Minggu, 24 September 2017

STSD 07_03

Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Rangga melawan Kiai Damar  Sasangka benar-benar  semakin nggegirisi. Pertempuran antara kedua orang yang sudah sama-sama putus segala kawruh lahir maupun batin itu semakin sulit dinalar. Sedikit demi sedikit lingkaran pertempuran pun telah bergeser semakin jauh dari halaman depan padepokan. Kini kedua orang itu telah mendekati dinding padepokan sebelah timur.

Ki Waskita yang bertempur di halaman belakang kini dengan sangat jelas dapat melihat lawan Ki Rangga yang telah berubah ujud menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan. Terlihat betapa Ki Rangga sangat kerepotan menghindari sambaran lidah api yang datang meluncur terus menerus tak ada henti-hentinya bagaikan curah hujan yang turun dari langit.

“Mengapa angger Sedayu masih mempertahankan kedua ujud semunya itu?” bertanya Ki Waskita dalam hati sambil pandangan matanya sekilas-sekilas memperhatian pertempuran yang semakin mendekati dinding sebelah timur padepokan, “Justru kendala utama yang dihadapinya adalah ujud wadagnya sendiri. Angger Sedayu justru disibukkan dengan ujud aslinya sendiri yang berusaha menghindari serangan lawannya sehingga tidak ada kesempatan untuk sekejap saja mengendalikan ujud-ujud semunya. Kedua ujud semu itu bila tanpa pengendalian nalar dan budi hanyalah sekedar ujud-ujud yang berloncat-loncatan tak berarti. Sementara agaknya angger Sedayu benar-benar tidak mempunyai kesempatan  mengendalikan ujud-ujud  semunya untuk melontarkan serangannya.”

Sebenarnyalah Ki Waskita dapat merasakan kesulitan yang sedang dihadapi oleh Ki Rangga. Serangan lawannya benar-benar susul-menyusul tak henti-hentinya sehingga sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Ki Rangga untuk balas menyerang.

“Angger Sedayu harus dapat mencari celah untuk menghindar dari medan, bagaimanapun caranya,” berkata Ki Waskita kembali dalam hati, “Aji Sapta Dhahana harus dilawan dengan aji pengangen-angen.”

Namun apa yang dipikirkan oleh Ki Waskita itu ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih belum dapat membebaskan dirinya dari gencarnya serangan lawannya.

Serangan lidah-lidah api itu meluncur terus menerus tanpa henti. Selain harus mengetrapkan kemampuannya dalam menghilangkan bobot tubuhnya, ujud-ujud semu Ki Rangga pun sesekali harus bersatu dengan ujud aslinya untuk kemudian berpencar kembali. Dengan demikian diharapkan lawannya memerlukan waktu sekejab untuk mencari ujud Ki Rangga yang asli, sehingga Ki Rangga akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejap untuk  kembali balas  menyerang.

Namun ternyata lawannya dengan cerdik telah mengubah serangannya. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tidak lagi berusaha mencari ujud asli Ki Rangga. Begitu ujud-ujud Ki Rangga itu bersatu, kemudian dengan cepat berpencar ke tiga arah yang berbeda, serangan-serangan lidah api itupun meluncur bertaburan ke tiga arah yang berbeda pula.

Ki Rangga harus benar-benar memeras kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan lidah-lidah api itu. Sesekali memang ujung lidah api yang sepanas api dari tempurung kelapa itu sempat menyentuh tubuh Ki Rangga dan menghanguskan baju serta mampu menyengat kulitnya.

“Orang ini ternyata mempunyai panggraita yang nyaris sempurna,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil terus berloncatan menghindari serangan lawan, “Dia sudah tidak peduli lagi akan keberadaan ujud asliku. Dia lebih memusatkan pada kecepatan serangan lidah apinya  sehingga aku hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.”

Namun Ki Rangga tidak pernah berputus asa. Setiap kali ketiga ujudnya bersatu untuk kemudian berpencar lagi. Demikian hal itu dilakukannya berulang-ulang dan semakin sering dengan harapan dia akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejab.

Demikianlah ternyata usaha Ki Rangga pada akhirnya membuahkan hasil. Ketika ketiga ujud Ki Rangga itu berloncatan saling mendekat dan kemudian berpencar kembali, Ki Rangga telah memutuskan untuk mengetrapkan ilmunya yang lain. Ilmu yang didapatkannya secara tidak sengaja ketika dia sedang memperdalam ilmunya di sebuah goa dekat kampung halamannya, Jati Anom.

Sejenak kemudian, dua bayangan semu Ki Rangga ternyata  telah meloncat jauh sekali ke arah yang saling berlawanan untuk sekedar memancing perhatian lawan. Sedangkan ujud asli Ki Rangga justru tetap tegak di tempatnya dengan kedua tangan bersilang di dada sambil pandangan matanya tajam menatap ke arah gumpalan api sebesar gadu perondan itu. Sementara senjata andalannya yang berupa seuntai cambuk dibiarkan saja jatuh tergeletak di atas tanah di depan kakinya.

