Rabu, 27 September 2017

STSD 07_04

Dalam pada itu, Ki Waskita yang sedang bertempur di halaman belakang sekilas telah mendengar umpatan Kiai Damar Sasangka.

“Syukurlah,” berkata Ki Waskita dalam hati begitu menyadari Ki Rangga telah mendapat kesempatan untuk menghindar dari medan, “Dengan aji pengangen-angen, hantu api sebesar gardu perondan itu tidak akan banyak  berpengaruh terhadap wadag angger Sedayu.”

Namun ternyata dugaan Ki Waskita itu tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba saja pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu telah merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa seolah olah ingin membakar langit. Sejenak kemudian, api yang menyelimuti sekujur tubuhnya itu berkobar semakin dahsyat dan semakin membesar.

“Ki Rangga!” tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar di sela-sela suara api yang bergemeretak mengerikan, “Aku tahu engkau berada tidak jauh dari tempat ini. Aku tidak tahu ilmu apalagi yang akan engkau pamerkan kepadaku. Namun semua itu tidak akan banyak berarti. Ilmu semumu sudah aku ketahui kelemahannya. Segala usahamu akan sia-sia. Engkau hanya mengulur-ulur waktu untuk menunda kematianmu saja!”

Namun belum selesai Kiai Damar Sasangka mengatupkan mulutnya, sebuah bayangan seolah muncul begitu saja dari kegelapan dan berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

“He..?!” seru Kiai Damar Sasangka terkejut bukan alang kepalang. Tanpa  sadar dia telah  mundur selangkah.

Namun keterkejutan Kiai Damar Sasangka itu hanya sekejab. Sejenak kemudian, suara tawanya pun menggelegar memenuhi udara malam di atas padepokan Sapta Dhahana.

“Apakah Ki Rangga sudah kehabisan ilmu untuk dipamerkan kepadaku?” bertanya Kiai Damar Sasangka kemudian di sela sela tawanya, “Dengan dibantu oleh dua bayangan semu saja engkau tidak mampu mengalahkan aku. Apalagi sekarang hanya sebuah bayangan semu. Apakah engkau sudah berputus asa Ki Rangga?”

Bayangan semu Ki Rangga itu tidak menjawab. Sejenak bayangan itu tampak menggerak-gerakkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian tampak bayangan semu Ki Rangga itu seperti membengkak dan terus membengkak dan akhirnya menjadi sebesar tiga kali lipat dari ujudnya  semula.

Untuk beberapa saat Kiai Damar Sasangka tertegun. Ujud semu Ki Rangga yang hanya satu namun berukuran tiga kali lipat dari ujud aslinya itu ternyata telah mendebarkan jantungnya. Dia belum dapat meraba ilmu sejenis apakah yang akan diperlihatkan oleh lawannya.

“Semacam ilmu bertiwikrama,” membatin Kiai Damar Sasangka dengan jantung yang berdebaran, “Namun mengapa dia mengambil ujud semu? Dengan ujud semu memang dia dapat berubah ujud menjadi sebesar gunung sekali pun. Tetapi di manakah ujud aslinya  sekarang ini?”

Pertanyaan itu berputar-putar di dalam benak Kiai Damar Sasangka sampai akhirnya dia dapat mengambil kesimpulan sendiri.

“O, inilah agaknya kelebihan ilmu Ki Rangga ini,” kembali Kiai Damar Sasangka berkata dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Dia berusaha menghindari benturan langsung antara ujud wadag aslinya dengan ilmuku. Dia berusaha bersembunyi di balik ilmu semunya ini. Namun aku yakin, aku akan dapat menemukan persembunyiannya. Sementara ujud semu ini tentu dalam pengendalian penuh Ki Rangga dari jarak yang tidak seberapa jauh dari tempat ini.”

Berpikir sampai disitu, pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu segera bersiap kembali untuk melanjutan pertempuran. Tanpa membuang waktu lagi, Kiai Damar Sasangka segera berteriak menggelegar sambil kedua tangannya terangkat ke atas tinggi-tinggi. Sejenak kemudian, api yang menyelimuti tubuhnya pun menjadi semakin berkobar nggegirisi.

