STSD 07
Namun Ki Rangga ternyata tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Selagi lawannya terdorong beberapa langkah surut, kali ini ketiga ujud Ki
Rangga segera melakukan gerakan yang sama, memutar cambuk di atas
kepala beberapa kali.
Sejenak kemudian, begitu
ujud lawannya yang berupa gumpalan api sebesar gardu perondan itu terlihat
telah tegak kembali, serangan Ki Rangga pun meluncur kembali dengan dahsyatnya.
Kali ini tiga larik sinar kebiru-biruan meluncur deras menghantam dada lawannya.
Agaknya serangan Ki
Rangga kali ini telah melemparkan tubuh lawannya beberapa langkah ke belakang
sebelum akhirnya jatuh bergulingan. Segera saja rumput-rumput dan semak belukar
yang tertimpa tubuh Kiai Damar Sasangka hangus terbakar menjadi abu.
“Anak Iblis..!” umpat pemimpin perguruan Sapta
Dhahana itu sambil terus bergulingan beberapa kali sehingga arena di sekitar pertempuran yang hangus terbakar menjadi semakin luas.
Beberapa buah pohon perdu ikut terbakar sehingga sinar apinya yang membara terlihat
dari tempat Ki Waskita bertempur.
“Aji Sapta Dhahana yang
sempurna,” membatin Ki Waskita sambil terus berkelit menghindari serangan
lawannya, “Siapa lagi yang mampu mengungkapkan aji Sapta Dhahana yang sempurna
di padepokan ini selain Kiai Damar Sasangka.”
Jantung Ki Waskita pun
menjadi semakin berdebar-debar. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya.
Sebagai orang yang telah mengijinkan Ki Rangga untuk membaca kitab
perguruannya, Ki Waskita tahu dengan pasti tingkat kemampuan agul-agulnya
Mataram itu.
“Angger Sedayu sebaiknya
mengatasi perlawanan aji Sapta Dhahana
dengan aji pengangen-angen,” berkata Ki Waskita dalam hati selanjutnya, “Aku
tidak yakin jika ilmu kebal angger Sedayu akan mampu menahan panasnya api aji
Sapta Dhahana. Demikian juga dengan aji kakang kawah adi wuragil, wadag asli
angger Sedayu masih terlibat sehingga kemungkinan terkena pancaran ilmu lawan
sangat memungkinkan,” sejenak Ki Waskita berhenti berangan-angan ketika seleret
lidah api dari lawannya meluncur hampir menyentuh jidadnya. Dengan cepat Ki
Waskita pun merundukkan kepalanya.
“Dengan aji pengangen-angen,
wadag angger Sedayu akan terbebas dari pengaruh ilmu lawannya. Sehingga lawan
akan terkuras tenaganya, sementara ujud semu dari angger Sedayu dapat
mengurangi daya tahan lawan dengan serangan-serangannya yang tak ada bedanya
dengan ujud aslinya.”
Namun Ki Waskita tidak
sempat berangan-angan terlampau jauh. Serangan lawan telah datang bertubi-tubi
bagaikan gempuran ombak pantai selatan.
Dalam pada itu, beberapa
puluh langkah dari arena pertempuran Ki Rangga yang membara, Glagah Putih
sedang berusaha menjinakkan adik kandung orang yang menyebut dirinya Trah Sekar
Seda Lepen itu. Badai api yang dibuat oleh Raden Surengpati memang cukup nggegirisi,
namun dalam diri Glagah Putih telah mengalir berbagai cabang ilmu olah
kanuragan. Selain ilmu olah kanuragan dari cabang Ki Sadewa yang didapatkan
dari kakak sepupunya, Glagah Putih pun juga mewarisi ilmu dari Ki Jayaraga,
seorang petualang yang ngedab-edabi di masa mudanya.
Disamping ilmu-ilmu yang
didapatkan dari kedua gurunya itu, Glagah Putih juga pernah bersahabat dengan
Raden Rangga, putra tertua Panembahan Senapati yang mempunyai kesaktian yang
aneh, kesaktian yang diluar jangkauan nalar. Dan yang terakhir, bersama
istrinya Rara Wulan, mereka dengan tidak sengaja telah mewarisi sebuah Kitab
peninggalan seorang Pangeran di jaman Majapahit, Pangeran Namaskara.
Demikianlah pertempuran
kedua anak muda itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Tanah tempat mereka
berpijak bagaikan dibajak oleh berpuluh-puluh ekor kerbau. Sedangkan beberapa
tanaman bunga serta perdu yang ada di halaman padepokan itu telah hancur terkena
sambaran ilmu keduanya.
“Menyerahlah, Raden,”
berkata Glagah Putih kemudian di sela-sela serangan Raden Surengpati yang datang
membadai, “Raden harus melihat kenyataan. Tubuh Kiai Damar Sasangka yang
berujud gumpalan api itu telah terguling terkena sambaran ilmu Ki Rangga. Aku yakin
sebentar lagi api itu pun akan padam, atau tinggal baranya saja yang tak lebih
dari sebongkah bara dari akar kayu mlanding. Hanya mampu untuk membakar jagung atau
ketela.”
