Dalam pada itu, pertempuran
antara Ki Rangga melawan Kiai Damar
Sasangka benar-benar semakin
nggegirisi. Pertempuran antara kedua orang yang sudah sama-sama putus segala
kawruh lahir maupun batin itu semakin sulit dinalar. Sedikit demi sedikit lingkaran
pertempuran pun telah bergeser semakin jauh dari halaman depan padepokan. Kini
kedua orang itu telah mendekati dinding padepokan sebelah timur.
Ki Waskita yang bertempur di
halaman belakang kini dengan sangat jelas dapat melihat lawan Ki Rangga yang
telah berubah ujud menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan. Terlihat betapa
Ki Rangga sangat kerepotan menghindari sambaran lidah api yang datang meluncur
terus menerus tak ada henti-hentinya bagaikan curah hujan yang turun dari
langit.
“Mengapa angger Sedayu masih
mempertahankan kedua ujud semunya itu?” bertanya Ki Waskita dalam hati sambil
pandangan matanya sekilas-sekilas memperhatian pertempuran yang semakin
mendekati dinding sebelah timur padepokan, “Justru kendala utama yang
dihadapinya adalah ujud wadagnya sendiri. Angger Sedayu justru disibukkan dengan
ujud aslinya sendiri yang berusaha menghindari serangan lawannya sehingga tidak
ada kesempatan untuk sekejap saja mengendalikan ujud-ujud semunya. Kedua ujud
semu itu bila tanpa pengendalian nalar dan budi hanyalah sekedar ujud-ujud yang berloncat-loncatan tak berarti. Sementara agaknya angger Sedayu benar-benar tidak mempunyai kesempatan mengendalikan ujud-ujud semunya untuk melontarkan serangannya.”
Sebenarnyalah Ki Waskita dapat
merasakan kesulitan yang sedang dihadapi oleh Ki Rangga. Serangan lawannya
benar-benar susul-menyusul tak henti-hentinya sehingga sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada Ki Rangga untuk balas menyerang.
“Angger Sedayu harus dapat
mencari celah untuk menghindar dari medan, bagaimanapun caranya,” berkata Ki
Waskita kembali dalam hati, “Aji Sapta Dhahana harus dilawan dengan aji pengangen-angen.”
Namun apa yang dipikirkan
oleh Ki Waskita itu ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih belum dapat membebaskan dirinya dari gencarnya serangan lawannya.
Serangan lidah-lidah api itu
meluncur terus menerus tanpa henti. Selain harus mengetrapkan kemampuannya
dalam menghilangkan bobot tubuhnya, ujud-ujud semu Ki Rangga pun sesekali harus
bersatu dengan ujud aslinya untuk kemudian berpencar kembali. Dengan demikian diharapkan lawannya memerlukan waktu sekejab untuk mencari ujud Ki Rangga yang asli,
sehingga Ki Rangga akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejap
untuk kembali balas menyerang.
Namun ternyata lawannya dengan
cerdik telah mengubah serangannya. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tidak
lagi berusaha mencari ujud asli Ki Rangga. Begitu ujud-ujud Ki Rangga itu
bersatu, kemudian dengan cepat berpencar ke tiga arah yang berbeda,
serangan-serangan lidah api itupun meluncur bertaburan ke tiga arah yang
berbeda pula.
Ki Rangga harus benar-benar
memeras kemampuannya untuk mengimbangi kecepatan lidah-lidah api itu. Sesekali
memang ujung lidah api yang sepanas api dari tempurung kelapa itu sempat
menyentuh tubuh Ki Rangga dan menghanguskan baju serta mampu menyengat
kulitnya.
“Orang ini ternyata
mempunyai panggraita yang nyaris sempurna,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil
terus berloncatan menghindari serangan lawan, “Dia sudah tidak peduli lagi akan
keberadaan ujud asliku. Dia lebih memusatkan pada kecepatan serangan lidah
apinya sehingga aku hampir tidak
mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.”
Namun Ki Rangga tidak pernah
berputus asa. Setiap kali ketiga ujudnya bersatu untuk kemudian berpencar lagi.
Demikian hal itu dilakukannya berulang-ulang
dan semakin sering dengan harapan dia akan mendapat kesempatan walaupun hanya sekejab.
Demikianlah ternyata usaha
Ki Rangga pada akhirnya membuahkan hasil. Ketika ketiga ujud Ki Rangga itu
berloncatan saling mendekat dan kemudian berpencar kembali, Ki Rangga telah memutuskan
untuk mengetrapkan ilmunya yang lain. Ilmu yang didapatkannya secara tidak
sengaja ketika dia sedang memperdalam ilmunya di sebuah goa dekat kampung
halamannya, Jati Anom.
Sejenak kemudian, dua
bayangan semu Ki Rangga ternyata telah
meloncat jauh sekali ke arah yang saling berlawanan untuk sekedar memancing
perhatian lawan. Sedangkan ujud asli Ki Rangga justru tetap tegak di tempatnya dengan
kedua tangan bersilang di dada sambil pandangan matanya tajam menatap ke arah
gumpalan api sebesar gadu perondan itu. Sementara senjata andalannya yang
berupa seuntai cambuk dibiarkan saja jatuh tergeletak di atas tanah di depan
kakinya.