Agaknya ujud semu raksasa Ki Rangga itu telah terpancing dengan gerakan lawan dan berusaha mendahului . Dengan cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian dari sepasang mata ujud semu raksasa Ki Rangga meluncur seleret cahaya kebiru-biruan menembus tebalnya selimut api yang melindungi tubuh lawannya dan langsung menembus dada meremas jantung.

Terdengar seruan keras dari balik gumpalan api yang menyala-nyala itu. Namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja dari gumpalan api itu meluncur berpuluh-puluh lidah api yang langsung mengurung dan menyelimuti sekujur tubuh ujud semu raksasa Ki Rangga.

Ki Waskita yang sempat sekilas mengamati medan pertempuran Ki Rangga dan Kiai Damar Sasangka  menjadi terkejut bukan alang kapalang. Tanpa sadar dia telah meloncat ke belakang sambil berteriak keras, “Ngger..! Engkau telah terpancing.! Jangan benturkan ilmumu ngger..!”

Namun semuanya sudah terlambat. Kiai Damar Sasangka yang dengan cerdik membiarkan dirinya diserang terlebih dahulu oleh bayangan semu Ki Rangga telah berhasil meraba tempat persembunyian Ki Rangga.

Sedangkan Ki Waskita yang meloncat ke belakang sambil memperhatikan arena pertempuran Ki Rangga ternyata telah lengah. Seleret lidah api dari lawannya telah menggores lengan kirinya.

“Gila!” teriak orang tua itu kesakitan sambil meloncat mengambil jarak. Terasa betapa lengan bajunya telah hangus terbakar sementara kulit lengannya  terkelupas.

Dalam pada itu selagi Ki Waskita berusaha menghindari serangan susulan lawannya, orang tua itu kembali mendengar Kiai Damar Sasangka berteriak keras.

Sebenarnyalah Kiai Damar Sasangka dengan sangat cerdik telah mengetahui sumber pancaran ilmu lawannya. Sebagaimana usahanya terdahulu dalam menghindari serangan lawan melalui sorot matanya, Kiai Damar Sasangka segera berguling menjauh. Begitu dia merasa sudah terlepas dari garis serang sorot mata lawannya, tiba-tiba saja tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di atas dinding padepokan.

Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengamati keadaan di luar dinding. Begitu tampak olehnya sebuah bayangan kepala seseorang yang menyembul di antara semak belukar di bawah sebatang pohon keluwih, tubuhnya yang berbentuk gumpalan api sebesar gardu perondan itu pun bagaikan tatit segera meluncur deras menghantam bayangan di bawah pohon keluwih itu.

Dalam pada itu, malam memang masih menyisakan kegelapan, namun ayam-ayam jantan di padukuhan padukuhan telah berkokok bersahut-sahutan menyambut datangnya sang fajar. Di Menoreh, Sekar Mirah sedang tidur terlelap karena hampir semalaman Bagus Sadewa rewel dan menangis tanpa tahu sebab musababnya. Baru menjelang dini hari tadi, anak semata wayangnya itu bisa tidur dengan tenang.

Namun baru saja Sekar Mirah terlena beberapa saat, dia telah dikejutkan oleh sebuah mimpi yang mengerikan.

“Kakaang..!” teriak Sekar Mirah tiba-tiba sambil terlonjak dari tempat tidurnya. Dengan jantung yang berdentangan, sepasang matanya nanar mengawasi keadaan di sekelilingnya. Sementara sekujur tubuhnya telah menjadi gemetar dan bersimbah keringat   serta nafas yang memburu.

Damarpati yang selalu menemani Sekar Mirah dan tidur beralaskan tikar di lantai bilik ikut terkejut. Dengan cepat dia segera bangkit berdiri dan menghampiri istri ki Rangga Agung Sedayu itu.

“Mbokayu,” seru Damarpati sambil mengguncang-guncang lengan Sekar Mirah, “Ada apa, mbokayu..!?”