“Tutup mulutmu!” bentak Raden
Surengpati sambil menghentakkan ilmu pamungkasnya. Badai api pun kembali
melanda Glagah Putih.
Namun Glagah Putih selalu
waspada. Dia tidak ingin terjebak untuk mengadu ilmu pamungkas Raden Surengpati
itu secara langsung. Glagah Putih selalu menghindar dan mencari celah untuk
melepaskan salah satu puncak ilmunya yang
didapat dari Ki Jayaraga, aji sigar bumi.
“Aku tidak mempunyai ilmu kebal
sebagaimana Kakang Agung Sedayu,” demikian Glagah Putih berkata dalam hati, “Aku
belum tahu sejauh mana panasnya api ini akan dapat menembus kulitku.”
Dengan pemikiran seperti
itu, Glagah Putih pun berusaha sejauh mungkin menghindari jilatan dari badai api
yang diciptakan oleh lawannya.
Dalam pada itu, Ki Rangga
yang melihat lawannya justru telah berguling menjauh telah dihinggapi keragu-raguan.
Dibiarkan saja gumpalan api sebesar
gardu perondan itu berguling menjauh.
Namun ternyata disitulah
letak kelengahan Ki Rangga. Di saat dia hanya berdiri termangu-mangu memandangi
lawannya yang bergulingan menjauh, Kiai Damar Sasangka tidak mau memberikan
kesempatan kepada lawannya untuk sekali lagi mengulangi serangannya. Tiba-tiba
saja sambil melenting berdiri, pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tanpa
ancang-ancang telah melontarkan serangannya kembali. Berpuluh-puluh lidah api
yang sepanas bara api tempurung kelapa pun meluncur terus menerus menerjang
ujud Ki Rangga yang asli.
Bagaikan melihat hantu yang
bangkit dari kuburnya, Ki Rangga dibuat terkejut bukan buatan. Tubuh lawannya
yang berbentuk gumpalan api sebesar gardu perondan itu seolah olah tidak
merasakan akibat dari serangannya beberapa saat tadi. Lawannya masih mampu menyerang dengan
serangan-serangan dahsyat sebagaimana semula. Seolah olah serangan ilmu puncak
dari perguruan orang bercambuk itu sama sekali tidak membekas di tubuhnya.
Segera saja Ki Rangga
teringat akan kesaktian Panembahan Cahya Warastra yang pernah berperang tanding
dengannya beberapa saat yang lalu.
Ketika itu serangan Ki Rangga pun seakan-akan tidak mampu menembus ilmu kebal
lawannya. Namun ternyata pada akhirnya tubuh bagian luar Panembahan Cahya
Warastra sajalah yang tetap utuh. Sedangkan
bagian dalam tubuhnya telah remuk dan
lumat menjadi seonggok daging bercampur dengan pecahan tulang.
“Benar benar sebuah ilmu
yang bersumber dari alam kegelapan,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus berloncatan
menghindari setiap serangan lawannya.
Demikianlah sejenak kemudian
kedua orang itu kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit. Masing-masing
mencoba mencari kelemahan dan menunggu kelengahan lawannya.
Dalam pada itu, di rumah Ki
Prana, Nyi Selasih agaknya telah selesai berbenah. Sebuah buntalan besar telah
dipanggul di pundak Gandhung. Sedangkan Ki Prana menggendong cucu laki-laki
satu-satunya yang masih kanak-kanak. Sementara Nyi Selasih sendiri hanya
menjinjing sebuah buntalan yang kecil.
“Marilah,” berkata Ki Wiyaga
kemudian begitu mereka telah berkumpul di pendapa, “Sebaiknya rumah ini memang
dikosongkan saja. Kita semua berangkat ke Matesih.”
“Bagaimana dengan tawanan
itu?” tiba-tiba saja seorang pengawal menyeluthuk.
Sejenak Ki Wiyaga
mengerutkan keningnya. Sekilas dia tadi melihat tawanan itu masih pingsan. Jika
orang itu disadarkan dari pingsannya tentu akan merepotkan untuk membawanya ke
Matesih. Namun jika dibiarkan dalam keadaan pingsan, tentu juga akan
menyulitkan.
“Di belakang ada sesekor
kuda, walaupun tidak tegar dan bahkan bisa dibilang agak kurus,” tiba-tiba Ki
Prana menyahut, “Bagaimana jika kita angkut tawanan yang pingsan itu dengan
seekor kuda?”
“Bagus,” jawab Ki Wiyaga
dengan serta merta dan wajah yang berseri. Kemudian katanya kepada salah
seorang pengawal yang berdiri di sampingnya, “Ambil kuda itu di belakang rumah.”
Tanpa membuang waktu,
pengawal itu segera bergegas menuju ke belakang rumah lewat samping.
Demikianlah akhirnya. Sejenak
kemudian rombongan kecil itu segera bersiap meninggalkan rumah Ki Prana. Di barisan
paling depan seorang pengawal menuntun seekor kuda yang digunakan untuk
mengangkut tawanan. Tawanan itu diikat kedua tangan dan kakinya serta tubuhnya ditelungkupkan
di atas pelana. Sementara sebuah tali yang kuat telah mengikat tubuh yang
tertelungkup itu dengan pelana kuda.
Ki Wiyaga berjalan di
samping kuda itu. Sedangkan Ki Prana selangkah di belakang Ki Wiyaga sambil
mendukung cucunya yang mulai mengantuk. Sementara Nyi Selasih dengan kepala
tunduk berjalan di samping ayahnya.
Dua langkah di belakang
mereka barulah para pengawal dan kemudian Gandhung yang memanggul sebuah
bungkusan besar di pundak kanannya. Sedangkan tangan kirinya menjinjing sebuah
tombak pendek.
Sesekali Nyi Selasih masih
sempat berpaling ke belakang. Terasa sebuah desir tajam telah menggores
jantungnya. Bagaimana pun juga, rumah itu adalah rumah yang penuh dengan kenangan.
Disitulah dia dilahirkan dan dibesarkan sampai kemudian datang seorang laki-laki yang meminangnya. Namun ternyata usia laki-laki itu tidak panjang. Setelah memberinya
seorang anak laki-laki, suami pertamanya itu pun meninggal dunia karena sakit.
Ketika seorang laki-laki
kembali hadir dalam hidupnya, terasa keceriaan itu kembali menghangati bilik hatinya
yang sempat dingin dan sepi. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar kuasa
dirinya. Anak tirinya ternyata telah menolak kehadirannya untuk menjadi bagian
dari keluarga di Perdikan Matesih.
Dalam pada itu, tanpa
sepengetahuan rombongan kecil yang mulai bergerak meninggalkan halaman, dari salah satu sudut
halaman rumah Ki Prana yang gelap, dua bayangan aneh tampak sedang mengawasi
mereka.
Matur nuwun wedaranipun mbah man :)
BalasHapusmatur-suwun sanget mBah-Man.... mantab.
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man👍🙏
BalasHapusDua bayangan aneh sukar untuk dibayangkan ujudnya, yang satu tinggi jangkung dan dipipinya terlihat bekas cakaran, dan satu lagi bentuknya bulat pendek dan di medua lengannya ada tato bergambar tengkorak kepala ikan tongkol, tapi kadang kadang bayangan itu bisa berubah ujud apa saja, hanya Mbah Jan yang tau, dan kita diperbolehkan membayangkan bayangan aneh itu sesuai selera masing masing...
HapusAlur cerita yg sangat menarik dan mengalur lembut, terima kasih mbah man.
BalasHapusMatur nuwun Panembahan Mandaraka...
BalasHapusWedharan penawar dahaga. Begitu dibaca, semakin terasa haus wedharan lagi. Heheheh....
matur suwun...monggo dilanjut mbah..kado tahun baru 1 muharram
BalasHapusLeres, Kasinggihan Ki Mas Aryo...
HapusHa mbok menawi, sesarengan mengeti warso enggal, 1 muharram, Kiai Haji Panembahan pareng medhar rontal makaping-kaping minongko bonus kagem cantrik - mentrik. Heheheh....
lah wong biasane mawon rontal sak gepok.....niki thn baru hijriyah mesthi 3 gepok
Hapushmmmm.......
BalasHapusMbah Man di paringi sehat....wedar lontar triple...he..he..
BalasHapusmatur nuwun Mbah kirimanipu...
BalasHapusMantap .... Makasih Mbah Man....
BalasHapusmatur sembah nuwun mbah...
BalasHapusMatur nuwun sanget katur panjenenganipun mbah Man
BalasHapusMaturkesuwun mbah mandrake & ki arema atas wedharannya
BalasHapusAda api dg panasnya jd inget sembara dg ngilmu kabut tunggal dari gunung merapi.
Biasanya ki RAS (yg ori) sblm menguasai suatu ngilmu diceritakan bgmn menjalani laku tirakatnya.
Dlm penguasaan materi perkabutan ki RAS (yg ori) sepertinya blm diwedhar laku tirakatnya atau mungkin saya yg blm baca atau kemungkinan lain utk model kilas balik diwedar kembali bgm ngilmu itu dikuasai.
Ada banyak kemungkinan.
Termasuk kemungkinan juragan jajan ijo alias ki TéDé mampu memasuki gandhok TBMM dg lancar
Matur nuwun mbah Man..
BalasHapusDitunggu versi lengkapnya...
sudah lama tidak dpat wedaran di hari Jum'at........ sehat selalu mBah-Man.
BalasHapusMatur nuwun mbah Man .... mudah mudahan mbah Man selalu sehat ... sekalian ini muter taman bacaan lihat wedaran wedaran yang ada ....
BalasHapusKok gk onok wedaran, opo wis tamat yo?
BalasHapusKok gk onok wedaran, opo wis tamat yo?
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapusLebih 6 bln baca serial iki kok tetep penasaran terus 😊😊
BalasHapusSelamat malam
BalasHapus