Kiai Damar Sasangka terkejut
bukan alang kepalang. Sebelum dia menyadari sepenuhnya akan perubahan gerak
lawan, seleret cahaya meluncur dari sepasang mata Ki Rangga dan menyusup ke
dalam dada meremas jantung.
Terdengar pemimpin perguruan
Sapta Dhahana itu mengumpat keras. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan tertindih
batu sebesar gunung anakan. Namun ketahanan tubuh Kiai Damar Sasangka itu
memang luar biasa. Sambil menahan rasa sakit luar biasa yang sedang
mencengkeram jantung, tangan kanannya terangkat keatas, berpuluh lidah api pun
meluncur menerjang dada Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga berusaha
bertahan dengan ilmu kebalnya. Walaupun lidah-lidah api itu sudah menghanguskan
bajunya dan membakar kulit dadanya, Ki Rangga tetap bertahan pada sikapnya. Betapa raut muka Ki Rangga tampak sedang menahan kesakitan yang luar biasa. Namun sambil menggeretakkan giginya, Ki Rangga memutuskan untuk tetap melanjutkan serangannya.
Melihat lawannya tetap berdiri kokoh di tempatnya, agaknya Kiai Damar Sasangka
ingin mengulangi serangannya. Sambil
menahan dada dengan tangan kirinya, tangan kanannya berusaha diangkatnya
kembali. Namun di saat yang bersamaan, dua larik sinar menyusul meluncur dari
kedua bayangan semu Ki Rangga dari dua arah yang berbeda. Agaknya Ki Rangga telah
kembali mampu mengendalikan bayangan semunya sehingga telah memperkuat serangannya.
Kembali terdengar pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu mengumpat keras sambil terbungkuk. Kedua tangannya
mencengkeram dadanya yang bagaikan ditindih gunung Mahameru. Kiai Damar
Sasangka benar-benar sedang dalam puncak kesulitan.
Namun di saat sedemikian gawatnya, ternyata pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu sangat cerdik dan masih mampu berpikir dengan jernih. Menyadari serangan lawan berasal
dari tiga pasang mata yang mampu mengeluarkan sinar menembus jantungnya, Kiai
Damar Sasangka segera menjatuhkan diri berguling ke belakang dengan cepat. Dia berusaha
menjauhi garis serang dari ketiga pasang sorot mata lawannya sejauh-jauhnya.
Ternyata usaha pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu membuahkan hasil. Demikian tubuhnya menjauh dari
garis serang sorot mata ketiga lawannya, tekanan terhadap dadanya pun dengan
segera telah berkurang.
Namun alangkah terkejutnya
pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Ketika dia kemudian dengan cepat melenting berdiri dan bersiap dengan
serangannya, ternyata ketiga bayangan lawannya sudah tidak berada di tempatnya
lagi.
“Pengecut.! Jangan lari.!”
geram Kiai Damar Sasangka sambil mengedarkan pandangan mata ke sekitarnya.
Namun bayangan ketiga lawannya itu benar-benar telah lenyap bagaikan ditelan
bumi.
(Matur nuwun diucapkan kepada CanMen yang telah bersedia donasi, semoga mendapat ganti yang melimpah dan barokah, Amiin)
Matur nuwun sanget mbah man ... wah kira kira itu Ki RAS sedang siap siap untuk mengeluarkan ajian pengangen angen ya mbah .... main seru ini mbah ,,, makin deg degan ini ...
BalasHapusMatursuwun mbah mandrake sdh meng-akomodir atensi canmen
BalasHapusAda kolaborasi pertandingan kakang kawah adi ari² & disambung pangangen angen di liga tidar
Matursuwun dalang yg sdh wedaran
Aamiin... (mengaminkan doa Mbah Man).
BalasHapusmatur-nuwun mBah-Man.
BalasHapusmatur suwun mbah
BalasHapuskemis - minggu ..... senin mBah
Matur nembbah nuwin sanget Mbah Man.
BalasHapusMatur nembbah nuwin sanget Mbah Man.
BalasHapusMaturnuwun dobelanipun ....
HapusMerdekaaaa
BalasHapusmatur nuwun mbah Man Kirimanipun
BalasHapusSemakin mendebarkan, matur nuwun panembahan
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man🙏
BalasHapusMatur nuwun Mbah man..
BalasHapusMantap .... terima kasih Mbah Man .... lanjut !!!!
BalasHapusWah KDS kehilangan lawan... hati-hati salah sasaran. Matur nuwun, Mbah_Man.
BalasHapusMatur nuwun wedaranipun mbah man ☺
BalasHapusWaduh ketinggalan berita, beberapa hari tidak sowan, matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !
BalasHapusMatur suwun mbah man
BalasHapusMatur nuwun Mbah man..
BalasHapusSejak tahun 1970 saya sudah mulai baca Agung Sedayu, dan kini berkat mbah Man saya bisa menikmati kisah lanjutan yg tidak/belum tuntas ini pd masa2 menjalani pensiun. Terima kasih mbah Man, semoga selalu mendapatkan kesehatan.
BalasHapusAmin.....wiluejeng sumping kang Tatang😊
HapusMatur nuwun Mbah Man, smoga sehat, bugar kuat dn Sebaniwsa dimudahkan utk berkaya serta dilapangkan rizqinya, aamiin
BalasHapusnyuwun sewu Mbah...niki jadwal wedarane nopo nderek pakem...nopo random
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus