungil namun mancung itu terlihat begitu serasinya dipadu dengan bibir
merah muda nan ranum yang selalu basah menggairahkan.
“Marilah, Rara,” berkata
orang tinggi besar itu kemudian, “Aku kira tenaga kita sudah tidak diperlukan
lagi di sini. Kita segera berangkat ke gunung Kendalisada.”
“Aduh, Eyang..,” terdengar
suara sedikit kesal yang meluncur dari bibir yang menggemaskan itu, “Jauh-jauh
Eyang aku panggil dengan aji pameling, mengapa kita tidak sekalian saja bergabung
dengan mereka sehingga kita dapat membantu tugas Ki Rangga di gunung Tidar?”
Kembali terdengar helaan
nafas panjang dari orang tinggi besar itu. Jawabnya kemudian, “Rara, aku yakin
Ki Rangga dan kawan-kawannya pasti sudah membuat pertimbangan-pertimbangan
sebelum bertindak. Perguruan Sapta Dhahana di gunung Tidar memang tidak dapat
dipandang dengan sebelah mata. Namun sekali lagi aku yakin, Ki Rangga sudah
sangat berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya dan mempunyai banyak pertimbangan
dalam menghadapi perubahan di setiap keadaan.”
Sejenak wajah cantik itu
tampak menunduk dalam-dalam dengan kening yang berkerut. Namun kata-kata yang kemudian terucap dari bibirnya justru telah mengejutkan orang yang dipanggil Eyang itu.
“Ya, sudahlah Eyang,” terdengar
perempuan cantik itu berdesis perlahan sambil
mendongakkan wajahnya memandang bintang-gemintang yang berkelip di angkasa, “Ki
Rangga memang tidak memerlukan tenaga kita sama sekali. Aku jadi menyesal,
mengapa aku tadi begitu tergesa-gesa membantu Nyi Selasih? Seharusnya kita menunggu saja kemunculan Ki Rangga untuk
menyelamatkan Nyi Selasih.”
“Ah,” desah orang tinggi
besar itu sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu maksudku,
Rara. Betapapun tinggi ilmu Ki Rangga, namun dia tetap mempunyai kelemahan.
Sudah sepatutnya Rara tadi membantu Nyi Selasih. Dalam keadaan seperti tadi,
kita memang wajib memberikan bantuan semampu kita. Tidak usah menunggu orang
lain yang belum tentu dapat diharapkan kehadirannya.”
“Jadi..?” sepasang mata
indah itu tampak berbinar, “Maksud Eyang, betapapun hebatnya Ki Rangga, tetap
saja dia memerlukan bantuan orang lain?”
Segaris tipis senyum tampak
menghias bibir orang tinggi besar itu. Tanpa menjawab pertanyaan perempuan
cantik itu, dia kemudian melangkah sambil
berkata, “Marilah. Ada baiknya kita ikut
melihat-lihat keadaan di sekitar gunung tidar. Jika terjadi
kecurangan-kecurangan, setidaknya kita dapat memperingatkan Ki Rangga dan
kawan-kawannya. Jika semuanya sudah berjalan dengan baik, tidak ada salahnya
kita menjadi penonton yang baik pula.”
Hampir saja perempuan cantik
itu terlonjak kegirangan. Namun dengan cepat perasaan yang hampir meluap itu
disimpannya rapat-rapat di dalam dada. Hanya sebuah senyum manis saja yang
tersungging di bibirnya sambil tangan kanannya merangkul lengan kiri orang yang
dipanggilnya Eyang itu sehingga kakinya yang sudah akan terayun lagi itu terhenti.
“Apakah Eyang akan berlari dengan aji Sepi
Angin kembali?” bertanya perempuan cantik itu dengan nada sedikit manja sambil
mempererat pegangannya.
“Waktu kita sudah sangat
sempit sekali,” jawab orang yang dipanggil Eyang itu sambil menengadahkan
wajahnya, “Beberapa saat lagi malam akan berlalu dan akan banyak kemungkinan
yang akan terjadi selepas sang fajar terbit.”
Selesai berkata demikian,
orang yang dipanggil Eyang itu tiba-tiba saja menggerakkan sepasang kakinya
dengan langkah yang lebar. Segera saja tampak benda-benda di sekitar mereka
berdua bergerak menjauh ke belakang
dengan sangat cepatnya.
Dalam pada itu, malam semakin
jauh meninggalkan pusatnya. Namun di padukuhan-padukuhan terdekat belum
terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Sedangkan binatang-binatang malam dan sejenisnya masih
saja terbang berputar-putar mencari
mangsa dan belum ada keinginan untuk kembali ke sarang mereka.
Ki Gede Matesih yang
berjalan di depan pasukan pengawal tampak mendongakkan wajahnya. Lintang gubuk penceng sudah semakin jauh
bergeser ke arah langit selatan. Sebagai gantinya, tampak lintang panjer rina mulai muncul dengan sinarnya yang cerah menyapa
langit sebelum sinar Matahari yang pertama menyentuh bumi.
“Masih ada sedikit waktu
sebelum fajar tiba,” desis Ki Gede tanpa sadar.
Beberapa pengawal yang
berjalan di sebelahnya hampir serentak ikut mendongakkan wajah mereka. Wajah
langit memang masih tampak gelap, namun tanda-tanda akan kedatangan sang fajar
sudah mulai tampak.
“Marilah!” teriak Ki Gede
kemudian sambil mempercepat langkahnya, “Kita jangan sampai terlambat!”
Serentak para pengawal itu
pun kemudian ikut mempercepat langkah mereka. Ketika Ki Gede kemudian
berlari-lari kecil, pasukan yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu pun
kemudian berlari-larian sepanjang jalan setapak menuju ke lereng gunung Tidar.
Beberapa ratus langkah di
belakang pasukan itu, Ki Kamituwa bersama sekitar dua puluhan pengawal telah
ikut berlari-larian sepanjang bulak panjang yang menghubungkan perdikan Matesih
dengan gunung Tidar. Mereka berusaha memperpendek jarak dengan pasukan di
depannya.
“Semoga kita tidak
terlambat,” desis Ki Kamituwa sambil mempercepat larinya. Para pengawal pun
segera menyesuaikan dengan langkah pemimpinnya itu.
Matur suwun Panembahan.
BalasHapusMatur suwun Panembahan.
BalasHapusmatur sembah nuwun sanget ...
BalasHapusTerima kasih Mbah Man ..... makin penasaran , mantap ....
BalasHapusMatur nuwun Mbah
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man...
BalasHapusAh ternyata satu bayangan aneh itu orang yang memiliki alis bak semut beriring Rara Anjani sudah melibatkan diri....dan satu bayangan aneh lagi orang yang memiliki alis bak akar beringin yang juga memkliki Aji Sepi Angin....yang sangat ditakuti oleh pengemar layangan......makin seru...seram....gregetan karena Rara Anjani sudah menyusul kakang Mas Agung Sedayu..trengtengteng....engingeng....suit..suit...asyik geboy....
Mbah Man pncen Mathoh....
BalasHapusMatur nuwun Kiai Haji Panembahan. Tak pernah membosankan, bahkan selalu membuat penasaran... Hehehe...
BalasHapusSugeng enjang, sugeng makaryo poro sanak kadang sedoyo.
semakin mendebarkan...matur nuwun eyang panembahan
BalasHapusMatur nuwun mbah man....
BalasHapusMatur nuwun MBah Man ... Rara Anjani sudah muncul kembali ... waduuuuhh jd deg deg plass ini mbah ...
BalasHapusMatur nuwun wedaranipun mbah man... Cap cus oteweh jum'atan :D
BalasHapusTerima kasih Mbah
BalasHapusMatur suwun mbah man
BalasHapusmatur suwun mbah...
BalasHapustansah nyadong kado tahun baru hijriyah
Matur nuwun wedaranipun mBah Man , mantaap
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man.
BalasHapusDangu mboten sambang gandok, sajakipun tambah regeng.
Sugeng warso enggal 1439 H.
Mugi2 kaberkahan tansah anyarengo kita sedaya. Aamiin Yaa Rabbal alamiin.
Matur nuwun sanget Mbah Man.
BalasHapusDangu mboten sambang gandok, sajakipun tambah regeng.
Sugeng warso enggal 1439 H.
Mugi2 kaberkahan tansah anyarengo kita sedaya. Aamiin Yaa Rabbal alamiin.
maturnuwun P.Sri Dobelanipun
Hapusmatur-nuwun mBah-Man........
BalasHapustik tik tik....
BalasHapusBunyi hujan diatas genting....
HapusTerimakasih banyak kok Mbah man,mbah man pancen mantaaaap oxe oce oce
BalasHapusEyang apakah tenaga kita diperlukan oleh Ki Rangga???
BalasHapusRara... Sehebat hebatnya Ki Rangga pasti ada kelemahannya
Apakah kelemahan Ki Rangga itu eyang???
Kelemahannya Ki Rangga adalah rasa kangen dengan Rara maka dari itu Ki Rangga perlu disemangati dengan kehadiran Rara..
Ahhh....eyang suara Rara manja sambil membenahi letak semut yang beriring dialisnya agar tetap rapi dalam berbaris...klentung!!!!
Alhamdulillah, bertemu lagi dg Ki Rangga dan Ki Waskita. Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus