Selasa, 19 September 2017

STSD 07_01

(Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, khusus edisi STSD jilid 7 ini di wedar secara bersambung di Taman Bacaan Mbah Man)

STSD 07

Namun Ki Rangga ternyata tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi lawannya terdorong beberapa langkah surut, kali ini ketiga ujud Ki Rangga segera melakukan gerakan  yang sama, memutar cambuk di atas kepala beberapa kali.

Sejenak kemudian, begitu ujud lawannya yang berupa gumpalan api sebesar gardu perondan itu terlihat telah tegak kembali, serangan Ki Rangga pun meluncur kembali dengan dahsyatnya. Kali ini tiga larik sinar kebiru-biruan meluncur deras menghantam dada lawannya.

Agaknya serangan Ki Rangga kali ini telah melemparkan tubuh lawannya beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya jatuh bergulingan. Segera saja rumput-rumput dan semak belukar yang tertimpa tubuh Kiai Damar Sasangka hangus terbakar menjadi abu.

 “Anak Iblis..!” umpat pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu sambil terus bergulingan beberapa  kali sehingga arena di sekitar pertempuran yang  hangus terbakar menjadi semakin luas. Beberapa buah pohon perdu ikut terbakar sehingga sinar apinya yang membara terlihat dari tempat Ki Waskita bertempur.

“Aji Sapta Dhahana yang sempurna,” membatin Ki Waskita sambil terus berkelit menghindari serangan lawannya, “Siapa lagi yang mampu mengungkapkan aji Sapta Dhahana yang sempurna di padepokan ini selain Kiai Damar Sasangka.”

Jantung Ki Waskita pun menjadi semakin berdebar-debar. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya. Sebagai orang yang telah mengijinkan Ki Rangga untuk membaca kitab perguruannya, Ki Waskita tahu dengan pasti tingkat kemampuan agul-agulnya Mataram itu.

“Angger Sedayu sebaiknya mengatasi perlawanan  aji Sapta Dhahana dengan aji pengangen-angen,” berkata Ki Waskita dalam hati selanjutnya, “Aku tidak yakin jika ilmu kebal angger Sedayu akan mampu menahan panasnya api aji Sapta Dhahana. Demikian juga dengan aji kakang kawah adi wuragil, wadag asli angger Sedayu masih terlibat sehingga kemungkinan terkena pancaran ilmu lawan sangat memungkinkan,” sejenak Ki Waskita berhenti berangan-angan ketika seleret lidah api dari lawannya meluncur hampir menyentuh jidadnya. Dengan cepat Ki Waskita pun merundukkan kepalanya.

“Dengan aji pengangen-angen, wadag angger Sedayu akan terbebas dari pengaruh ilmu lawannya. Sehingga lawan akan terkuras tenaganya, sementara ujud semu dari angger Sedayu dapat mengurangi daya tahan lawan dengan serangan-serangannya yang tak ada bedanya dengan ujud aslinya.”

Namun Ki Waskita tidak sempat berangan-angan terlampau jauh. Serangan lawan telah datang bertubi-tubi bagaikan gempuran ombak pantai selatan.

Dalam pada itu, beberapa puluh langkah dari arena pertempuran Ki Rangga yang membara, Glagah Putih sedang berusaha menjinakkan adik kandung orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Badai api yang dibuat oleh Raden Surengpati memang cukup nggegirisi, namun dalam diri Glagah Putih telah mengalir berbagai cabang ilmu olah kanuragan. Selain ilmu olah kanuragan dari cabang Ki Sadewa yang didapatkan dari kakak sepupunya, Glagah Putih pun juga mewarisi ilmu dari Ki Jayaraga, seorang petualang yang ngedab-edabi di masa mudanya.

Disamping ilmu-ilmu yang didapatkan dari kedua gurunya itu, Glagah Putih juga pernah bersahabat dengan Raden Rangga, putra tertua Panembahan Senapati yang mempunyai kesaktian yang aneh, kesaktian yang diluar jangkauan nalar. Dan yang terakhir, bersama istrinya Rara Wulan, mereka dengan tidak sengaja telah mewarisi sebuah Kitab peninggalan seorang Pangeran di jaman Majapahit, Pangeran Namaskara.

Demikianlah pertempuran kedua anak muda itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan dibajak oleh berpuluh-puluh ekor kerbau. Sedangkan beberapa tanaman bunga serta perdu yang ada di halaman padepokan itu telah hancur terkena sambaran ilmu keduanya.

“Menyerahlah, Raden,” berkata Glagah Putih kemudian di sela-sela serangan Raden Surengpati yang datang membadai, “Raden harus melihat kenyataan. Tubuh Kiai Damar Sasangka yang berujud gumpalan api itu telah terguling terkena sambaran ilmu Ki Rangga. Aku yakin sebentar lagi api itu pun akan padam, atau tinggal baranya saja yang tak lebih dari sebongkah bara dari akar kayu mlanding. Hanya mampu untuk membakar jagung atau ketela.”

“Tutup mulutmu!” bentak Raden Surengpati sambil menghentakkan ilmu pamungkasnya. Badai api pun kembali melanda Glagah Putih.

Namun Glagah Putih selalu waspada. Dia tidak ingin terjebak untuk mengadu ilmu pamungkas Raden Surengpati itu secara langsung. Glagah Putih selalu menghindar dan mencari celah untuk melepaskan salah satu  puncak ilmunya yang didapat dari Ki Jayaraga, aji sigar bumi.

“Aku tidak mempunyai ilmu kebal sebagaimana Kakang Agung Sedayu,” demikian Glagah Putih berkata dalam hati, “Aku belum tahu sejauh mana panasnya api ini akan dapat menembus kulitku.”

Dengan pemikiran seperti itu, Glagah Putih pun berusaha sejauh mungkin menghindari jilatan dari badai api yang diciptakan oleh lawannya.

Dalam pada itu, Ki Rangga yang melihat lawannya justru telah berguling menjauh telah dihinggapi keragu-raguan.  Dibiarkan saja gumpalan api sebesar gardu perondan itu berguling menjauh.

Namun ternyata disitulah letak kelengahan Ki Rangga. Di saat dia hanya berdiri termangu-mangu memandangi lawannya yang bergulingan menjauh, Kiai Damar Sasangka tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya untuk sekali lagi mengulangi serangannya. Tiba-tiba saja sambil melenting berdiri, pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tanpa ancang-ancang telah melontarkan serangannya kembali. Berpuluh-puluh lidah api yang sepanas bara api tempurung kelapa pun meluncur terus menerus menerjang ujud  Ki Rangga yang asli.

Bagaikan melihat hantu yang bangkit dari kuburnya, Ki Rangga dibuat terkejut bukan buatan. Tubuh lawannya yang berbentuk gumpalan api sebesar gardu perondan itu seolah olah tidak merasakan akibat dari serangannya beberapa saat tadi. Lawannya masih mampu menyerang dengan serangan-serangan dahsyat sebagaimana semula. Seolah olah serangan ilmu puncak dari perguruan orang bercambuk itu sama sekali tidak membekas di tubuhnya.

Segera saja Ki Rangga teringat akan kesaktian Panembahan Cahya Warastra yang pernah berperang tanding dengannya  beberapa saat yang lalu. Ketika itu serangan Ki Rangga pun  seakan-akan tidak mampu menembus ilmu kebal lawannya. Namun ternyata pada akhirnya tubuh bagian luar Panembahan Cahya Warastra  sajalah yang tetap utuh. Sedangkan bagian dalam tubuhnya  telah remuk dan lumat menjadi seonggok daging bercampur  dengan pecahan tulang.

“Benar benar sebuah ilmu yang bersumber dari alam kegelapan,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus berloncatan menghindari setiap serangan lawannya.

Demikianlah sejenak kemudian kedua orang itu kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit. Masing-masing mencoba mencari kelemahan dan menunggu kelengahan lawannya.

Dalam pada itu, di rumah Ki Prana, Nyi Selasih agaknya telah selesai berbenah. Sebuah buntalan besar telah dipanggul di pundak Gandhung. Sedangkan Ki Prana menggendong cucu laki-laki satu-satunya yang masih kanak-kanak. Sementara Nyi Selasih sendiri hanya menjinjing sebuah buntalan yang kecil.

“Marilah,” berkata Ki Wiyaga kemudian begitu mereka telah berkumpul di pendapa, “Sebaiknya rumah ini memang dikosongkan saja. Kita semua berangkat ke Matesih.”

“Bagaimana dengan tawanan itu?” tiba-tiba saja seorang pengawal menyeluthuk.

Sejenak Ki Wiyaga mengerutkan keningnya. Sekilas dia tadi melihat tawanan itu masih pingsan. Jika orang itu disadarkan dari pingsannya tentu akan merepotkan untuk membawanya ke Matesih. Namun jika dibiarkan dalam keadaan pingsan, tentu juga akan menyulitkan.

“Di belakang ada sesekor kuda, walaupun tidak tegar dan bahkan bisa dibilang agak kurus,” tiba-tiba Ki Prana menyahut, “Bagaimana jika kita angkut tawanan yang pingsan itu dengan seekor kuda?”

“Bagus,” jawab Ki Wiyaga dengan serta merta dan wajah yang berseri. Kemudian katanya kepada salah seorang pengawal yang berdiri di sampingnya, “Ambil kuda itu di belakang rumah.”

Tanpa membuang waktu, pengawal itu segera bergegas menuju ke belakang rumah lewat samping.

Demikianlah akhirnya. Sejenak kemudian rombongan kecil itu segera bersiap meninggalkan rumah Ki Prana. Di barisan paling depan seorang pengawal menuntun seekor kuda yang digunakan untuk mengangkut tawanan. Tawanan itu diikat kedua tangan dan kakinya serta tubuhnya ditelungkupkan di atas pelana. Sementara sebuah tali yang kuat telah mengikat tubuh yang tertelungkup itu dengan pelana kuda.