Kiai Damar Sasangka terkejut bukan alang kepalang. Sebelum dia menyadari sepenuhnya akan perubahan gerak lawan, seleret cahaya meluncur dari sepasang mata Ki Rangga dan menyusup ke dalam dada meremas jantung.

Terdengar pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengumpat keras. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan tertindih batu sebesar gunung anakan. Namun ketahanan tubuh Kiai Damar Sasangka itu memang luar biasa. Sambil menahan rasa sakit luar biasa yang sedang mencengkeram jantung, tangan kanannya terangkat keatas, berpuluh lidah api pun meluncur menerjang dada Ki Rangga.

Sejenak Ki Rangga berusaha bertahan dengan ilmu kebalnya. Walaupun lidah-lidah api itu sudah menghanguskan bajunya dan membakar kulit dadanya, Ki Rangga tetap bertahan pada sikapnya. Betapa raut muka Ki Rangga tampak sedang menahan kesakitan yang luar biasa. Namun sambil menggeretakkan giginya, Ki Rangga memutuskan untuk tetap melanjutkan serangannya.

Melihat lawannya tetap berdiri kokoh di tempatnya, agaknya Kiai Damar Sasangka ingin mengulangi serangannya.  Sambil menahan dada dengan tangan kirinya, tangan kanannya berusaha diangkatnya kembali. Namun di saat yang bersamaan, dua larik sinar menyusul meluncur dari kedua bayangan semu Ki Rangga dari dua arah yang berbeda. Agaknya Ki Rangga telah kembali mampu mengendalikan bayangan semunya sehingga telah memperkuat serangannya.

Kembali terdengar pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengumpat keras sambil terbungkuk. Kedua tangannya mencengkeram dadanya yang bagaikan ditindih gunung Mahameru. Kiai Damar Sasangka benar-benar sedang dalam puncak kesulitan.

Namun di saat sedemikian gawatnya, ternyata pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu sangat cerdik dan masih mampu berpikir dengan jernih. Menyadari serangan lawan berasal dari tiga pasang mata yang mampu mengeluarkan sinar menembus jantungnya, Kiai Damar Sasangka segera menjatuhkan diri berguling ke belakang dengan cepat. Dia berusaha menjauhi garis serang dari ketiga pasang sorot mata lawannya sejauh-jauhnya.

Ternyata usaha pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu membuahkan hasil. Demikian tubuhnya menjauh dari garis serang sorot mata ketiga lawannya, tekanan terhadap dadanya pun dengan segera telah berkurang.

Namun alangkah terkejutnya pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Ketika dia  kemudian dengan cepat melenting berdiri dan bersiap dengan serangannya, ternyata ketiga bayangan lawannya sudah tidak berada di tempatnya lagi.

“Pengecut.! Jangan lari.!” geram Kiai Damar Sasangka sambil mengedarkan pandangan mata ke sekitarnya. Namun bayangan ketiga lawannya itu benar-benar telah lenyap bagaikan ditelan bumi.


(Matur nuwun diucapkan kepada CanMen yang telah bersedia donasi, semoga mendapat ganti yang melimpah dan barokah, Amiin)


24 komentar :

  1. Matur nuwun sanget mbah man ... wah kira kira itu Ki RAS sedang siap siap untuk mengeluarkan ajian pengangen angen ya mbah .... main seru ini mbah ,,, makin deg degan ini ...

    BalasHapus
  2. Matursuwun mbah mandrake sdh meng-akomodir atensi canmen
    Ada kolaborasi pertandingan kakang kawah adi ari² & disambung pangangen angen di liga tidar
    Matursuwun dalang yg sdh wedaran

    BalasHapus
  3. Aamiin... (mengaminkan doa Mbah Man).

    BalasHapus
  4. matur suwun mbah
    kemis - minggu ..... senin mBah

    BalasHapus
  5. Matur nembbah nuwin sanget Mbah Man.

    BalasHapus
  6. Matur nembbah nuwin sanget Mbah Man.

    BalasHapus
  7. matur nuwun mbah Man Kirimanipun

    BalasHapus
  8. Semakin mendebarkan, matur nuwun panembahan

    BalasHapus
  9. Mantap .... terima kasih Mbah Man .... lanjut !!!!

    BalasHapus
  10. Wah KDS kehilangan lawan... hati-hati salah sasaran. Matur nuwun, Mbah_Man.

    BalasHapus
  11. Matur nuwun wedaranipun mbah man ☺

    BalasHapus
  12. Waduh ketinggalan berita, beberapa hari tidak sowan, matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  13. Sejak tahun 1970 saya sudah mulai baca Agung Sedayu, dan kini berkat mbah Man saya bisa menikmati kisah lanjutan yg tidak/belum tuntas ini pd masa2 menjalani pensiun. Terima kasih mbah Man, semoga selalu mendapatkan kesehatan.

    BalasHapus
  14. Matur nuwun Mbah Man, smoga sehat, bugar kuat dn Sebaniwsa dimudahkan utk berkaya serta dilapangkan rizqinya, aamiin

    BalasHapus
  15. nyuwun sewu Mbah...niki jadwal wedarane nopo nderek pakem...nopo random

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.