Sekar Mirah belum dapat berkata sepatah katapun. Mulutnya rasa-rasanya terkunci dan lidahnya kelu. Apa yang dilihatnya di alam mimpi benar-benar telah mengguncang hatinya.

“Kakaang..,” hanya sepatah kata itulah  yang bisa terucap dari bibir yang pucat dan gemetar.

Agaknya Damarpati segera tanggap. Dengan cepat dia berlari ke sudut bilik. Dituangkannya air kendi yang segar ke dalam cawan. Dengan langkah sedikit tergesa cawan itu pun kemudian diangsurkannya kepada Sekar Mirah.

"Minumlah mbokayu," berkata Damarpati kemudian.

Dengan kedua tangan yang gemetar, Sekar Mirah menerima cawan itu. Betapa sulitnya air minum itu menembus kerongkongannya. Rasa-rasanya ada batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang menyumbat kerongkongannya.

Namun akhirnya sedikit demi sedikit air minum itu pun kemudian mampu membasahi kerongkongangnya.

“Ada apa mbokayu?” bertanya Damarpati kemudian perlahan sambil menerima cawan dari tangan Sekar Mirah, “Apakah mbokayu bermimpi buruk?”

Sejenak Sekar Mirah mencoba melonggarkan dadanya dengan cara menarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Ketika dirasakan jantungnya sudah tidak begitu melonjak-lonjak lagi, barulah Sekar Mirah mengangukkan kepalanya.

“Ya, Damarpati,” jawab Sekar Mirah perlahan sambil mengangguk, “Aku baru saja tertidur sejenak ketika tiba-tiba saja mimpi tu datang. Sebuah mimpi yang sangat mengerikan.”

Damarpati mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Kalau aku boleh tahu, apakah mimpi mbokayu itu?”

Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berpaling ke arah Bagus Sadewa yang tidur lelap di sebelahnya, dia menjawab lirih, “Aku melihat dalam mimpi, Kakang Agung Sedayu sedang terjebak dalam sebuah hutan yang sedang terbakar dengan dahsyatnya. Aku mencoba berteriak-teriak memanggilnya, namun bayangan kakang Sedayu telah hilang ditelan api yang berkobar-kobar.”

Sampai disini Sekar Mirah sudah tidak kuasa lagi menahan isaknya. Sejenak kemudian tangis Sekar Mirahpun terdengar tersendat-sendat di antara suara riang kicau burung yang mulai terdengar menghiasai udara pagi.

“Mbokayu,” berkata lirih Damarpati kemudian mencoba menghibur  sambil memeluk lengan Sekar Mirah, “Lebih baik kita berdoa untuk keselamatan Ki Rangga. Selain itu kita dapat menghadap Ki Gede Menoreh atau Kakekku untuk mohon petunjuk.”


Sekar Mirah tidak menjawab. Hanya anggukan kepalanya saja yang tampak di antara sedu sedannya.

(Jika para CanMen menikmati cerita ini dan berkenan donasi, diucapkan beribu terima kasih. semoga mendapat balasan yang melimpah dan barokah, amiin)

33 komentar :

  1. matur nuwun mbah man atas wedarannya ....

    BalasHapus
  2. Mohon no rek mbah man bisa diposting disini ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. di halaman bawah, Ki
      Rek mbah Putri
      matur suwun sakderengipun

      Hapus
    2. Ngapunten ndherek nambah info

      Blog ini dibuka dlm mode penuh atau mode web ki SS
      Beberapa pesawat ponsel tdk dpt membuka tampilan penuh, meski di geser paling bawah tdk terlihat halaman bawah yg sebenarnya.
      Mungkin demikian tambahan info
      Nuwun

      Hapus
  3. Nah . . . Nyi Sekar Mirah terbangun dari mimpi buruknya . . . berdebar kencang jantungnya mendapatkan wedaran sekilas dari Mbah Man.
    Apalagi para CanMen belum sempat bangun dari deburan ombak andrenalin yang memburu . . . duuuar pet . . . merconnya mbledhos separo.
    Wah hebat tenan cara memelihara ketegangan. Terima kasih Mbah Man.
    Cantrik siap menunggu mercon mbledhos lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah nunggu mercon mbledhos terlalu lama, tunggu tahun baru atau ada yang mantenan....mendingan nunggu bola api sebesar gardu perondaan...dah pasti liwat....hehehe

      Hapus
    2. Bola api sebesar gardu perondaan dengan penuh keyakinan bakalan semakin berkobar ditandai dengan mercon blanggur mbledhos yang suara nyamenggelagar sampai Korea Utara.
      Mengejutkan dunia permisilan . . .
      gemetar tangan ingin membalas meluncurkan misil Gerdu Dahana antar benua . . . kemana ?
      Masih bingung

      Hapus
  4. Hadir, matur nuwun Mbah Man, semakin mendebarkan, untuk donasi seperti biasa digabung dengan grup WA ADBMers dengan kolektor Nyi Sutji Sinto Rahayu ..... tetap semangat !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weh enak yo ono grup WA ADBMrrs dadi kiriman bisa tersalur rata....seperti pribahasa "Berat sama dipikul ringan sama dijingjing"πŸ˜†

      Kalau ada yang berkenan untuk buat lagi grup WA STSDers...mungkin lebih enak untuk saling kirim barengan....seperti bahasaperi'ne : "Dijinjing sama ringan dipikul sama berat"...agar lebih semangat lagi..ting!!!!

      Hapus
    2. lah wong membere STSD kuwi poro AdBMers owk ki.....

      Hapus
    3. Oh ngono toh Mas Aryo ADBMers iku terusane STSDers..πŸ˜†πŸ˜†

      Matur nuwun infone Ki, saya hanya tertarik dengan bahasaperi ko enak yo guyub dan berketetapan rutin dan cukup lumayan kalau barengan dengan ketentuan yang tetap...hehehe

      Karena saiki carane Hit n Run kalau ono rezeki pasti Hit tapi kalau sepi Run..Run...wae ...hehehe ngaputen Ki πŸ™πŸ™πŸ™



      Hapus
  5. Matur nuwun sanget Mbah ManπŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ono artis anyar jenengane Damarpati????...apakah anak dari Kiai Damar Sasangka????....

      Hapus
    2. Damaroati itu artis yang masih pra remadja Ki Adiwa......ingat kan ...pada waktu Ki Swandaru Geni perang tanding di Kademangan Sankal Putung ?.....

      .....hehehe......

      ...matur sanget nuwun Mbah_Man......

      Hapus
    3. Wah lupa sepetinya Ki Dik Har...kira2 dijilid ADBM berapa ya????.....

      Matur nuwun infone Ki...πŸ‘πŸ‘

      Hapus
    4. Di TADBM menjelang jilid akhir Ki Adiwa.......perang tanding karena rebutan sinden cantik......terluka parah......ditolong kakeknya Nimas Damarpati......trus mengantarkan Pandanwangi menengok Ki Gede Manoreh yang sakit....

      .......coba di tanyakan kepada Nyi Pandanwangi yang sudah lama tak mecungul.....

      ....hehehe......

      Hapus
    5. Njeh matur suwun Ki Dik Har iku di jilid 405 tahun 2014,
      Damarpati yang bertarung dengan Putut Luarsa dan kemudian diambil alih oleh Ki Gede....ahh...perlu baca ulang sepertinya ....wes lemot memorine....hehehe

      Hapus
  6. ...tapine hati - hati Ki.....jangan berani - beraninya melirik.....itu nanti calon penggantinya Rara Andjani setelah serah terima tanggungan...... menjadi selir....hehehe.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yg sdh jelas jd adik seperguruannya roro wulan

      Hapus
    2. Dan yang belum jelas jadi istri kedua Glagah Putih????...

      Hapus
    3. Wkwkwk.....
      Ratri juga belum jelas

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Sdh bbrp X komΓ©n, cempulek nyong rung matur kesuwun aring mbah mandrake & ki dalang atas wedarannya
    Pangapunten & matur kesuwun pisan maning

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.