Ki Wiyaga berjalan di samping kuda itu. Sedangkan Ki Prana selangkah di belakang Ki Wiyaga sambil mendukung cucunya yang mulai mengantuk. Sementara Nyi Selasih dengan kepala tunduk berjalan di samping ayahnya.

Dua langkah di belakang mereka barulah para pengawal dan kemudian Gandhung yang memanggul sebuah bungkusan besar di pundak kanannya. Sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah tombak pendek.

Sesekali Nyi Selasih masih sempat berpaling ke belakang. Terasa sebuah desir tajam telah menggores jantungnya. Bagaimana pun juga, rumah itu adalah rumah yang penuh dengan kenangan. Disitulah dia dilahirkan dan dibesarkan sampai kemudian datang seorang laki-laki yang meminangnya. Namun ternyata usia laki-laki itu tidak panjang. Setelah memberinya seorang anak laki-laki, suami pertamanya itu pun meninggal dunia karena sakit.

Ketika seorang laki-laki kembali hadir dalam hidupnya, terasa keceriaan itu kembali menghangati bilik hatinya yang sempat dingin dan sepi. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar kuasa dirinya. Anak tirinya ternyata telah menolak kehadirannya untuk menjadi bagian dari keluarga di Perdikan Matesih.


Dalam pada itu, tanpa sepengetahuan rombongan kecil yang mulai bergerak meninggalkan halaman, dari salah satu sudut halaman rumah Ki Prana yang gelap, dua bayangan aneh tampak sedang mengawasi mereka.

24 komentar :

  1. Matur nuwun wedaranipun mbah man :)

    BalasHapus
  2. matur-suwun sanget mBah-Man.... mantab.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun sanget Mbah Man👍🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dua bayangan aneh sukar untuk dibayangkan ujudnya, yang satu tinggi jangkung dan dipipinya terlihat bekas cakaran, dan satu lagi bentuknya bulat pendek dan di medua lengannya ada tato bergambar tengkorak kepala ikan tongkol, tapi kadang kadang bayangan itu bisa berubah ujud apa saja, hanya Mbah Jan yang tau, dan kita diperbolehkan membayangkan bayangan aneh itu sesuai selera masing masing...

      Hapus
  4. Alur cerita yg sangat menarik dan mengalur lembut, terima kasih mbah man.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun Panembahan Mandaraka...

    Wedharan penawar dahaga. Begitu dibaca, semakin terasa haus wedharan lagi. Heheheh....

    BalasHapus
  6. matur suwun...monggo dilanjut mbah..kado tahun baru 1 muharram

    BalasHapus
    Balasan
    1. Leres, Kasinggihan Ki Mas Aryo...

      Ha mbok menawi, sesarengan mengeti warso enggal, 1 muharram, Kiai Haji Panembahan pareng medhar rontal makaping-kaping minongko bonus kagem cantrik - mentrik. Heheheh....

      Hapus
    2. lah wong biasane mawon rontal sak gepok.....niki thn baru hijriyah mesthi 3 gepok

      Hapus
  7. Mbah Man di paringi sehat....wedar lontar triple...he..he..

    BalasHapus
  8. Mantap .... Makasih Mbah Man....

    BalasHapus
  9. Matur nuwun sanget katur panjenenganipun mbah Man

    BalasHapus
  10. Maturkesuwun mbah mandrake & ki arema atas wedharannya
    Ada api dg panasnya jd inget sembara dg ngilmu kabut tunggal dari gunung merapi.
    Biasanya ki RAS (yg ori) sblm menguasai suatu ngilmu diceritakan bgmn menjalani laku tirakatnya.
    Dlm penguasaan materi perkabutan ki RAS (yg ori) sepertinya blm diwedhar laku tirakatnya atau mungkin saya yg blm baca atau kemungkinan lain utk model kilas balik diwedar kembali bgm ngilmu itu dikuasai.
    Ada banyak kemungkinan.
    Termasuk kemungkinan juragan jajan ijo alias ki TéDé mampu memasuki gandhok TBMM dg lancar

    BalasHapus
  11. Matur nuwun mbah Man..
    Ditunggu versi lengkapnya...

    BalasHapus
  12. sudah lama tidak dpat wedaran di hari Jum'at........ sehat selalu mBah-Man.

    BalasHapus
  13. Matur nuwun mbah Man .... mudah mudahan mbah Man selalu sehat ... sekalian ini muter taman bacaan lihat wedaran wedaran yang ada ....

    BalasHapus
  14. Kok gk onok wedaran, opo wis tamat yo?

    BalasHapus
  15. Kok gk onok wedaran, opo wis tamat yo?

    BalasHapus
  16. Lebih 6 bln baca serial iki kok tetep penasaran terus 😊😊

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.